MENAPAKI JEJAK SUKU BADUY DALAM




 
Kasiman, anak dari pemandu perjalanan kami
Baduy, Januari 2015

Baduy, suku yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten, konon merupakan suku tertua di bumi Indonesia. Hanya dengan waktu tempuh sekitar 4 jam dari Jakarta, kita sudah bisa menikmati alam indah Baduy yang terletak di kaki pegunungan Kendeng. Saat itu kami memilih menggunakan kreta api yang diberangkatkan dari Stasiun Tanah Abang hingga Stasiun Rangkasbitung yang kira-kira memakan waktu 1,5 jam. Sesampai di Stasiun Rangkasbitung, anda dapat menyewa elf atau kendaraan lain. Letak Stasiun kreta tidak jauh dari terminal. Elf hanya dapat mengantar anda ke Desa Cibolegar, kira-kira selama 2 jam. Di Desa Ciboleger kendaraan harus berhenti dan anda akan melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Disinilah petualangan dimulai. Di Desa Ciboleger, banyak dijumpai anak-anak yang menawarkan tongkat kayu seharga Rp 5.000,-. Jika belum terbiasa mendaki gunung, tongkat ini sangat membantu terlebih saat musim hujan. Disini pula, akan banyak warga Baduy dalam yang menawarkan diri sebagai pemandu perjalanan sekaligus membantu membawa barang bawaan. Warga Baduy Dalam menggunakan bahasa Sunda sebagai bahasa sehari-hari namun mereka juga sudah fasih berbahasa Indonesia. Jadi jangan segan-segan meminta bantuan mereka sebagai pemandu perjalanan.

Suasana Desa Baduy Luar
Di awal perjalanan, suasana perkampungan Baduy luar siap menyambut. Perempuan desa yang sedang menenun kain, anak-anak yang bermain dan akan terhenti setiap melihat orang asing yang lewat, dan banyak yang bercengkrama di teras rumah. Banyak juga dijajakan kerajinan buatan mereka seperti kain tenun, Jarog (tas dari kayu), ikat kepala, gelang, gantungan kunci, tas rajut, dll. Di Baduy luar penduduknya lebih modern. Banyak diantara mereka yang sudah mengenakan baju yang seperti kita pakai sehari-hari. Disini juga masih bisa dijumpai pedagang bakso keliling. Semakin dalam berjalan kaki, kita akan mulai memasuki hutan-hutan. Perjalanan yang ditempuh selanjutnya memang tidaklah mudah. Naik bukit, menyusuri lembah, hingga menyebrang sungai yang arusnya lumayan deras terlebih saat musim penghujan. Tapi semuanya terbayar dengan pemandangan alam yang luar biasa dan udara yang sangat sejuk. Letih perjalanan hilang sudah melihat lembah yang begitu hijau diiringi suara aliran air dan tak urung suara angin. Masyarakat Baduy Dalam biasa meletakan batang bambu dengan posisi vertical dan disangkutkan di atas pohon. Bambu tersebut membuat suara angin menjadi terdengar lebih nyaring. Sampai perbatasan Baduy dalam, kita masih diperbolehkan mengambil foto, namun setelah itu, kamera harus disimpan. Perbatasan yang kami lewati berupa jembatan bamboo panjang yang dikencangkan dengan ijuk sehingga sangat kokoh.

Lumbung Padi
Rumah-rumah di Baduy dalam memiliki bentuk yang kurang lebih sama. Rumah panggung dengan tinggi kurang lebih satu meter dari tanah. Rumah panggung ini dibangun berhadapan satu sama lain dan letaknya sangat rapi. Kayu merupakan rangka rumah tersebut, anyaman bamboo dipilih sebagai dinding, dan ijuk sebagai atap. Jendela tidak dapat ditemukan di rumah ini, hanya ada pintu masuk. Beberapa rumah memiliki dua pintu, di bagian depan dan belakang. Bagian depan setiap rumah, ada ambean atau teras tempat anggota keluarga biasa mengobrol dengan tetangga. Bagian dalam rumah, rata-rata terdiri dari dapur dan ruangan besar serba guna, bisa untuk makan, tidur, dan melakukan aktivitas sehari-hari lainnya. Tidak ada kamar mandi di dalam rumah. Jika ingin mandi maka ada pancuran khusus yang bisa dipakai warga. Jika akan buang kakus, maka bisa di sungai. Menurut salah satu pemilik rumah, rumah di Baduy dalam dibangun sendiri tentunya dengan asas gotong royong. 
Terlihat jelas, penduduk di Baduy dalam memiliki hubungan yang sangat harmonis.

Jembatan yang dibangun secara swadaya
Baduy dalam sendiri terdiri dari tiga desa, Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana. Jumlah penduduk kurang lebih 800 jiwa. Kepercayaan yang mereka pegang adalah animisme atau menyembah roh leluruh. Seperti halnya sebuah sistem masyarakat, Baduy dalam juga memiliki kepala adat yang disebut Puun. Setiap desa memiliki Puun masing-masing. Sedangkan juru bicara dengan pemerintah daerah atau pusat disebut Jaro. Rumah Jaro dan Puun saling berdekatan dan terletak di dekat alun-alun desa, tempat acara adat berlangsung. Ada batasan menuju rumah Puun dan Jaro yang tidak boleh dilewati sembarang orang. Puun sangat dituakan, sebagai contoh bila ada warga yang sakit, mereka akan dibawa ke Puun untuk selanjutnya didoakan dan diberi obat tradisional. Tak jarang caleg bahkan calon presiden datang ke Baduy Dalam untuk meminta restu dan doa dari Puun. Pemilihan presiden atau anggota legislative lainnya, warga Baduy tidak ikut pemilihan. Mereka akan mendukung siapa pun yang menang.  

Berpose bersama warga Baduy Dalam
Masih banyak sekali aturan adat yang begitu ketat di Baduy dalam. Tidak boleh mengenakan alas kaki, tidak boleh memiliki alat elektronik, tidak boleh naik kendaraan, tidak boleh keluar kampung lebih dari 15 hari, dan orang luar hanya boleh menginap satu malam. Pernikahan sendiri diatur dalam sistem perjodohan dan tidak boleh bercerai. Profesi di Baduy Dalam diwariskan dalam keluarga. Misalnya untuk penyembelih ayam, hanya ada satu orang yang diperbolehkan untuk menyembelih ayam di desa. Jika orang tersebut meninggal, maka anaknya lah yang menggantikan. Mereka sangat taat pada peraturan itu. Di desa tempat kami tinggal, ada satu anak yang terjatuh dari pohon hingga lumpuh. Sebenarnya anak itu masih dapat disembuhkan namun dia tidak mampu berjalan kaki ke kota untuk mendapat perawatan dokter. Hingga akhirnya pemerintah mengirimkan helikopter untuk membawa anak tersebut namun Puun tetap melarang anak tersebut naik kendaraan. Hingga saat ini, anak itu masih terbaring di desa dan para dokterlah yang datang mengobati ke sana.

Salah satu contoh aturan adat yang ketat : WNA tidak diperbolehkan melewati gerbang masuk ke Baduy Dalam
Peraturan adat demikian ketatnya, tak urung ada warga yang akhirnya memutuskan keluar kampung dan tidak menjadi bagian dari Baduy dalam lagi. Hukuman pun berlaku bagi mereka yang tidak mentaati aturan. Hukuman paling berat adalah dikeluarkan dari kampung, tidak lagi menjadi bagian dari mereka. Bila pelanggaran masih belum terlalu berat, maka mereka akan dimasukan semacam tahanan. Mereka akan bekerja tanpa diberi upah, namun masih diberi makan dan minum. Lama penahanan tergantung dari beratnya kesalahan. Setiap desa memiliki ‘rumah tahanan’ nya masing-masing. Namun uniknya, penduduk yang melanggar tidak boleh ditahan di desanya sendiri. Misalnya warga Cibeo melanggar aturan, maka ia akan menjalani masa hukuman di Desa Cikeusik.
Warga Baduy Dalam tergolong sejahtera. Mereka sudah mengenal uang dan boleh membelanjakanya di toko atau di pasar. Namun sistem barter juga masih berlaku, tak jarang warga ke pasar di kota dan menukarkan hasil berladang dengan barang yang mereka butuhkan. Mereka berkecukupan dan sehat. Mereka hidup dengan caranya sendiri, tidak memiliki ambisi apapun selain hidup cukup.

Pedesaan Baduy Luar
 (Photo taken by : Nadindra Shinduasti and Rani Fransiska)

Comments

Popular Posts