Love until it hurts


 Sudah lewat jam makan malam, dan aku masih terjebak macet. Bayangkan sudah 1 jam aku bergerak dikecepatan 1 meter per 30 menit, lebih lelet ketimbang balita yang mengendarai sepeda roda tiga. Tanganku dingin, kepalaku sakit, dan parahnya sekarang aku merasa bodoh bukan main. Pedal gas aku injak perlahan sambil memicingkan mata aku melihat papan petunjuk exit pintu Pondok Indah 500m. Harusnya aku berada di arah berlawanan, arah tol Bintara, arah ke rumahku.
“Flight nya jam berapa, Han?” Alfred temanku sejak SMA,yang duduk di kursi penumpang, baru saja terbangun dari tidur singkatnya.
“Jam10.”
Aku merasakan pilu amat sangat. Tinggal tersisa 2 jam lagi dan kami masih jauh untuk sampai Bandara Soekarno Hatta. Bukan, aku bukan takut ketinggalan pesawat. Jelas saja karena bukan aku yang akan pergi. Tetapi dia, laki-laki yang aku cintai sejak aku masih di tingkat dua.

***

Akhir tahun. Masa-masa sibuk di hampir semua kantor. Meskipun aku hanya technical support tapi aku juga kecipratan banyak kerjaan. Data selling in, data selling out, dan pertanggung jawaban semua proyek dalam setahun. Semuanya harus selesai sebelum tanggal 20. Aku ingat betul, saat itu jam menunjukan pukul 9 malam. Telpon genggam ku berdering. Nomer asing.
“Hallo. Ini Hanna?” aku tahu pemilik suara ini.
“Ya. Ada apa?” aku sendiri kaget mendengar nada dingin keluar begitu saja dari bibirku.
“Saya mau pamit, Hanna.” Jujur aku mengharapkan dia bisa berbasa-basi sedikit. Menanyakan kabarku atau semacamnya, tapi ternyata dia masih sama.
 “Kamu mau kemana, Pram?” kali ini nadaku terdengar sedikit kecewa.
“Lusa saya berangkat ke Swedia. Saya dapat beasiswa. Saya cuma mau pamit. Flight saya jam 10 malam.”
“Oh selamat kalau gitu. Sukses ya.”
Dan pembicaraan aneh itu berakhir begitu saja. Menggantung tanpa kejelasan. Maksudnya apa? Buat apa pamit? Bahkan kita sudah tidak pernah bersinggungan sejak kita lulus. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Sejak lulus kita bagai hidup di dua kutub yang berbeda. Aku mati-matian membangun karirku. Dan dia mengejar riset sebanyak mungkin. Kita tidak pernah lagi saling bertanya kabar. Kita saling tidak tahu hidup kita masing-masing. Iya aku marah. Setelah dia dulu yang hilang begitu saja, sekarang tiba-tiba muncul. Ah, aku tidak mau terlalu terlarut dalam pertanyaan-pertanyaan yang mungkin saja bisa menimbulkan harapan.

***      

Aku sudah kehilangan kendali akan sabarku sendiri. Aku banting stir dan ngebut di bahu jalan. Persetan dengan polisi. Persetan dengan aturan. Alfred, tentu saja dia kaget dan mulai mengomel seperti Ibu-ibu yang baru mengambil raport anaknya. Dan sialnya raport itu seperti kebun bunga di musim semi, merah merona. Aku tahu aku salah. Orang bodoh pun tahu aku salah. Meminjam mobil orang lalu membawanya ugal-ugalan di jalan. Ah tapi biarlah kali ini saja aku akan berfikir, persetan juga denganmu, Alfred.

Alfred akhirnya diam, sediam jalan tol sekarang. Ternyata ada kecelakaan tadi. “Maaf ya, Fred.” Sial betul, Alfred malah tertawa ngakak sambil mengacak-acak rambutku. Padahal aku sungguhan meminta maaf. “Nanti pulangnya kamu yang nyetir deh, biar aman ini mobil.” “Eh enak aja, kamu lah yang nyetir. Kan perjanjianya gitu. Boleh pinjem tapi kamu yang nyetir.” Beberapa hari ini memang Alfred pulang lebih larut dibanding aku. Pekerjaanya jauh lebih banyak. Tadi aku memaksa meminjam mobilnya dan meminta ditemani ke bandara, padahal matanya sudah merah dan kantung matanya sudah menggelayut. Jadilah aku yang menyetir dan Alfred seperti bayi besar, tidur dengan nyenyak di kursi penumpang. Rasanya menyenangkan, merasa perkasa bisa nyetirin cowok.
Aku membelokan mobil ke terminal 3. Aku mencengkram setir begitu kuat. Aku mulai gelisah. Aku galau. Tapi aku harus bertemu Pramana. Mengatakan apa yang harus aku katakan. Aku berimajinasi aku sedang berada di lorong gelap tanpa tahu ada apa di ujung sana. Aku terus berjalan maju, karena aku tidak mau mundur. Aku menyipitkan mata, berusaha beradaptasi dengan kegelapan tapi tetap saja tidak bisa melihat ujung. Aku mendengar suara-suara menakutkan di ujung sana. Mungkin dedemit, mungkin memang ini lorong setan. Aku mulai ragu apa iya aku harus maju?
Lamunanku buyar. Aku merasakan belaian di rambutku, menyisir rambutku ke belakang telinga. Sebentar aku memejamkan mata, menikmati belaianya. Aku menoleh dan mendapati Alfred tersenyum begitu tulus. Dalam diam dia memberitahu keputusanku tepat.

Bandara tidak pernah diam. Kadang aku heran, orang-orang ini pada mau kemana sih? Ramai betul. Tua, muda, laki-laki perempuan, semuanya ada. Tumpah ruah. Mataku mulai menyiri pintu masuk penumpang. Ah memang ya, tidak pernah sulit menemukan Pramana. Dia tinggi-besar, botak-buncit, dan putih mengkilat. Sungguh mengkilat kepalanya, sepeti habis digosok dengan KIT.
“Pramana.” Suaraku cukup terdengar tapi sayangnya bukan oleh Pramana. Melainkan oleh perempuan yang aku cemburui setengah mati.
“Pramana.” Kali ini aku mendekatinya.
“Hanna.” Cuma itu kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku tidak ingin malam ini berakhir seperti film-film India. Banjir air mata.
“Bisa bicara sebentar?”
Aku kembali ragu. “Selamat akhirnya kamu dapat semua yang kamu mau. Beasiswa dan keluarga yang kamu cintai.” Aku melirik ke arah perempuan yang menggilai Pramana sejak kuliah dulu dengat amat sangat.
“Terima kasih. Saya senang kamu datang.”
“Good luck.” Dan aku merasa sungguh cengeng karena sekarang air mataku mulai menitik di ujung mata.
“Saya sayang kamu. Selamanya akan tetap begitu.” Mungkin malam ini memang ditakdirkan seperti film India.
“Saya pamit.” Itu kata-kata terakhir yang aku dengar sebelum dia kembali ke perempuan itu.

Kegagalan itu hal yang paling menyakitkan. Skenario yang sudah kususun rapi di otakku, buyar sudah. Aku bahkan tidak bertanya kenapa. Mungkin memang tidak semua pertanyaan harus memiliki jawaban. Dulu aku panik, mendapati dia tidak bisa ditelpon seminggu setelah kami wisuda. Aku bahkan ke rumahnya, dan tega betul tidak ada yang membukakan pintu bahkan setelah 6 jam aku berdiri di depan pagar rumahnya. Sebulan setelah kami wisuda, aku mendapat kabar dia sudah menikah dengan perempuan itu. Awalnya aku tidak percaya, Pramana bukan tipikal orang yang akan menikah cepat karena tidak bisa menahan nafsu. Bukan. Sama sekali bukan. Aku mencari dia seperti orang kesetanan, tapi hasilnya nihil. Enam bulan kemudian, aku tahu sendiri jawabanya. Perempuan yang dia nikahi melahirkan seorang putri. Putih seperti malaikat, dan bibirnya merah segar. Bayi perempuan yang manis. Kadang hidup memang terlalu istimewa, terlalu tidak terduga. Belum genap 3 bulan, bayi itu meninggal. Kelainan paru-paru katanya. Tapi sepertinya Pramana menghormati pernikahan Katolik dengan amat sangat. Apa yang sudah dipersatukan Tuhan, tidak boleh diceraikan manusia.

Aku berjalan kembali ke parkiran. Mataku sembab. Mother Theresa pernah berkata, cintai orang sampai terasa menyakitkan karena setelah itu tidak ada lagi rasa sakit. Aku senang melihat Alfred masih setia menungguku di parkiran. Dia membakar rokok, mungkin untuk menghilangkan kantuk.
Tentu saja aku tidak bisa menyetir dalam keadaan menangis, jadilah Alfred yang nyetir. Air mataku seperti keran saja, mengucur. Malam ini terasa menyakitkan sekali tapi aku bersyukur. Aku sungguh sadar ini adalah babak baru dalam hidupku. Manusia diberi kebebasan untuk berpikir, merasa, dan memilih. Dan untuk kebebasan, aku memilih melupakan apa yang sudah jauh dibelakang.
Aku memutuskan menginap di apartemen Alfred. Sudah terlalu larut dan aku takut pulang naik taksi sendirian. Sisa malam itu aku masih terus menangis di pelukan Alfred. Kemejanya bahkan sudah basah oleh air mata dan ingusku. Sudah lusuh karena cengkraman tanganku. Lama aku baru bisa menghentikan isakanku. Aku merasa payah. Aku jatuh tertidur, masih dalam pelukan Alfred. Sahabat terbaiku, laki-laki yang nantinya akan menjadi ayah dari anak-anakku

Comments

Popular Posts