Saya baru aja baca bukunya Ayu Utami, judulnya parasit lajang. Buku gratisan yang dikasih sama si Rani.Thx ya, Ran!
Yah tepat, bukunya tepat maksudnya. Tepat buat saya. Umur saya 23
tahun dan saya lajang. Saya menumpang hidup di rumah orang tua saya.
Makan, minum, tidur, nonton TV, semua-semuanya pokoknya orang tua saya
yang tanggung, maka saya pun menjadi parasit. Satu hal yang paling
menarik, kami (saya dan A) sama-sama berpikir pernikahan itu kebutuhan.
Sama sekali bukan kewajiban. Jadi menikahlah orang-orang yg merasa
butuh. Sementara saya? Sepertinya tidak atau belum. Hahaha…kata-kata
belum selalu bikin saya ingat pemikiran orang banyak. Setiap saya bilang
saya tidak mau menikah, orang-orang dengan tatapan kasihan selalu
bilang “Bukan gak mau, Han. Tapi belum.” Yah mungkin maksudnya pengen
menegarkan hati saya. Saya pengen kasih tahu, itu gak perlu, teman. Saya
berkata begitu karena ya itu, saya tidak butuh menikah, atau minimal
spt kata kalian, belum butuh. Saya bukan korban sakit hati, atau cinta
tak berbalas yang berlarut-larut. Tenang-tenang…sebagai teman saya,
kalian gak perlu cemas.
Saat saya masuk dunia kerja, saya menemukan hal-hal yang jauh lebih
seru daripada meratapi nasib kelajangan saya. Bisnis, sains, relasi
kerja, semua itu menguras otak saya. Dan saya paling suka waktu otak
saya diperas karena itu membuat saya seolah-olah saya pintar, hahaaha.
Rasanya terlibat dalam kesibukan itu luar biasaaaa menyenangkan. Gak
perlulah terlalu lama meratapi nasib saat jaman kuliah. Balik ke jaman 4
tahun lalu, waktu saya masih semester 3. Waktu itu saya, yah seperti
layaknya perempuan normal, saya naksir senior saya. 3 tahun lamanya,
bayangkan 3 tahun saya suka sama orang yang sama. Dari semester 3 sampai
lulus. Mungkin bagi kalian ini biasa saja. Tapi bagi saya ini namanya
mampus. Loh bagaimana tidak, wong senior itu bukanya cinta balik sama
saya malah justru ngata-ngatain saya. Sel-sel otak saya kayaknya mampus
selama 3 tahun itu. Yang namanya orang kalau dikatain itu ya marah
normalnya, lah ini kok malah cinta. Dan saya benci kalau keadaan spt itu
harus terulang lagi. Dan untungnya setahun terakhir saya tidak perlu
mengulang itu.
Ini kontradiksi bukan? Diatas saya bilang saya bukan korban sakit
hati, lalu cerita saya barusan ttg ketololan saya jelas-jelas bilang
saya sakit hati. Kontradiksi jiwa namanya kalau kata A. Saya pengen
sekali jadi Ibu, tapi apa bisa seorang ibu punya penyakit kontradiksi
jiwa? Lagi-lagi saya sependapat sama A. Ah ya mungkin saya belum siap
saja. Dan nanti andaikan suatu saat yang entah kapan saya sudah siap,
saya akan menikah. Karena saya butuh, saya butuh ayah buat anak saya.
Simple bukan?
Satu hal lagi kelajangan itu tidak berbanding lurus sama keperawanan.
Hahaha, iya kan A? Jadi tolong, kalau ada orang yg merasa tidak perlu
menikah dan tidak menikah sampai umur 50an, itu belum tentu perawan tua.
Hahaa. Apalagi yang umurnya diawal 20an.
Comments
Post a Comment