Setiap Hari Jumat
Pagi ini aku membaca blog sahabatku. Ceritanya bagus,
sederhana dan jenaka. Tak jemu aku dibuatnya. Ceritanya tak pernah panjang lebar,
cerita tentang cinta monyet. Di akhir cerita, dia seolah menantang. Dia
bertanya bagaimana ceritamu? Dan disini lah aku, duduk di depan laptop tuaku.
Mengetik, sekadar mengisi malam. Cerita cinta monyetku tidaklah menyenangkan,
setidaknya bagiku. Tapi tidak tahu kenapa, bagi sebagian orang cerita itu lucu.
Lucu yang artinya humoris, atau lucu seperti bahasa Ibuku? Ibuku selalu bilang
lucu untuk hal-hal yang menurut dia aneh. Lucu ya Ibuku.
Alfred. Itu nama asli bukan rekayasa dalam cerita cinta
rekayasa. Jika menulis tentang dia, rasanya tanganku ini tidak pernah bisa
berhenti mengetik. Banyak yang ingin aku kisahkan. Kamu tahu karena apa? Karena
Alfred cinta monyetku. Alfred bukan monyet, tentu kalian tahu itu. Dia teman
yang aku kenal sejak SMA dan baru bertemu lagi setelah kita sama-sama mencari
rejeki di Jakarta. Sebenarnya tidak rumit. Tidak akan rumit kalau Alfred belum
punya pacar. Kadang aku berpikir, aku lah satu-satunya orang yang membuat ini
semua menjadi rumit. Alfred berpacar bukannya beristri. Tapi apa bedanya? Aku
merasa seperti merebut milik orang. Seperti ketika Daud menginginkan Batsyeba
dari tangan suaminya. Tidakkah itu dosa? Aku tidak ingin merasa berdosa pada
bayanganku sendiri.
Dari pertemuan tidak sengaja berubah menjadi pertemuan yang
sengaja. Awalnya kepentingan hingga akhirnya kami kecanduan untuk saling memberi
kabar. Alfred menelponku setiap jumat malam, di perjalanan dari kantor menuju
rumahnya. Lucu bukan? Kami berpacaran sesuai jadwal. Layaknya mencukur bulu
ketiak, ada jadwalnya. Aku tidak pernah menggangu Alfred pada Sabtu dan Minggu.
Karena dua hari itu milik pacar Alfred yang sesungguhnya. Temanku berkelakar
begini katanya Jumat dia cukur ketek kiri, Sabtu Minggu dia cukur ketek kanan.
Impas jadinya, semuanya kecukur.
Senin sampai Kamis kita harus duduk berjam-jam
di kantor hingga matahari dilahap senja. Setelah itu, kita sama-sama harus
mengajar. Mencari tambahan uang. Tersisa jumat malam, dimana sepulang kerja kita dapat agak bersantai. Khusus Jumat, tidak ada murid yang harus diajar. Satu hal yang sama, kita sama-sama penggila
kerja. Kita pernah berucap, senja nanti pekerjaan yang paling ideal adalah
guru. Kami mencintai dunia mengajar. Mencurahkan apa yang kita ketahui.
Kedengaranya mulia bukan?
Layaknya pria pada umumnya, Alfred mendominasi. Ketika aku sadar aku banyak mengalah, disitu aku sadar aku sudah kalah. Kalah dengan logikaku sendiri. Tapi kadang, Alfred juga mengalah ketika sadar dia yang salah. Banyak kesempatan dia yang mengambil keputusan. Dan aku membiarkan seperti itu bukan karena aku lemah tapi aku tidak pernah lelah berargumen dengan dia. Argumen yang selalu ditutup dengan kata-kata yasudah aku ngalah. Bukan argumen yang ditutup baku hantam.
Berjam-jam berbicara di telpon hanya sekadar berbagi hari
yang tidak bisa kita cicipi bersama. Hanya untuk saling memaki, saling mengatai
tolol lalu tertawa lepas. Pembicaraan kita jauh dari romantis, tapi aku menunggu hari Jumat. Mungkin karena setiap Jumat aku merasa pulang. Merasa
menjadi aku apa adanya tanpa ditutupi apapun. Mungkin bagimu, hari Jumat adalah
hari beristirahat. Hari dimana kamu ingin merasa nyaman, barang satu-dua
jam. Karena begitu sampai rumahmu, kamu selalu akan menyudahi telpon. Dan
begitu terus sehingga aku harus bersabar untuk Jumat berikutnya. Aku selalu
berkeinginan hari Sabtu tiba-tiba menjauh. Pernah satu kali kamu menelpon aku
dari rumahmu. Larut sekali waktu itu, aku sudah hampir bersatu dengan bantal
gulingku. Tapi mungkin itulah yang kamu tunggu, menunggu orang-orang di rumahmu
bersatu dengan mimpinya. Kali lain kamu menelponku dari telpon kantormu. Jam
istirahat siang, siapa juga yang tidak turun ke kantin? Cuma kamu yang tidak,
mungkin karena kamu ingin sembunyi.
Ini bukan cinta. Aku yakin itu. Kita hanya sama-sama
membutuhkan kenyamanan seperti di rumah. Dan kita sepakat kita mendapatkannya
setiap hari Jumat. Tapi mengapa untuk mendapatkan kenyamanan saja kita harus
sembunyi-sembunyi? Kali ini biarlah menjadi pusingmu. Kamu yang memutuskan. Aku
sudah janji tidak akan ikut campur. Aku sudah belajar menghormati keputusan apa
pun yang kamu pilih.
Aku menutup hari ini dengan membaca buku. Begini tertulis:
seorang saudagar kaya menyimpan sepatu kulit tua di bawah tangga. Sepatu nyaman
yang dipakai ketika kaki pemiliknya letih. Namun ketika sang pemilik ingin
menghadapi dunia, ia tak mungkin memilih sepatu itu. Akan dipakainya sepatu
mentereng yang memang diperuntukan sebagai pendampingnya. Dunia menuntut
demikian. Sekalipun tidak nyaman, tapi itu kewajiban (Sepotong Kue Kuning, Dewi
Lestari).
Aku tidak tahu masih ada berapa Jumat lagi tersisa untukku. Satu,
dua, tiga, satu juta atau satu triliun. Tidak pasti dan tidak ada yang tahu,
kecuali kau berbicara Tuhan di sini. Aku tidak takut andaikan Jumatku sudah
habis. Apa mau dikata, kita tidak selalu mendapatkan apa yang kita mau bukan?
Satu hal yang pasti, aku tidak pernah semilisekon pun menyesal untuk setiap
Jumat yang sudah berlalu. Kamu tahu? Aku tidak mau mencium tanah kesedihan.
Tidak kali ini.
Sampaikan Salam saya untuk nak alfred! Haha.
ReplyDeleteYeheyy, blognya aktif..