MENAPAKI JEJAK SUKU BADUY DALAM
Baduy, suku yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten, konon merupakan suku tertua di bumi Indonesia. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dari Jakarta, kita sudah bisa menikmati alam indah Baduy yang terletak di kaki pegunungan Kendeng. Saat itu kami memilih menggunakan kreta api yang diberangkatkan dari Stasiun Tanah Abang hingga Stasiun Rangkasbitung yang kira-kira memakan waktu 1,5 jam. Sesampai di Stasiun Rangkasbitung, anda dapat menyewa elf atau kendaraan lain. Letak Stasiun kreta tidak jauh dari terminal. Elf hanya dapat mengantar anda ke Desa Cibolegar, kira-kira selama 2 jam. Di Desa Ciboleger kendaraan harus berhenti dan anda akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Disinilah petualangan dimulai. Di Desa Ciboleger, banyak dijumpai anak-anak yang menawarkan tongkat kayu seharga Rp 5.000,-. Jika belum terbiasa mendaki gunung, tongkat ini sangat membantu terlebih saat musim hujan. Disini pula, akan banyak warga Baduy dalam yang menawarkan diri sebagai pemandu perjalanan sekaligus membantu membawa barang bawaan. Warga Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari namun mereka juga sudah fasih berbahasa Indonesia. Jadi jangan segan-segan meminta bantuan mereka sebagai pemandu perjalanan.
Suasana Desa Baduy Luar |
Di awal perjalanan, suasana perkampungan Baduy luar siap
menyambut. Perempuan desa yang sedang menenun kain, anak-anak yang bermain dan
akan terhenti setiap melihat orang asing yang lewat, dan banyak yang
bercengkrama di teras rumah. Banyak juga dijajakan kerajinan buatan mereka
seperti kain tenun, Jarog (tas dari kayu), ikat kepala, gelang, gantungan
kunci, tas rajut, dll. Di Baduy luar penduduknya lebih modern. Banyak diantara
mereka yang sudah mengenakan baju yang seperti kita pakai sehari-hari. Disini
juga masih bisa dijumpai pedagang bakso keliling. Semakin dalam berjalan kaki,
kita akan mulai memasuki hutan-hutan. Perjalanan yang ditempuh selanjutnya
memang tidaklah mudah. Naik bukit, menyusuri lembah, hingga menyebrang sungai
yang arusnya lumayan deras terlebih saat musim penghujan. Tapi semuanya
terbayar dengan pemandangan alam yang luar biasa dan udara yang sangat sejuk.
Letih perjalanan hilang sudah melihat lembah yang begitu hijau diiringi suara
aliran air dan tak urung suara angin. Masyarakat Baduy Dalam biasa meletakan
batang bambu dengan posisi vertical dan disangkutkan di atas pohon. Bambu
tersebut membuat suara angin menjadi terdengar lebih nyaring. Sampai perbatasan
Baduy dalam, kita masih diperbolehkan mengambil foto, namun setelah itu, kamera
harus disimpan. Perbatasan yang kami lewati berupa jembatan bamboo panjang yang
dikencangkan dengan ijuk sehingga sangat kokoh.
Lumbung Padi |
Rumah-rumah di Baduy dalam memiliki bentuk yang kurang lebih
sama. Rumah panggung dengan tinggi kurang lebih satu meter dari tanah. Rumah
panggung ini dibangun berhadapan satu sama lain dan letaknya sangat rapi. Kayu
merupakan rangka rumah tersebut, anyaman bamboo dipilih sebagai dinding, dan
ijuk sebagai atap. Jendela tidak dapat ditemukan di rumah ini, hanya ada pintu
masuk. Beberapa rumah memiliki dua pintu, di bagian depan dan belakang. Bagian
depan setiap rumah, ada ambean atau teras tempat anggota keluarga biasa
mengobrol dengan tetangga. Bagian dalam rumah, rata-rata terdiri dari dapur dan
ruangan besar serba guna, bisa untuk makan, tidur, dan melakukan aktivitas
sehari-hari lainnya. Tidak ada kamar mandi di dalam rumah. Jika ingin mandi
maka ada pancuran khusus yang bisa dipakai warga. Jika akan buang kakus, maka
bisa di sungai. Menurut salah satu pemilik rumah, rumah di Baduy dalam dibangun
sendiri tentunya dengan asas gotong royong.
Terlihat jelas, penduduk di Baduy
dalam memiliki hubungan yang sangat harmonis.
Jembatan yang dibangun secara swadaya |
Baduy dalam sendiri terdiri dari tiga desa, Cikeusik, Cibeo
dan Cikertawana. Jumlah penduduk kurang lebih 800 jiwa. Kepercayaan yang mereka
pegang adalah animisme atau menyembah roh leluruh. Seperti halnya sebuah sistem
masyarakat, Baduy dalam juga memiliki kepala adat yang disebut Puun. Setiap
desa memiliki Puun masing-masing. Sedangkan juru bicara dengan pemerintah daerah
atau pusat disebut Jaro. Rumah Jaro dan Puun saling berdekatan dan terletak di
dekat alun-alun desa, tempat acara adat berlangsung. Ada batasan menuju rumah
Puun dan Jaro yang tidak boleh dilewati sembarang orang. Puun sangat dituakan,
sebagai contoh bila ada warga yang sakit, mereka akan dibawa ke Puun untuk
selanjutnya didoakan dan diberi obat tradisional. Tak jarang caleg bahkan calon
presiden datang ke Baduy Dalam untuk meminta restu dan doa dari Puun. Pemilihan
presiden atau anggota legislative lainnya, warga Baduy tidak ikut pemilihan.
Mereka akan mendukung siapa pun yang menang.
Berpose bersama warga Baduy Dalam |
Masih banyak sekali aturan adat yang begitu ketat di Baduy
dalam. Tidak boleh mengenakan alas kaki, tidak boleh memiliki alat elektronik,
tidak boleh naik kendaraan, tidak boleh keluar kampung lebih dari 15 hari, dan
orang luar hanya boleh menginap satu malam. Pernikahan sendiri diatur dalam
sistem perjodohan dan tidak boleh bercerai. Profesi di Baduy Dalam diwariskan
dalam keluarga. Misalnya untuk penyembelih ayam, hanya ada satu orang yang
diperbolehkan untuk menyembelih ayam di desa. Jika orang tersebut meninggal,
maka anaknya lah yang menggantikan. Mereka sangat taat pada peraturan itu. Di
desa tempat kami tinggal, ada satu anak yang terjatuh dari pohon hingga lumpuh.
Sebenarnya anak itu masih dapat disembuhkan namun dia tidak mampu berjalan kaki
ke kota untuk mendapat perawatan dokter. Hingga akhirnya pemerintah mengirimkan
helikopter untuk membawa anak tersebut namun Puun tetap melarang anak tersebut
naik kendaraan. Hingga saat ini, anak itu masih terbaring di desa dan para
dokterlah yang datang mengobati ke sana.
Salah satu contoh aturan adat yang ketat : WNA tidak diperbolehkan melewati gerbang masuk ke Baduy Dalam |
Peraturan adat demikian ketatnya, tak urung ada warga yang
akhirnya memutuskan keluar kampung dan tidak menjadi bagian dari Baduy dalam
lagi. Hukuman pun berlaku bagi mereka yang tidak mentaati aturan. Hukuman
paling berat adalah dikeluarkan dari kampung, tidak lagi menjadi bagian dari
mereka. Bila pelanggaran masih belum terlalu berat, maka mereka akan dimasukan
semacam tahanan. Mereka akan bekerja tanpa diberi upah, namun masih diberi
makan dan minum. Lama penahanan tergantung dari beratnya kesalahan. Setiap desa
memiliki ‘rumah tahanan’ nya masing-masing. Namun uniknya, penduduk yang
melanggar tidak boleh ditahan di desanya sendiri. Misalnya warga Cibeo melanggar
aturan, maka ia akan menjalani masa hukuman di Desa Cikeusik.
Warga Baduy Dalam tergolong sejahtera. Mereka sudah mengenal
uang dan boleh membelanjakanya di toko atau di pasar. Namun sistem barter juga
masih berlaku, tak jarang warga ke pasar di kota dan menukarkan hasil berladang
dengan barang yang mereka butuhkan. Mereka berkecukupan dan sehat. Mereka hidup
dengan caranya sendiri, tidak memiliki ambisi apapun selain hidup cukup.
Pedesaan Baduy Luar |
(Photo taken by : Nadindra Shinduasti and Rani Fransiska)
Comments
Post a Comment