Masa-masa sulit
Aku ingin sekali menulis ini, jadi kalau nanti yang entah kapan aku merasa 'terlalu kuat' atau justru 'terlalu lemah', aku dapat membaca dan membaca lagi apa yang dulu pernah ada.
Semua orang pasti pernah mengalami masa sulit, entah dalam keluarga, studi, pekerjaan, atau pun percintaan. Padaku, masa-masa itu datang ketika aku SMA.
Aku bersekolah di SMA swasta favorit di Jakarta. SMA Santa Ursula, Pasar Baru. Sekolah Katolik khusus perempuan. Aku jamin bukan SMA abal-abal karena sudah lebih dari 150 tahun berdiri. Bahkan nenekku dulu juga bersekolah disini. Sekolah yang buruk tidak akan pernah berdiri lama. Namun, jaman nenekku dulu SMA ini bukan sekolah formal melainkan kursus keterampilan untuk perempuan.
Seperti yang sudah aku tulis. SMA ini bukan SMA sembarangan. Sering sekali sekolah ini mendapat predikat nilai UAN tertinggi, namun sayangnya Pemerintah sepertinya enggan menunjukan, mungkin karena kami swasta dan Katolik. Padahal putri dari Bapak Gubernur saat itu juga bersekolah di sini.
SMA ini mengutamakan kualitas pendidikan dan perkembangan sosial anak, maka tidak heran kalau biaya yang mereka ajukan tergolong mahal.
Aku? Aku lahir di keluarga berkecukupan, setidaknya sampai aku tamat SMP. Setelah itu semuanya seperti berantakan. Kantor Bapak bangkrut dan saat itu Bapak sudah menginjak pertengahan usia 40an dan memiliki tiga anak pula. Jarang perusahaan yang mau menerima Bapak, bahkan tidak ada. Apalagi Bapak bekerja di bidang periklanan yang artinya meskipun namanya Ibu Kota, perusahaan periklanan tidak banyak. Akhirnya dengan sisa uang tabungan dan meminjam uang sana-sini, Bapak membuka warung makan di daerah Barito. Sayangnya Bapak sepertinya tidak bagus dalam berwirausaha, warungnya tutup karena sepi pelanggan. Kami semakin sulit ekonomi saat itu. Untungnya Ibu masih bekerja, tapi gajinya tidak menutupi kebutuhan tiga anaknya yang masih bersekolah.
Aku bisa mencicipi baiknya pendidikan di Santa Ursula murni karena otakku dan tentu saja Tuhan. Selain sekolah ini memang mengutamakan otak, orang tuaku memang tidak punya uang untuk membayar cukup apalagi lebih. Uang sekolahku hanya 50% dari uang sekolah anak lainya dan tidak mengalamai kenaikan hingga aku lulus SMA. Uang gedung? Ah jangan ditanya, dengan murah hati mereka membiarkan Bapak membayar hanya 30% dari seharusnya.
Menahan lapar bukan hal yang asing buatku. Ibu atau Bapak selalu membawakan makan siang dari rumah supaya lebih berhemat. Aku ingat, saat kelas 2, aku menjadi anggota badan pengurus OSIS jadi seringkali harus pulang sore karena rapat ini dan itu. Karena makan siangku sudah aku habiskan di jam istirahat pertama (karena aku tidak sarapan), maka aku harus menahan lapar hingga jam makan malam di rumah. Begitu pula saat kelas 3. Semua anak IPA wajib mengikuti pelajaran tambahan hingga sore, aku pun lagi-lagi harus menahan lapar hingga malam. Aku tidak mau mengeluh meskipun rasanya sulit sekali berkonsentrasi saat kita kelaparan. Orang tuaku tidak bisa memberi lebih karena kami harus berhemat untuk biaya les tambahan di rumah. Kami memang tidak punya uang saat itu, aku bukanya sok kaya atau apa tapi aku dan Bapak Ibu ku tahu: sesulit apapun ekonomi kita, pendidikan harus nomor satu. Masalah perut bisa menyusul.
Kalau disuruh berhemat, aku jago dalam hal itu. Tahun pertama di SMA, aku masih naik mobil antar jemput. Jadi lumayan aku masih bisa melanjutkan tidurku di mobil. Rumahku paling jauh dari sekolah, maka tak tanggung-tanggung aku dijemput pertama yaitu jam 4.45. Menginjak kelas 2, Ibu menghemat dengan memberhentikan jasa antar jemput itu. Aku terpaksa naik kendaraan umum. Saat itu aku menangis. Aku takut dan merasa sangat sedih. Aku harus berangkat jam 5 pagi yang artinya masih gelap dan aku sendirian. Aku selalu terjaga selama perjalanan berangkat. Metromini penuh di pagi hari, penuh bukan main, sama sekali aku tidak pernah jatuh tertidur, terlebih banyak copet di Metromini. Jam tidurku berkurang. Jadi, selain jago menahan lapar, aku jago menahan kantuk. Metromini yang aku naiki hanya sampai di halte yang tidak dekat dari sekolah. Seharusnya aku bisa menyambung metromini lain yang berhenti di depan sekolah. Tapi sayangnya uang sakuku tidak cukup, jadi aku harus jalan kaki kira-kira 800m.
Uang sakuku saat itu Rp 80.000/bulan, jadi seharinya Rp 3.000 - Rp4.000. Pagi hari Bapak mengantar aku sampai ke terminal yang artinya aku bisa berhemat seribu rupiah karena tidak perlu naik angkot ke terminal. Di pagi hari aku mengeluarkan 1.500 rupiah untuk metromini. Karena pagi hari sama dengan jam karyawan berangkat kerja, aku harus membayar sedikit lebih mahal untuk bisa dapat tempat duduk. Pulangnya seribu rupiah untuk metromini dan seribu lagi untuk angkot, karena Bapak tidak menjemput. Totalnya 3,500/ hari untuk ongkos. Kalau dihitung secara matematika uangku pas sekali tidak ada uang makan. Tapi Tuhan itu baik, aku masih bisa menyisakan uang sakuku sekitar 10-15 ribu/bulan. Misalnya ketika hari masuk sekolah kurang dari 25 hari/bulan. Atau aku mendapat tebengan pulang dari teman. Dalam seminggu kira-kira aku harus pulang sore sekitar 3 kali. Itu artinya 3x 4minggu = 12 hari. Jadi jatah uang makanku: 10-15ribu dibagi 12 hari = 1.000-1.500/hari. Jangan salah, uang segitu masih bisa aku belikan makanan, yaitu gorengan. Dua buah pisang hangat sudah cukup menghilangkan lapar. Tapi ada saatnya juga aku tidak bisa membeli makan sama sekali, misalnya ketika di minggu itu aku harus membayar uang kas kelas.
Mungkin karena sering jalan kaki, sol sepatuku habis. Sepatuku memang 'warisan' dari kakaku yang dulu juga bersekolah di sini, jadi tidak sekokoh sepatu baru. Sepatu kami seragam dari sekolah jadi harus beli di sekolah. Lagi-lagi belum ada uang untuk membeli sepatu seragam yang baru. Lama-kelamaan rasanya sepatu itu sakit untuk berjalan, tapi apa boleh buat aku belum punya sepatu baru.
Sebenarnya bisa saja aku berangkat pukul 05.30. Tapi aku memilih pukul 05.00. Pertama karena jalanan belum terlalu macet dan kedua kadang aku masih sempat mengikuti misa pagi. Di sekolahku ada kapel kecil tapi bangunan dan interiornya bagus sekali. Misa pagi dimulai sekitar pukul 06.00. Kadang aku harus berlari agar tidak telat misa. Tapi lebih sering aku telatnya. Akhirnya hanya sempat berdoa di Kapel. Saat kita dalam masa sulit, justru disitu kita bisa khusyuk berdoa. Setiap hari aku berdoa di Kapel cukup lama. Aku menceritakan semuanya ke Tuhan. Semuanya. Aku punya teman. Tapi aku merasa belum siap berbagi ceritaku dengan mereka. Mereka datang dari keluarga yang jauh lebih kaya. Aku tidak yakin mereka bisa paham. Ah itu mungkin cuma alibi. Mungkin sebenarnya aku takut berbagi cerita karena aku malu. Aku mau teman-temanku melihat aku baik-baik saja, sama seperti mereka.
Bagiku belajar itu ketat aturanya. Jika tidak ada rapat OSIS, aku bisa sampai rumah jam 3 sore lalu makan, mandi, dan tidur siang hingga jam 6 sore. Setelah itu aku belajar 4 jam hingga jam 10. Guruku, Ibu Venty namanya, pernah bilang kalau kamu mau nilaimu baik belajarnya minimal 4 jam sehari. Jadwal les ku hanya sekali seminggu dan aku taruh di hari Sabtu agar aku tetap belajar. Tapi jika sedang ada rapat atau saat kelas 3 yang mengharuskan pulang sore, aku sampai rumah sudah jam 5. Makan tidur sampai jam 7.30 lalu belajar sampai jam 12. Sekarang aku sadar kenapa aku bisa 'kecanduan' kopi, hahaha. Nilaiku baik, tidak ada nilai merah di rapot meskipun aku tidak pernah masuk sepuluh besar.
Kalau belajar itu ketat, lalu kenapa aku masih ikut OSIS? Bukanya belajar saja di rumah? Pertama aku sadar, aku baik dalam hal managemen (entah uang, waktu, pekerjaan, ataupun orang lain) dan ingin semakin baik. Di tahun pertama, aku sudah menjadi ketua intrakurikuler Bahasa Perancis. Kedua, aku mau memberi sedikit untuk sekolah ini. Mengikuti OSIS berarti terjun langsung ke kegiatan positif yang membawa nama baik sekolah. Mungkin berlebih buat kalian yang membaca. Tapi bagiku tidak sama sekali. Inilah caraku berterima kasih sudah diberi uang sekolah yang begitu murah. Tahun kedua, tanpa ragu aku pun bergabung di OSIS. Saat itu peminatnya banyak sekali, aku beruntung aku diterima. Tahun ketiga, aku menjadi ketua kelas. Banyak hal lain yang bisa dipelajari selain dari materi sekolah, seperti bagaimana merencanakan dengan baik, berhubungan dengan berbagai tipe orang, mengurus ini itu, dan yang terpenting bagaimana menjalankan rencana awal kita. Banyak waktu memang tersita, banyak hari memang dimana aku harus menahan lapar, tapi itu menjadi tidak penting lagi ketika membawa hasil yang baik.
Aku itu mandiri, terlalu mandiri begitu sekiranya pendapat teman kuliahku Firdha. Pengalaman sulit inilah yang membuat aku berlatih berdiri dengan kedua kaki sendiri. Ketika bahkan orang tua sudah tidak mampu menyangga sepenuhnya keperluan kita. Kita akan dihadapakan pada dua pilihan yaitu gagal atau berdiri sendiri. Banyak temanku yang setelah lulus kuliah masih diberi uang saku oleh orang tuanya. Bapak dan Ibu ku tidak, hari dimana aku diwisuda S1 itu adalah hari terakhir aku mendapat uang dari mereka. Jadi bisa dilihat, orang tuaku juga keras soal melatih kemandirian anak-anaknya.
Masa SMA ini, aku tidak punya teman dekat. Jangan salah dulu, aku punya banyak teman tapi masalahnya tidak ada yang akrab dalam waktu lama. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud begitu apalagi merencakan. Terjadinya begitu saja. Tiga bulan aku dekat dengan geng ini lalu enam bulan berikutnya dengan geng itu. Begitu terus sampai aku lulus. Syukurnya aku tidak ada kendala untuk bisa masuk dalam suatu kelompok. Tapi ada yang salah. Aku takut ketika sudah terlalu dekat dengan suatu kelompok, mereka tahu ceritaku yang sebenarnya. Aku belum siap waktu itu. Masalahnya setiap kelompok pasti punya kebiasaan yang sama, dan pasti sama dengan anak manapun, hang out di akhir pekan. Ongkos untuk ke mall saja aku tidak punya apalagi untuk beli makanan di sana.
Sekali dua kali pernah lah aku ikut berkumpul dengan setiap kelompok. Ini bagian lucunya. Keluargaku memang punya mobil. Tapi aku belum bisa menyetir dan tidak ada uang untuk beli bensin. Lagi pula aku sudah terbiasa kemana-mana naik angkot. Jadilah aku naik angkot ke mall. Reaksi teman-temanku lucu saat tahu aku pulang pergi naik angkot. Ada yang kaget, ada yang kasihan, ada yang tidak percaya (bahkan). Selain angkot, aku juga harus berhemat untuk tidak membeli makan di mall. Biasanya aku makan dulu sebelum berangkat. Mungkin awalnya mudah tapi jadi susah ketika yang lain makan dan aku hanya menonton. Mereka akan tanya kenapa aku tidak makan. Aku selalu bilang masih kenyang. Sekali itu mudah, tapi lama kelamaan mereka akan semakin bertanya kenapa aku tidak pernah ikut makan. Aku mulai minder di titik ini. Kalau sudah begini, biasanya aku akan ke kelompok lain. Jeleknya adalah aku tidak terbiasa terlalu dekat dengan orang lain dalam waktu lama.
Suatu hari pernah, seorang guru SMA ku tiba-tiba bilang begini, "SMA ini sekolah banyak uangnya. Lihat siswi-siswinya semua berasal dari golongan minimal menengah ke atas. Yah meskipun ada satu dua anak yang dari kelas bawah." Raanya aku ingin meledak saat itu juga. Ingin marah, mencaci, menjambak, apa saja pokonya aku marah. Beliau guru Kewarganegaraan (Kn), bukan TU atau bagian keuangan. Dimana relevansinya pelajaran Kn dengan golongan ekonomi siswinya? Aku sedih sekali dan merasa malu tanpa ada yang menyuruh. Kadang aku ingin ke masa-masa itu dan berkata pada diriku sendiri, semuanya akan baik-baik saja.
Suatu kali dua orang temanku pernah bilang, Hanna itu orangnya bisa susah sebenernya tapi dia sok-sok'an gak mau susah. Percaya lah mungkin mereka salah tangkap. Aku bisa hidup susah itu benar. Kedua mungkin tanpa sadar aku tidak mau kembali ke masa-masa sulit. Biar bagaimana pun itu meninggalkan kesan yang tidak enak di dalam diriku. Aku juga tidak tau bagian mana persisnya yang menunjukan aku tidak mau susah. Mereka juga menilai aku maunya serba instan, tidak pakai usaha. Seingatku aku selalu berusaha untuk semua yang aku mau dan jarang sekali meminta bantuan orang lain. Mungkin karena mereka melihat aku sebagai pribadi yang kurang sabar untuk mencapi sesuatu. Entahlah cuma mereka berdua yang tau alasanya.
Kembali ke masa sekolahku dulu. Saat akhir kelas 3, semua murid pasti sibuk belajar. Ujian akhir pemerintah atau pun tes masuk universitas. Aku juga begitu. Dulu aku ingin sekali belajar teknik kimia. Tapi biaya pendaftaran ITB mahal sekali belum lagi ongkos dan biaya menginap di Bandung. Bandung otomatis tereleminasi. Berikutnya UI dan UGM. Dua-duanya nihil. Tidak keterima. Aku tidak putus akal, masih ada jalur SNMPTN dan UMB. Jalur sejuta umat. Mungkin benar-benar sejuta yang ikut tes. Saat itu tidak banyak siswi sekolahku yang ikut tes ini. Mungkin sekitar 20%. Tiga puluh persen lainya memilih di perguruan tinggi swasta, mungkin mereka masih trauma dengan peristiwa '98. Sisanya? Keluar negri. Sesuatu yang bahkan tidak pernah aku mimpikan.
Pengumuman UMB sekitar jam 18.00 sementara pukul 19.30 kreta yang akan membawaku ke Jogja akan berangkat. Ya aku akan mengikuti tes SNMPTN di Jogja karena pilihan pertamaku PTN di Jogja. Aku sudah berkemas. Aku optimis untuk Teknik Kimia di Jogja. Aku sudah belajar keras. Kenyataanya aku diterima di Depok. Sayangnya bukan Teknik Kimia tetapi Biologi. Bapaku bilang sudah diambil saja. Aku ingin berkata tidak tapi aku tidak sampai hati. Uang pendidikan di Biologi jauh lebih murah dibanding Teknik Kimia mana pun. Hari SNMPTN bersamaan dengan pendaftaran ulang UMB di Depok. Aku batal berangkat ke Jogja senja itu.
Aku menangis. Merasa sedih. Kecewa karena impianku harus mengalah dengan urusan uang. Lagi-lagi uang. Biologi? Jurusan apa itu? Tidak ada gengsinya sama sekali. Pekerjaan pun pasti sulit dicari oleh lulusan Biologi. Aku pun merasa marah terhadap Biologi yang tidak tahu apa-apa. Tanpa sadar itu memengaruhi sikapku selama kuliah. Aku sedikit memandang rendah pada beberapa orang. Aku benci harus belajar bersama mereka. Kebanyakan dari mereka hanya bermalas-malasan di kelas, tidak kritis, kerjanya menyontek. Ini kah yang katanya universitas nomor satu di Indonesia? Bukan salah kampusnya tentu saja, salah mahasiswanya sendiri. Aku rasanya marah tapi tidak tahu marah kepada siapa.
Aku ingat betul salah satu teman kuliahku yang katanya 'anak OSN' marah kepadaku begitu selesai ujian. Masalahnya sepele saja, dia tidak bisa melihat jelas jawaban yang tertulis di lembar jawabanku. Katanya aku kurang memiringkan kertas ujianku ke arah dia. Demi apapun di dunia, saat itu aku semakin benci kuliah Biologi. Aku benci harus satu kelas dengan anak macam begitu. Buat apa aku sekolah susah-susah di SMA favorit kalau ternyata saat kuliah harus berada dalam satu ruang dengan anak macam begitu? Belum lagi ada temanku yang katanya kongkalikong sama dosen untuk menaikan nilai. Luar biasa bukan? Lama-kelamaan kuliahku semakin berantakan. Belajarku jadi tidak becus. Aku main dan main untuk mengalihkan rasa kecewa.
Tapi ada satu hal yang aku pelajari. Ketika kamu sudah tidak punya pilihan lain, belajarlah mencintai apa yang sudah kamu miliki. Bisa dibilang semester 6 adalah masa bertobat. IP ku baik sekali dan aku mulai belajar ketat seperti SMA dulu. Lucunya ketika sidang sarjana selesai dan aku mendapatkan gelar sarjanaku dengan nilai amat baik, tidak ada perasaan bahagia. Semua seperti hmm...sudah selayaknya aku mendapatkan gelar itu karena aku belajar. Mungkin saat itu aku belum benar-benar suka dengan Biologi.
Semuanya bisa dipelajari termasuk rasa suka. Sekarang, satu tahun sepuluh bulan setelah aku mendapat gelar sarjana. Aku masih berada di bidang Biologi. Aku ngotot untuk tetap di bidang Biologi. Bidang yang akhirnya aku sukai meskipun sulit sekali untuk mendapat gaji baik. Tapi toh akhirnya bisa juga. Aku sering kali kecewa saat tahu beberapa temanku yang juga mengambil jurusan Biologi di luar negri justru bekerja di bidang lain. Tapi begitu lah hidup. Kita tidak pernah tahu apakah pilihan kita berlanjut baik-baik saja atau justru memburuk atau justru membaik.
Semua orang pasti pernah mengalami masa sulit, entah dalam keluarga, studi, pekerjaan, atau pun percintaan. Padaku, masa-masa itu datang ketika aku SMA.
Aku bersekolah di SMA swasta favorit di Jakarta. SMA Santa Ursula, Pasar Baru. Sekolah Katolik khusus perempuan. Aku jamin bukan SMA abal-abal karena sudah lebih dari 150 tahun berdiri. Bahkan nenekku dulu juga bersekolah disini. Sekolah yang buruk tidak akan pernah berdiri lama. Namun, jaman nenekku dulu SMA ini bukan sekolah formal melainkan kursus keterampilan untuk perempuan.
Seperti yang sudah aku tulis. SMA ini bukan SMA sembarangan. Sering sekali sekolah ini mendapat predikat nilai UAN tertinggi, namun sayangnya Pemerintah sepertinya enggan menunjukan, mungkin karena kami swasta dan Katolik. Padahal putri dari Bapak Gubernur saat itu juga bersekolah di sini.
SMA ini mengutamakan kualitas pendidikan dan perkembangan sosial anak, maka tidak heran kalau biaya yang mereka ajukan tergolong mahal.
Aku? Aku lahir di keluarga berkecukupan, setidaknya sampai aku tamat SMP. Setelah itu semuanya seperti berantakan. Kantor Bapak bangkrut dan saat itu Bapak sudah menginjak pertengahan usia 40an dan memiliki tiga anak pula. Jarang perusahaan yang mau menerima Bapak, bahkan tidak ada. Apalagi Bapak bekerja di bidang periklanan yang artinya meskipun namanya Ibu Kota, perusahaan periklanan tidak banyak. Akhirnya dengan sisa uang tabungan dan meminjam uang sana-sini, Bapak membuka warung makan di daerah Barito. Sayangnya Bapak sepertinya tidak bagus dalam berwirausaha, warungnya tutup karena sepi pelanggan. Kami semakin sulit ekonomi saat itu. Untungnya Ibu masih bekerja, tapi gajinya tidak menutupi kebutuhan tiga anaknya yang masih bersekolah.
Aku bisa mencicipi baiknya pendidikan di Santa Ursula murni karena otakku dan tentu saja Tuhan. Selain sekolah ini memang mengutamakan otak, orang tuaku memang tidak punya uang untuk membayar cukup apalagi lebih. Uang sekolahku hanya 50% dari uang sekolah anak lainya dan tidak mengalamai kenaikan hingga aku lulus SMA. Uang gedung? Ah jangan ditanya, dengan murah hati mereka membiarkan Bapak membayar hanya 30% dari seharusnya.
Menahan lapar bukan hal yang asing buatku. Ibu atau Bapak selalu membawakan makan siang dari rumah supaya lebih berhemat. Aku ingat, saat kelas 2, aku menjadi anggota badan pengurus OSIS jadi seringkali harus pulang sore karena rapat ini dan itu. Karena makan siangku sudah aku habiskan di jam istirahat pertama (karena aku tidak sarapan), maka aku harus menahan lapar hingga jam makan malam di rumah. Begitu pula saat kelas 3. Semua anak IPA wajib mengikuti pelajaran tambahan hingga sore, aku pun lagi-lagi harus menahan lapar hingga malam. Aku tidak mau mengeluh meskipun rasanya sulit sekali berkonsentrasi saat kita kelaparan. Orang tuaku tidak bisa memberi lebih karena kami harus berhemat untuk biaya les tambahan di rumah. Kami memang tidak punya uang saat itu, aku bukanya sok kaya atau apa tapi aku dan Bapak Ibu ku tahu: sesulit apapun ekonomi kita, pendidikan harus nomor satu. Masalah perut bisa menyusul.
Kalau disuruh berhemat, aku jago dalam hal itu. Tahun pertama di SMA, aku masih naik mobil antar jemput. Jadi lumayan aku masih bisa melanjutkan tidurku di mobil. Rumahku paling jauh dari sekolah, maka tak tanggung-tanggung aku dijemput pertama yaitu jam 4.45. Menginjak kelas 2, Ibu menghemat dengan memberhentikan jasa antar jemput itu. Aku terpaksa naik kendaraan umum. Saat itu aku menangis. Aku takut dan merasa sangat sedih. Aku harus berangkat jam 5 pagi yang artinya masih gelap dan aku sendirian. Aku selalu terjaga selama perjalanan berangkat. Metromini penuh di pagi hari, penuh bukan main, sama sekali aku tidak pernah jatuh tertidur, terlebih banyak copet di Metromini. Jam tidurku berkurang. Jadi, selain jago menahan lapar, aku jago menahan kantuk. Metromini yang aku naiki hanya sampai di halte yang tidak dekat dari sekolah. Seharusnya aku bisa menyambung metromini lain yang berhenti di depan sekolah. Tapi sayangnya uang sakuku tidak cukup, jadi aku harus jalan kaki kira-kira 800m.
Uang sakuku saat itu Rp 80.000/bulan, jadi seharinya Rp 3.000 - Rp4.000. Pagi hari Bapak mengantar aku sampai ke terminal yang artinya aku bisa berhemat seribu rupiah karena tidak perlu naik angkot ke terminal. Di pagi hari aku mengeluarkan 1.500 rupiah untuk metromini. Karena pagi hari sama dengan jam karyawan berangkat kerja, aku harus membayar sedikit lebih mahal untuk bisa dapat tempat duduk. Pulangnya seribu rupiah untuk metromini dan seribu lagi untuk angkot, karena Bapak tidak menjemput. Totalnya 3,500/ hari untuk ongkos. Kalau dihitung secara matematika uangku pas sekali tidak ada uang makan. Tapi Tuhan itu baik, aku masih bisa menyisakan uang sakuku sekitar 10-15 ribu/bulan. Misalnya ketika hari masuk sekolah kurang dari 25 hari/bulan. Atau aku mendapat tebengan pulang dari teman. Dalam seminggu kira-kira aku harus pulang sore sekitar 3 kali. Itu artinya 3x 4minggu = 12 hari. Jadi jatah uang makanku: 10-15ribu dibagi 12 hari = 1.000-1.500/hari. Jangan salah, uang segitu masih bisa aku belikan makanan, yaitu gorengan. Dua buah pisang hangat sudah cukup menghilangkan lapar. Tapi ada saatnya juga aku tidak bisa membeli makan sama sekali, misalnya ketika di minggu itu aku harus membayar uang kas kelas.
Mungkin karena sering jalan kaki, sol sepatuku habis. Sepatuku memang 'warisan' dari kakaku yang dulu juga bersekolah di sini, jadi tidak sekokoh sepatu baru. Sepatu kami seragam dari sekolah jadi harus beli di sekolah. Lagi-lagi belum ada uang untuk membeli sepatu seragam yang baru. Lama-kelamaan rasanya sepatu itu sakit untuk berjalan, tapi apa boleh buat aku belum punya sepatu baru.
Sebenarnya bisa saja aku berangkat pukul 05.30. Tapi aku memilih pukul 05.00. Pertama karena jalanan belum terlalu macet dan kedua kadang aku masih sempat mengikuti misa pagi. Di sekolahku ada kapel kecil tapi bangunan dan interiornya bagus sekali. Misa pagi dimulai sekitar pukul 06.00. Kadang aku harus berlari agar tidak telat misa. Tapi lebih sering aku telatnya. Akhirnya hanya sempat berdoa di Kapel. Saat kita dalam masa sulit, justru disitu kita bisa khusyuk berdoa. Setiap hari aku berdoa di Kapel cukup lama. Aku menceritakan semuanya ke Tuhan. Semuanya. Aku punya teman. Tapi aku merasa belum siap berbagi ceritaku dengan mereka. Mereka datang dari keluarga yang jauh lebih kaya. Aku tidak yakin mereka bisa paham. Ah itu mungkin cuma alibi. Mungkin sebenarnya aku takut berbagi cerita karena aku malu. Aku mau teman-temanku melihat aku baik-baik saja, sama seperti mereka.
Bagiku belajar itu ketat aturanya. Jika tidak ada rapat OSIS, aku bisa sampai rumah jam 3 sore lalu makan, mandi, dan tidur siang hingga jam 6 sore. Setelah itu aku belajar 4 jam hingga jam 10. Guruku, Ibu Venty namanya, pernah bilang kalau kamu mau nilaimu baik belajarnya minimal 4 jam sehari. Jadwal les ku hanya sekali seminggu dan aku taruh di hari Sabtu agar aku tetap belajar. Tapi jika sedang ada rapat atau saat kelas 3 yang mengharuskan pulang sore, aku sampai rumah sudah jam 5. Makan tidur sampai jam 7.30 lalu belajar sampai jam 12. Sekarang aku sadar kenapa aku bisa 'kecanduan' kopi, hahaha. Nilaiku baik, tidak ada nilai merah di rapot meskipun aku tidak pernah masuk sepuluh besar.
Kalau belajar itu ketat, lalu kenapa aku masih ikut OSIS? Bukanya belajar saja di rumah? Pertama aku sadar, aku baik dalam hal managemen (entah uang, waktu, pekerjaan, ataupun orang lain) dan ingin semakin baik. Di tahun pertama, aku sudah menjadi ketua intrakurikuler Bahasa Perancis. Kedua, aku mau memberi sedikit untuk sekolah ini. Mengikuti OSIS berarti terjun langsung ke kegiatan positif yang membawa nama baik sekolah. Mungkin berlebih buat kalian yang membaca. Tapi bagiku tidak sama sekali. Inilah caraku berterima kasih sudah diberi uang sekolah yang begitu murah. Tahun kedua, tanpa ragu aku pun bergabung di OSIS. Saat itu peminatnya banyak sekali, aku beruntung aku diterima. Tahun ketiga, aku menjadi ketua kelas. Banyak hal lain yang bisa dipelajari selain dari materi sekolah, seperti bagaimana merencanakan dengan baik, berhubungan dengan berbagai tipe orang, mengurus ini itu, dan yang terpenting bagaimana menjalankan rencana awal kita. Banyak waktu memang tersita, banyak hari memang dimana aku harus menahan lapar, tapi itu menjadi tidak penting lagi ketika membawa hasil yang baik.
Aku itu mandiri, terlalu mandiri begitu sekiranya pendapat teman kuliahku Firdha. Pengalaman sulit inilah yang membuat aku berlatih berdiri dengan kedua kaki sendiri. Ketika bahkan orang tua sudah tidak mampu menyangga sepenuhnya keperluan kita. Kita akan dihadapakan pada dua pilihan yaitu gagal atau berdiri sendiri. Banyak temanku yang setelah lulus kuliah masih diberi uang saku oleh orang tuanya. Bapak dan Ibu ku tidak, hari dimana aku diwisuda S1 itu adalah hari terakhir aku mendapat uang dari mereka. Jadi bisa dilihat, orang tuaku juga keras soal melatih kemandirian anak-anaknya.
Masa SMA ini, aku tidak punya teman dekat. Jangan salah dulu, aku punya banyak teman tapi masalahnya tidak ada yang akrab dalam waktu lama. Sebenarnya aku sama sekali tidak bermaksud begitu apalagi merencakan. Terjadinya begitu saja. Tiga bulan aku dekat dengan geng ini lalu enam bulan berikutnya dengan geng itu. Begitu terus sampai aku lulus. Syukurnya aku tidak ada kendala untuk bisa masuk dalam suatu kelompok. Tapi ada yang salah. Aku takut ketika sudah terlalu dekat dengan suatu kelompok, mereka tahu ceritaku yang sebenarnya. Aku belum siap waktu itu. Masalahnya setiap kelompok pasti punya kebiasaan yang sama, dan pasti sama dengan anak manapun, hang out di akhir pekan. Ongkos untuk ke mall saja aku tidak punya apalagi untuk beli makanan di sana.
Sekali dua kali pernah lah aku ikut berkumpul dengan setiap kelompok. Ini bagian lucunya. Keluargaku memang punya mobil. Tapi aku belum bisa menyetir dan tidak ada uang untuk beli bensin. Lagi pula aku sudah terbiasa kemana-mana naik angkot. Jadilah aku naik angkot ke mall. Reaksi teman-temanku lucu saat tahu aku pulang pergi naik angkot. Ada yang kaget, ada yang kasihan, ada yang tidak percaya (bahkan). Selain angkot, aku juga harus berhemat untuk tidak membeli makan di mall. Biasanya aku makan dulu sebelum berangkat. Mungkin awalnya mudah tapi jadi susah ketika yang lain makan dan aku hanya menonton. Mereka akan tanya kenapa aku tidak makan. Aku selalu bilang masih kenyang. Sekali itu mudah, tapi lama kelamaan mereka akan semakin bertanya kenapa aku tidak pernah ikut makan. Aku mulai minder di titik ini. Kalau sudah begini, biasanya aku akan ke kelompok lain. Jeleknya adalah aku tidak terbiasa terlalu dekat dengan orang lain dalam waktu lama.
Suatu hari pernah, seorang guru SMA ku tiba-tiba bilang begini, "SMA ini sekolah banyak uangnya. Lihat siswi-siswinya semua berasal dari golongan minimal menengah ke atas. Yah meskipun ada satu dua anak yang dari kelas bawah." Raanya aku ingin meledak saat itu juga. Ingin marah, mencaci, menjambak, apa saja pokonya aku marah. Beliau guru Kewarganegaraan (Kn), bukan TU atau bagian keuangan. Dimana relevansinya pelajaran Kn dengan golongan ekonomi siswinya? Aku sedih sekali dan merasa malu tanpa ada yang menyuruh. Kadang aku ingin ke masa-masa itu dan berkata pada diriku sendiri, semuanya akan baik-baik saja.
Suatu kali dua orang temanku pernah bilang, Hanna itu orangnya bisa susah sebenernya tapi dia sok-sok'an gak mau susah. Percaya lah mungkin mereka salah tangkap. Aku bisa hidup susah itu benar. Kedua mungkin tanpa sadar aku tidak mau kembali ke masa-masa sulit. Biar bagaimana pun itu meninggalkan kesan yang tidak enak di dalam diriku. Aku juga tidak tau bagian mana persisnya yang menunjukan aku tidak mau susah. Mereka juga menilai aku maunya serba instan, tidak pakai usaha. Seingatku aku selalu berusaha untuk semua yang aku mau dan jarang sekali meminta bantuan orang lain. Mungkin karena mereka melihat aku sebagai pribadi yang kurang sabar untuk mencapi sesuatu. Entahlah cuma mereka berdua yang tau alasanya.
Kembali ke masa sekolahku dulu. Saat akhir kelas 3, semua murid pasti sibuk belajar. Ujian akhir pemerintah atau pun tes masuk universitas. Aku juga begitu. Dulu aku ingin sekali belajar teknik kimia. Tapi biaya pendaftaran ITB mahal sekali belum lagi ongkos dan biaya menginap di Bandung. Bandung otomatis tereleminasi. Berikutnya UI dan UGM. Dua-duanya nihil. Tidak keterima. Aku tidak putus akal, masih ada jalur SNMPTN dan UMB. Jalur sejuta umat. Mungkin benar-benar sejuta yang ikut tes. Saat itu tidak banyak siswi sekolahku yang ikut tes ini. Mungkin sekitar 20%. Tiga puluh persen lainya memilih di perguruan tinggi swasta, mungkin mereka masih trauma dengan peristiwa '98. Sisanya? Keluar negri. Sesuatu yang bahkan tidak pernah aku mimpikan.
Pengumuman UMB sekitar jam 18.00 sementara pukul 19.30 kreta yang akan membawaku ke Jogja akan berangkat. Ya aku akan mengikuti tes SNMPTN di Jogja karena pilihan pertamaku PTN di Jogja. Aku sudah berkemas. Aku optimis untuk Teknik Kimia di Jogja. Aku sudah belajar keras. Kenyataanya aku diterima di Depok. Sayangnya bukan Teknik Kimia tetapi Biologi. Bapaku bilang sudah diambil saja. Aku ingin berkata tidak tapi aku tidak sampai hati. Uang pendidikan di Biologi jauh lebih murah dibanding Teknik Kimia mana pun. Hari SNMPTN bersamaan dengan pendaftaran ulang UMB di Depok. Aku batal berangkat ke Jogja senja itu.
Aku menangis. Merasa sedih. Kecewa karena impianku harus mengalah dengan urusan uang. Lagi-lagi uang. Biologi? Jurusan apa itu? Tidak ada gengsinya sama sekali. Pekerjaan pun pasti sulit dicari oleh lulusan Biologi. Aku pun merasa marah terhadap Biologi yang tidak tahu apa-apa. Tanpa sadar itu memengaruhi sikapku selama kuliah. Aku sedikit memandang rendah pada beberapa orang. Aku benci harus belajar bersama mereka. Kebanyakan dari mereka hanya bermalas-malasan di kelas, tidak kritis, kerjanya menyontek. Ini kah yang katanya universitas nomor satu di Indonesia? Bukan salah kampusnya tentu saja, salah mahasiswanya sendiri. Aku rasanya marah tapi tidak tahu marah kepada siapa.
Aku ingat betul salah satu teman kuliahku yang katanya 'anak OSN' marah kepadaku begitu selesai ujian. Masalahnya sepele saja, dia tidak bisa melihat jelas jawaban yang tertulis di lembar jawabanku. Katanya aku kurang memiringkan kertas ujianku ke arah dia. Demi apapun di dunia, saat itu aku semakin benci kuliah Biologi. Aku benci harus satu kelas dengan anak macam begitu. Buat apa aku sekolah susah-susah di SMA favorit kalau ternyata saat kuliah harus berada dalam satu ruang dengan anak macam begitu? Belum lagi ada temanku yang katanya kongkalikong sama dosen untuk menaikan nilai. Luar biasa bukan? Lama-kelamaan kuliahku semakin berantakan. Belajarku jadi tidak becus. Aku main dan main untuk mengalihkan rasa kecewa.
Tapi ada satu hal yang aku pelajari. Ketika kamu sudah tidak punya pilihan lain, belajarlah mencintai apa yang sudah kamu miliki. Bisa dibilang semester 6 adalah masa bertobat. IP ku baik sekali dan aku mulai belajar ketat seperti SMA dulu. Lucunya ketika sidang sarjana selesai dan aku mendapatkan gelar sarjanaku dengan nilai amat baik, tidak ada perasaan bahagia. Semua seperti hmm...sudah selayaknya aku mendapatkan gelar itu karena aku belajar. Mungkin saat itu aku belum benar-benar suka dengan Biologi.
Semuanya bisa dipelajari termasuk rasa suka. Sekarang, satu tahun sepuluh bulan setelah aku mendapat gelar sarjana. Aku masih berada di bidang Biologi. Aku ngotot untuk tetap di bidang Biologi. Bidang yang akhirnya aku sukai meskipun sulit sekali untuk mendapat gaji baik. Tapi toh akhirnya bisa juga. Aku sering kali kecewa saat tahu beberapa temanku yang juga mengambil jurusan Biologi di luar negri justru bekerja di bidang lain. Tapi begitu lah hidup. Kita tidak pernah tahu apakah pilihan kita berlanjut baik-baik saja atau justru memburuk atau justru membaik.
Sangat menginspirasi
ReplyDeleteSaya terharu membaca cerita mu Hana..... Saya berharap.. saya dapat menyekolahkan anak saya di SMA Ursula. Namun.... sy masih bingung... bagaimana sy dapat menyekolahkan anak sy di sana dengan keadaan sy sekarang? sedangkan prestasi anak sy juga pas pas an. Hanya Tuhanlah yg dpt membantu kami.
ReplyDeleteSelamat ya Hanna.... semoga kamu sukses sll dlm perlindungan Tuhan. Amin
Waktu itu saya daftar SMP Sanur, ngga punya prestasi juga, tapi syukur tetep masuk. Jadi, tetep semangat dan percaya diri, bisa kok :D
DeleteSaya salut untuk kamu Hanna.
ReplyDeleteKadang Hidup memang kelihatan tidak adil.Kita jalani jatah hidup kita dengan sebaik2nya. Semoga Berkat Tuhan selalu menyertai.
Thank you Hanna..
ReplyDeleteTulisan ini menginspirasi sekali bagi saya yang sedang merasakan manis pahitnya SMA. Semoga kamu bisa terus menulis lebih banyak lagi dan menceritakan pengalaman serta kegiatan yang sdg kamu jalani
Salam,
Fitri
Hai Fitri
DeleteTerima kasih kembali. Selamat menikmati asam manis pahitnya masa-masa SMA yang super seru. Semangat!
Hanna, saya alumni Ursula juga. Banyak bagian yg kamu alami, saya alami juga. Tapi 'akar' permasalahannya agak berbeda. Salut utk kamu yang bisa ikut OSIS. Hebat!!
ReplyDeleteSaya hanya ingin share info saja. Tetaplah di bidang Biologi. Itu ilmu yg dibutuhkan saat ini dan masa depan. Saya tinggal di Australia, melihat masyarakat yang makin peduli akan kesehatan. Sudah terlalu banyak kontaminasi d badan, makanan, sumber alam kita. Jadi, banyak kebutuhan peneliti dan ahli yang berkaitan dg biologi (manusia, tanaman, hewan). Justru, kebutuhan ini yang mendorong banyak industri di sini (publikasi, penelitian, pendidikan, kuliner, pertanian, peternakan, health and wellness, sports, dll).
Oiya, masa-masa sulit saya di Ursula membantu saya ketika terpaksa menjalani hidup dari nol di negara asing, sendirian, tidak punya cukup uang (cuma punya tabungan utk hidup 3-4 bulan saja), budaya dan bahasa asing. Pengalaman ditempa di masa remaja itu....cieee....bikin Saya siap. Karena kepepet, jadi pinter berjuang. Selamat berjuang, kamu pasti bisa!!!
Hai Anita :)
DeleteTerima kasih sudah membaca dan sudah berbagi info dan ceritamu.
Wah Australia! Jadi ingat tahun lalu saya gagal dapat beasiswa untuk kuliah disana.
Salut sekali untukmu yang bisa bertahan seorang diri di tempat asing, pasti sulit ya tapi saya yakin pasti berkesan sekali. Saya tidak tahu dulu kamu dengan Sr Mukti atau tidak, tapi kata-kata beliau masih begitu mengena, "Orang yang sukses biasanya orang yang masa mudanya sulit." alias masa remaja di Sanur dulu haha.
Iya Anita, syukur saya masih menekuni bidang biologi sampai saat ini yang artinya sudah tahun ke enam. Ternyata saya sudah jatuh cinta dengan ilmu ini. Semoga kita semua selalu bersemangat berjuang!!
Kak, lu sama yang kaya gua rasain sekarang di fmipa ui, makanya gua mau pindah tahun ini, doain yak kak
ReplyDeleteSemoga dapat yang terbaik Jerome
Deletesma santa ursula itu alamat asramanya dimana yah? dan kalo boleh tau pada saat kamu di asrama berapa biaya untuk tinggal di asrama, mohon info, tks Tuhan memberkati
ReplyDeletesaat saya sma, saya tidak asrma. Asrama di santa ursula sudah lama tutup.
Delete