Good or Bad, Who Knows?
Ketika kamu sudah menjadi yang terbaik di kelompokmu, maka
itu pertanda bahwa sudah saatnya kamu pergi. Selama ini ada dua orang yang memberi
nasihat yang sama. Pertama Eyang kedua teman kuliah. Eyang pernah bilang gini: “Kamu
gak akan berkembang kalau kamu sudah menjadi yang paling pintar. Jadilah yang
paling bodoh dan kamu akan banyak belajar.”
Bahkan Eyang bilang ketika aku masih menyusu menggunakan botol alias belum lulus TK. Tapi entah kenapa, hal itu yang paling aku ingat sampai sekarang dan itulah yang aku terapkan dari dulu sampai sekarang.
Waktu kuliah, temanku namanya Medea. Dia perempuan keturunan Tionghoa yang sangat pintar, gaul, dan menurutku pemikiranya out of box. “Gue jarang mau main sama orang yang seumuran. Menurut gue, main sama orang yang lebih tua itu jauh lebih asik karena gue bisa liat sudut pandang mereka yang lebih dewasa.”
Well…itu yang mau aku bagikan disini. Banyak temanku yang lebih tua, tapi belum jadi tua Bangka. Karena yang tua Bangka biasanya malah menggurui dan berakhir dengan berbeda pendapat lalu mereka biasanya tidak mau kalah. Aku mulai jengkel dan menjadi ketus. Lalu meletuslah pertempuran kata-kata yang sengit. Kedua pihak bukanya saling menguatkan justru malah saling mengumpat. Ya, untuk menghindari itu, aku lebih suka berteman dengan orang yang 3-9 tahun lebih tua.
Bahkan Eyang bilang ketika aku masih menyusu menggunakan botol alias belum lulus TK. Tapi entah kenapa, hal itu yang paling aku ingat sampai sekarang dan itulah yang aku terapkan dari dulu sampai sekarang.
Waktu kuliah, temanku namanya Medea. Dia perempuan keturunan Tionghoa yang sangat pintar, gaul, dan menurutku pemikiranya out of box. “Gue jarang mau main sama orang yang seumuran. Menurut gue, main sama orang yang lebih tua itu jauh lebih asik karena gue bisa liat sudut pandang mereka yang lebih dewasa.”
Well…itu yang mau aku bagikan disini. Banyak temanku yang lebih tua, tapi belum jadi tua Bangka. Karena yang tua Bangka biasanya malah menggurui dan berakhir dengan berbeda pendapat lalu mereka biasanya tidak mau kalah. Aku mulai jengkel dan menjadi ketus. Lalu meletuslah pertempuran kata-kata yang sengit. Kedua pihak bukanya saling menguatkan justru malah saling mengumpat. Ya, untuk menghindari itu, aku lebih suka berteman dengan orang yang 3-9 tahun lebih tua.
Contoh pertama kakaku. Dia persis seperti ayahku. Wataknya keras
dan suka menjengkelkan. Tapi yang paling aku suka, dia sangat objektif. Meskipun
aku adikknya, dia tega bilang bahwa aku yang brengsek bukan orang lain. Kalau memang
aku yang salah. Dan pandanganya tengtang ‘orang-orang’ yang paling aku suka. Dia
selalu bilang, dimana pun kamu kerja akan selalu ada dedemit dan orang baik. Akan
selalu ada iblis dan malaikat. Seperti dua sisi yang tidak bisa dipisah. Aku jadi
ingat cerita di Alkibat. Yesus pernah bilang, Jangan cabut ilalang karena
otomatis kamu juga akan mencabut tanaman pokok. Jadi biarkan mereka tumbuh
bersama. Tanaman pokok pasti akan tumbuh lebih kuat dan bisa dipanen. Di kantorku
yang lama, kebetulan sekali bosku itu banyak musuhnya. Aku selalu berpikir,
orang baik pasti banyak musuhnya. Jadi kesimpulanya bosku itu orang baik. Makin
lama aku makin sadar, yang dedemit itu bosku! Dasar setan kecil.
Satu lagi perkataan kakaku, jangan bekerja di perusahaan berbiaya rendah. Yang ini, membuatku geleng-geleng kepala. Pertama kakakku kerja di bank yang membawa nama negara, dan itu bank besar. Kedua aku kerja di perusahaan Amerika yang tidak bisa dibilang kecil. Ketiga ketika bilang hal itu, kami sedang membicarakan temanku yang kerja di perusaaan kecil dan akhirnya dia tidak kuat karena bosnya bodoh sekaligus gajinya kecil. Jadi awalya aku pikir, mungkin kakakku mulai meremehkan temanku. Aku paling benci ketika seseorang harus dinilai berdasarkan dimana dia kerja. Perusahaan kecil belum tentu dia tidak akan sukses kan? Tapi kenyataanya perkataan kakaku ini ada benarnya juga. Perusahaan kecil itu rawan bangkrut, bagaimana bisa kita berkarir kalau besok atau lusa perusahaan kita bangkrut? Kita kerja bukan hanya untuk cari uang kan…?
Satu lagi perkataan kakaku, jangan bekerja di perusahaan berbiaya rendah. Yang ini, membuatku geleng-geleng kepala. Pertama kakakku kerja di bank yang membawa nama negara, dan itu bank besar. Kedua aku kerja di perusahaan Amerika yang tidak bisa dibilang kecil. Ketiga ketika bilang hal itu, kami sedang membicarakan temanku yang kerja di perusaaan kecil dan akhirnya dia tidak kuat karena bosnya bodoh sekaligus gajinya kecil. Jadi awalya aku pikir, mungkin kakakku mulai meremehkan temanku. Aku paling benci ketika seseorang harus dinilai berdasarkan dimana dia kerja. Perusahaan kecil belum tentu dia tidak akan sukses kan? Tapi kenyataanya perkataan kakaku ini ada benarnya juga. Perusahaan kecil itu rawan bangkrut, bagaimana bisa kita berkarir kalau besok atau lusa perusahaan kita bangkrut? Kita kerja bukan hanya untuk cari uang kan…?
Contoh kedua temanku dan cecehnya. Namanya Betty yang
umurnya 3 tahun lebih tua dari aku. Dan cecehnya enam tahun lebih tua dari aku.
Aku sering sekali main ke rumah mereka. Bukan karena hanya sering mendapat
asupan gizi gratis dan sehat tapi karena mengobrol sama mereka rasanya seperti
mengobrol dengan Ajahn Brahm. Fisikawan Amerika yang akhirnya memutuskan
menjadi biksu di Thailand. Ajaranya bagus sekali, sampai-sampai saya sempat
ingin masuk Budha saja. Tapi sayangnya mereka menerapkan hukum karma sebagai
hukum yang terutama. Aku tidak bisa sepenuhnya setuju karena menurutku hukum
kasih lah yang terutama. Seperti bagaimana yang Yesus sendiri ajarkan.
Oke balik lagi ke Kak Betty dan cecehnya. Kemarin, aku menghabiskan sore di rumah mereka. Aku datang membawa hamburger dan kegalauan. Aku sedang dihadapkan dua pilihan : masuk ke kantor baru dengan ikatan dinas 4 tahun atau mencari pekerjaan lain. Sejak keluar dari perusahaan Amerika itu, aku hanya melamar di tiga tempat. Rumah sakit, lembaga penelitian, dan perusahaan obat (yang mengharuskan aku terikat dinas 4 tahun). Rumah sakit, satu bulan aku disana lalu keluar. Bukan tempat yang cocok. Gaji disana hanya cukup menutupi uang makan dan transport. Lembaga penelitian, tidak keterima. Jadi aku cuma punya pilihan menerima atau menolak si perusahaan obat itu. Kegalauan itu yang aku bawa-bawa kemarin sore. Si ceceh bilang, galau itu bagus Han. Itu tanda kalau kamu mulai dewasa. Kamu berpikir sebelum menerima sesuatu. Lagian kenapa kamu galau? Bukanya bagus kerja disitu? Perusahaan besar loh itu. Awalnya aku senang sekali saat tahu aku lolos seleksi. Tapi kata seniorku, dua orang bahkan, kerja di situ tuh jangan kelamaan. Bisa gila kamu. Nah loh, bahkan minimal aku akan kerja empat tahun disana. Lagi-lagi semua rasa senang hilang karena kata orang. ‘Kata orang’ itu seperti monster. Melahap semuanya hidup-hidup.
Si ceceh tanya: “Kamu sudah ada plan lain?”
Sayangnya tidak ada. Belum ada plan selain kerja di tahun ini. Aku belum melamar beasiswa master. Aku belum punya pacar yang bisa aku nikahi. Intinya tidak akan ada apa-apa di tahun ini selain bekerja.
Pertanyaan kedua si ceceh : “Kamu udah tau passion kamu dimana?” Aku menggeleng. Aku suka kerja di lab ceh, gak mau jauh-jauh dari biologi. Marketing boleh lah. Si ceceh bertanya lagi : “Kerjaan kamu yang ini, sesuai sama passion kamu?” Dengan depresi aku menjawab, “Ceh bahkan aku gak tau passionku apa. Aku cuma tau aku suka sains dan marketing boleh lah…”
Si ceceh kali ini tidak bertanya lagi. Dia jawab : “Take it. Kamu gak pernah tahu either it’s good or bad. Kamu belum ada plan lain. Kamu belum tau passion kamu apa.”
Ya semudah itu ternyata. Kamu tidak pernah tahu apakah ini akan jadi baik atau buruk, karena hidup memang begitu, kadang baik kadang buruk.
Ceceh bertanya lagi : “Kamu umur berapa sekarang han?” “Dua tiga, Ceh.” “Ya ampun..you’re so young!” si ceceh kalau ngomong memang suka campur-campur dengan Bahasa Inggris. “Kalau nanti umurmu udah 30 tahun. Kamu akan tahu passion kamu dimana. Dan saat itu, ketika ada orang yang mencoba membelokkan kamu. Kamu udah gak goyah kayak sekarang. But it’s ok, it’s process to be mature. Dulu aku juga kayak kamu,Han. Bingung mau ngapain. Sekarang udah gak lagi tuh.”
Oke balik lagi ke Kak Betty dan cecehnya. Kemarin, aku menghabiskan sore di rumah mereka. Aku datang membawa hamburger dan kegalauan. Aku sedang dihadapkan dua pilihan : masuk ke kantor baru dengan ikatan dinas 4 tahun atau mencari pekerjaan lain. Sejak keluar dari perusahaan Amerika itu, aku hanya melamar di tiga tempat. Rumah sakit, lembaga penelitian, dan perusahaan obat (yang mengharuskan aku terikat dinas 4 tahun). Rumah sakit, satu bulan aku disana lalu keluar. Bukan tempat yang cocok. Gaji disana hanya cukup menutupi uang makan dan transport. Lembaga penelitian, tidak keterima. Jadi aku cuma punya pilihan menerima atau menolak si perusahaan obat itu. Kegalauan itu yang aku bawa-bawa kemarin sore. Si ceceh bilang, galau itu bagus Han. Itu tanda kalau kamu mulai dewasa. Kamu berpikir sebelum menerima sesuatu. Lagian kenapa kamu galau? Bukanya bagus kerja disitu? Perusahaan besar loh itu. Awalnya aku senang sekali saat tahu aku lolos seleksi. Tapi kata seniorku, dua orang bahkan, kerja di situ tuh jangan kelamaan. Bisa gila kamu. Nah loh, bahkan minimal aku akan kerja empat tahun disana. Lagi-lagi semua rasa senang hilang karena kata orang. ‘Kata orang’ itu seperti monster. Melahap semuanya hidup-hidup.
Si ceceh tanya: “Kamu sudah ada plan lain?”
Sayangnya tidak ada. Belum ada plan selain kerja di tahun ini. Aku belum melamar beasiswa master. Aku belum punya pacar yang bisa aku nikahi. Intinya tidak akan ada apa-apa di tahun ini selain bekerja.
Pertanyaan kedua si ceceh : “Kamu udah tau passion kamu dimana?” Aku menggeleng. Aku suka kerja di lab ceh, gak mau jauh-jauh dari biologi. Marketing boleh lah. Si ceceh bertanya lagi : “Kerjaan kamu yang ini, sesuai sama passion kamu?” Dengan depresi aku menjawab, “Ceh bahkan aku gak tau passionku apa. Aku cuma tau aku suka sains dan marketing boleh lah…”
Si ceceh kali ini tidak bertanya lagi. Dia jawab : “Take it. Kamu gak pernah tahu either it’s good or bad. Kamu belum ada plan lain. Kamu belum tau passion kamu apa.”
Ya semudah itu ternyata. Kamu tidak pernah tahu apakah ini akan jadi baik atau buruk, karena hidup memang begitu, kadang baik kadang buruk.
Ceceh bertanya lagi : “Kamu umur berapa sekarang han?” “Dua tiga, Ceh.” “Ya ampun..you’re so young!” si ceceh kalau ngomong memang suka campur-campur dengan Bahasa Inggris. “Kalau nanti umurmu udah 30 tahun. Kamu akan tahu passion kamu dimana. Dan saat itu, ketika ada orang yang mencoba membelokkan kamu. Kamu udah gak goyah kayak sekarang. But it’s ok, it’s process to be mature. Dulu aku juga kayak kamu,Han. Bingung mau ngapain. Sekarang udah gak lagi tuh.”
Ya itulah sebabnya,aku selalu betah dekat dengan orang yang
tua. Yang lebih dewasa. Mereka sudah melewati masa-masa yang sedang aku jalani
sekarang. Tapi aku tetap betah berteman dengan yang seumuran kok. Dua orang
temanku, yang sama-sama santai. Yang sama-sama berbanding terbalik denganku. Tapi
dibalik santainya mereka, mereka selalu serius mendengar semuaa ceritaku yang
lebih banyak membosankanya. Bahkan dari A sampai Z mereka menyimak tanpa
memotong.
Comments
Post a Comment