Sawarna: Laut & Langit dalam Satu Warna
Pantai Tanjung Layar |
Rute Pantai Sawarna |
Sawarna! Itulah tujuan liburan kami akhir pekan ini. Jam 7
pagi kami sudah berkemas dan siap berangkat dari Jakarta. Berbekal Waze,
bertanya sana-sini, dan kesok-tahuan kami, akhirnya sampailah kami di Desa
Sawarna setelah sekitar 5 jam perjalanan. Mobil kami parkirkan di depan mini market yang paling dekat dengan
tempat kami menginap. Banyak sekali bapak-bapak dan mas-mas yang menawarkan
tempat menginap, namun kami sudah keburu booking
kamar di salah satu rumah penduduk. Setelah bertemu dengan si Bapak, kami
diantark ke rumah beliau. Ternyata kami harus menyebarangi sungai dengan
jembatan gantung alias Jembatan Cikaung. Hebatnya, jembatan ini biasa dilalui
kendaraan bermotor juga dan tidak rapuh sama sekali. Sesampainya disebrang,
banyak sekali rumah penduduk yang sudah disulap menjadi Home stay.
Ternyata desa ini sudah bermetaformosis sedemikian rupa
menjadi tempat wisata yang unik. Katanya, dulu Sawarna masih bagian dari Baduy.
Ya, suku yang memilih hidup sederhana tanpa tersentuh moderenisasi. Namun
sepertinya warga Sawarna lebih memilih teknologi masuk desa. Rumah penduduk
memang masih sederhana namun sudah berdinding bata. Listrik sudah wajar
digunakan di sini. Warga pun sudah mengendarai sepeda motor, tidak seperti suku
Baduy Dalam yang berjalan kaki tanpa alas kemana pun mereka pergi.
Tak lama menapaki jalan batu akhirnya sampailah kami di
rumah si Bapak. Yang paling menakjubkan adalah sawah berhektar-hektar
terbentang di depan rumah. Bagaimana mungkin ada sawah di daerah pantai? Sampai
sekarang pun saya masih bingung. Saat itu sudah jam 12 dan kami memutuskan
untuk mulai memasak. Ya, tempat yang kami sewa lumayan besar ada 1 kamar tidur,
1 kamar mandi, teras, ruang makan, dan dapur lengkap dengan peralatan masak. Sewanya
sekitar Rp 450.000/malam.
Menjelang pukul 3 sore, kami bersiap-siap ke pantai, tapi
sayangnya hujan turun cukup lebat. Sambil menunggu hujan reda, kami memutuskan
bermain kartu remi sambil menyantap Indomie rebus yang bisa dipesan di warung
terdekat. Sekitar pukul 16.30, hujan baru mereda. Kami bersiap-siap menikmati
sunset di Pantai Pasir Putih dengan berjalan kaki. Hujan tadi meninggalkan
genangan air dan membuat tanah menjadi lembek. Untungnya ada beberapa bagian
jalan yang sudah dibangun jalan setapak dari batu. Sekitar 15 menit kami
berjalan, dengan sawah di kanan dan kiri jalan yang membuat saya tambah
bingung. Daerah pantai bukanya airnya payau? Lalu kenapa padinya subur sekali?
Kebingungan saya berhenti ketika melihat pasir putih yang begitu luas. Saat itu
pantai sepi, kami bisa bermain sepuasnya. Bahkan kami memutuskan bermain
TaBenteng, permainan jaman SD dulu. Pemenangnya adalah kelompok yang bisa
menyentuh benteng lawan. Satu jam kami puas bermain hingga kehabisan nafas.
Sampai ada satu teman yang mengajak susur pantai. Kami semua setuju dan mulai
menyusuri pantai.
Pantai Tanjung Layar |
Setelah kurang lebih 20 menit jalan kaki, saat itu menjelang
pukul 6, kami melihat keramaian di depan, kami pun kesana. Saya kagum dengan
apa yang saya lihat. Dua karang tinggi besar menjulang dihantam ombak-ombak
yang mulai meninggi. Belakangan saya baru tahu namanya Pantai Tanjung Layar.
Kami berjalan, mencoba mendekati kedua karang tersebut. Di balik karang itu
ternyata ada beberapa orang siap dengan kameranya masing-masing, mencoba
memfoto ombak. Dapat dikatakan paduan biru air laut, ombak, dan sunset sungguh
hal yang tak bisa dilewatkan. Hal yang membuat saya begitu terpesona adalah,
banyak sekali hewan-hewan laut di balik bebatuan tempat kami berpijak. Bahkan
saya sempat melihat bantal rajam, ular laut dan bintang ular. Pantai ini masih
alami. Satu jam kami memuaskan diri berfoto disini lalu memutuskan pulang ke
penginapan.
Ombak mulai meninggi |
Bantal Raja |
Sesampai di penginapan dan berbasuh, kami memasak makan malam. Saat
itu, Bapak pemilik penginapan menawarkan jasa guide untuk rencana besok: Goa Lalay dan Pantai Legon Pari. Kami
membayar jasa tersebut seharga Rp 100.000,-.
Esok hari, subuh betul, sekitar jam 5 sang guide sudah
mengetuk kamar penginapan. Kami pun bersiap namun sayangnya hujan lebat sekali.
Akhirnya kami memutuskan untuk sarapan terlebih dahulu sambil menunggu hujan
reda. Jam 6.30 kami mulai jalan ke Goa Lalay. Kami memilih lewat jalan raya.
Meskipun lebih memutar, tapi tidak licin karena jalanan sudah diaspal. Tiket
masuk Goa Lalay Rp 10.000/orang. Caving
kali ini tidaklah berat, karena kami memang tidak memilih jalur yang berat.
Hujan masih turun di luar, kami khawatir terjadi banjir tiba-tiba di dalam Goa.
Itulah sebabnya kami memilih jalur yang paling mudah. Bagi pencinta olahraga
caving, tidak perlu kuatir. Pengelola Goa juga menyewakan peralatan lengkap
untuk caving. Jalur berat yang tersedia pun menantang.
Begitu masuk goa, guide kami langsung menyalakan headlamp
nya. Untuk berjaga, lebih baik jika memiliki headlamp pribadi silahkan dibawa. Di dalam Goa, kita bisa menikmati
stalakmit dan stalaktit yang terbentuk mungkin sudah ratusan tahun. Ada daerah
dimana dinding atas Goa terdapat banyak sekali kalelawar. Bagian dalam Goa ada
yang digenangi air setinggi kurang lebih paha orang dewasa dan ada juga bagian
yang kering.
Goa Lalay |
Setelah kurang lebih 1 jam, kami keluar Goa dan memulai
berjalan ke Pantai Legon Pari. Kami memilih track
menyusuri perkebunan sayur milik warga dan sesekali menyebrang sungai. Karena
hujan cukup deras dari subuh, tanah pun menjadi kian lembek dan licin. Beberapa
kali kami tergelencir tapi jangan kuatir, tidak akan terluka parah karena
tanahnya lembek dan tidak berbatu. Disarankan memakai minimal sandal gunung.
Setelah kurang lebih 1,5 jam berjalan akhirnya kami sampai di Legon Pari.
Ombaknya sangat tinggi dan hujan masih cukup deras. Cuaca tak menghalangi
keantusiasan kami untuk berenang di pantai. Dua jam kami berenang dan mengobrol
sambil menikmati bekal yang kami bawa.
Pantai Legon Pari |
Tak terasa matahari mulai meninggi, kami pun memutuskan
pulang. Kami memilih track yang berbeda untuk pulang, yaitu susur pantai
melewati Pantai Karang Taraje, Pantai Tanjung Layar dan terakhir Pantai Pasir
Putih sebelum akhirnya sampai di penginapan. Ternyata pantai tersebut pantai
berbatu, bukan pantai pasir. Ini menjadi tantangan tersendiri. Berjalan dari
batu ke batu tidaklah mudah karena saat itu saya memakai sandal jepit. Sangat
licin dan harus hati-hati. Karena jika terjatuh, sangat mudah terluka akibat
karang-karang tajam disela batu. Dua setengah jam lamanya kami berjalan hingga di
penginapan. Sampai di penginapan kami mandi dan makan di warung ikan bakar
dekat penginapan. Makan kenyang sekali hanya menghabiskan Rp 12.000/orang. Harga
mahasiswa kalau kata teman saya. Setelah kenyang, kami pun pulang ke Jakarta.
(Photo taken by : Liana Christy, abang tour guide, and me!)
Comments
Post a Comment