Taman Batu dan Goa Pawon



Taman Batu, Padalarang

Padalarang, 15 Maret 2015
Semua orang pasti memimpikan punya banyak waktu buat jalan-jalan. Menikmati apa yang bisa dinikmati, ya kan? Minimal setiap dua bulan, harus ada satu kali pergi ke luar kota. Karena bulan lalu, aku tidak pergi kemana-mana, maka bulan ini harus pergi. Bandung. Aku dan temanku (sebut saja Si Pawang Kolor atau disingkat SPK) memutuskan pergi kesana. Aksesnya mudah dan bagi kami satu hari saja sudah cukup. Kami naik kreta Argo Parayangan. SPK naik dari Gambir sekitar pkl 05.15 sementara aku naik dari Stasiun Bekasi sekitar pkl 05.41. Kami naik kreta yang sama, dan memang sudah memesan tempat duduk bersebelahan. Dua setengah jam kami duduk di kereta sambil berbuat dosa. Jangan berpikiran mesum karena pertama SPK ini perempuan, kedua kami berdosa ala wanita : bergosip. Seperti biasa gossip tidak pernah habis untuk dibumbui selama dua setengah jam. Dan tentunya pemandangan selama perjalanan sangat bisa dinikmati. Berbeda dengan pemandangan selama perjalanan KRL Manggarai - Klender Baru yang mau tak mau harus aku tonton setiap hari. Itu juga kalau jendela tidak terhalangi oleh punggung, kepala, atau ketiak orang lain.

Sekitar pukul 09.30 kami sampai di Stasiun Bandung. Udaranya masih segar, sejuk, pertanda banyak oksigen. Awan kelabu bergelayutan di udara, mungkin sebentar lagi hujan turun. Kami keluar dari pintu utara dan harus masuk lagi melalui pintu selatan. Kami bukan ingus yang hobi keluar masuk, tapi kami harus memang harus masuk lagi lewat pintu lain untuk naik kereta lokal. Sayangnya aku dan SPK tidak menghabiskan waktu di Bandung tapi di Padalarang. Sekitar 20km dari Bandung. Kami naik kreta lokal Bandung – Padalarang. Harga tiketnya fantastis: Rp 1.500. Sekitar jam 8.56 kami pesan tiket untuk pemberangkatan pkl 09.39. Masih ada waktu tiga puluh menit, kami pun bertanya ke petugas apakah keretanya sudah datang atau belum. Ternyata kretanya belum datang, jadi kami memutuskan sarapan dulu di depan stasiun. SPK makan kupat tahu yang ternyata berbeda dengan kupat tahu Magelang. Kupat tahu Bandung kuahnya kuning kari. Aku? Aku memilih aman, aku makan mie bakso. Makanan yang semua orang sudah tahu rasanya seperti apa. Selesai makan kami pun kembali ke stasiun. Saat pemeriksaan tiket, si bapak penjaga bilang kretanya sudah berangkat jam 9. Kami pun kesal bukan main, kreta berikutnya berangkat pukul 10.00. Satu jam terbuang sia-sia. Kreta Bandung – Padalarang di jadwal berangkat pukul 08.54, kenapa pula saat pukul 08.56 tiketnya masih dijual? Dan kami salah juga, karena salah membaca waktu. Pukul 09.39 itu jadwal kreta sudah sampai di Padalarang. Kami pun beli tiket lagi, dan menunggu sambil mencari info berapa jam yang dibutuhkan dari Stasiun Padalarang ke tempat wisata yang kami tuju. Di waze sekitar 14 km. Itu lumayan, apalagi kalau macet, belum kalau angkotnya ngetem.

Di kreta Bandung-Padalarang, kami mengobrol dengan petugas kebersihan. Kata si Bapak, jalanan macet sekali kalau akhir pekan. Kami pun memutuskan untuk naik ojeg. Sampai di stasiun, kami langsung cari tukang ojeg. Lucunya si Bapak Ojeg malah menyuruh kami naik angkot. Naik angkot bisa kok, Neng! Kami berkeras naik ojeg, dan sepakat di harga 35 ribu sampai objek wisata : Goa Pawon. Di tengah jalan, ada Pak Polisi. Mendadak tukang ojeg saya berhenti dan menyuruh saya turun, lalu si tukang pulang. Apa boleh buat, saya tidak pakai helm. Akhirnya saya dan SPK menyambung angkot. Tukang ojeg SPK tidak pulang, dia menunggu di depan. Di daerah aman polisi. Kami pun naik angkot yang merangkap truck sayur. Wow asyik ya! Sekitar sepuluh menit, kami sudah naik ojeg lagi. Boti alias boceng tiga. Ternyata dari jalan raya, masih cukup jauh. Untung kami naik ojeg. 
Langit cerah sepanjang perjalanan ke Taman Batu

Kami memutuskan ke Taman Batu alias Stone Garden terlebih dahulu. Taman Batu terletak di puncak Gunung Pawon. Ketinggian puncak yaitu 908 mdpl. Jalan setapak dan menanjak sekitar 1.5-2 km untuk sampai puncak dari tempat parkir di bawah. Maaf kalau salah, aku tidak jago memperkirakan jarak. Bagiku yang sudah hampir dua bulan hanya bermalas-malasan di kasur, rasanya sulit sekali sampai ke atas. Lain halnya dengan SPK yang jalan bahkan sambil loncat-loncat mirip berang-berang. Terik sekali, matahari seperti menantang untuk dikalahkan. Meskipun gosong dan sudah kepayahan akhirnya kami sampai di Taman Batu. Warloknya banyak ya, kata SPK. Warlok? Pertama aku pikir itu semacam nama batu atau apa. Ternyata warlok itu warga lokal maksudnya. Rata-rata pengunjung disini adalah warga lokal, terdengar dari bahasa yang mereka pakai, kental Bahasa Sunda. Cerah sekali dan matahari tepat di atas kepala. Taman Batu seperti namanya, banyak batu yang mirip karang jadi tidak halus mulus dan sekililingnya padang rumput. Tidak ada pohon. Kata SPK, dulunya daerah ini laut. Mengerikan sekali, mengetahui bahwa tempat tinggi ini dulunya laut. Bahkan kita bisa melihat kota Bandung dari atas sini. Lihat, betapa alam sangat berkuasa. Tempat serendah laut bisa diangkat menjadi gunung seperti ini. 

Taman Batu
Sepanjang dua jam, kami memperagakan kemampuan kami untuk memanjat batu-batu itu tanpa pengaman. Oh jangan bayangkan kami sedang rock climbing ya. Batu-batu itu hanya sekitar 3-4 meter. Yang seru adalah, kami terus menerus berpindah dari satu batu ke batu lain untuk mencari spot bagus untuk berfoto. Hanya mengandalkan dua tangan dan dua kaki kami untuk satu tujuan : mengambil gambar pemandangan yang super. Bisa dikatakan ternyata evolusi betul terjadi, aku masih mewarisi kemampuan memanjat dari manusia purba.

Pemandangan di depan Goa Pawon
Setelah puas, kami pun turun dan menuju Goa Pawon. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari tempat parkir. Bau menyengat di pintu masuk : tahi kalelawar. Wow seperti berada di jaman purba. Masih alami, dingin menyambut di pintu masuk, hijau diluar, dan belum banyak tersentuh manusia. Di mulut Goa kamu pun bergaya sebentar untuk berfoto. Kata SPK, seperti di film Hobbit. Kalau betul ini film Hobbit, berarti aku dan SPK hobbitnya. Kami memang tergolong pendek diantara teman-teman kami yang lain. Tapi tak bisa disalahkan, itu genetis. Ibu saya juga pendek. Ah maaf Ibu, jadi terbawa disini. Di Goa, kami sempet mengambil foto rangka manusia purba. Mungkin dia nenek moyang saya atau kakek? Entahlah. Membayangkan dulu sekali dia dan keluarganya hidup di Goa ini membuat saya merinding. Tidur di Goa beralaskan tanah berbantal batu. Berebut daging segar dengan hewan purba. Bergulat, berguling-guling di batu. Tapi pasti tidak sakit, karena rambutnya panjang dan tebal. Kami tanganya juga besar. Oke, mungkin di titik ini aku sudah berlebihan.

Rangka Manusia Purba, Goa Pawon
Hampir pukul dua siang, kami naik ojeg kembali ke Stasiun Padalarang. Gerimis semakin deras, aku tidak sempat mencari tukang ojeg lain. Jadilah kami kembali boti. Tukang ojeg ngebut, dan sampailah kami di Stasiun Padalarang sekitar jam 14.15. Kami membeli tiket, ternyata kereta ke Bandung baru ada pukul 15.00. Kami agak gelisah, karena kalau tepat waktu, kami akan sampai di Bandung pkl 15.50. Itu mepet sekali mengingat SPK belum mencetak tiket, dan butuh waktu sekitar 10 menit dari pintu selatan menuju pintu utara. SPK pun curhat dengan Bapak penjaga stasiun, si Bapak bilang kenapa tidak naik kreta api ke Ceremai saja, hanya 3.500 perak. Kretanya dua menit lagi masuk. Wow, kami pun berlari ke loket untuk beli tiket lagi. Sayangnya antrian sudah panjang bahkan hingga ke parkiran. Sunggu menguntungkan punya teman seperti SPK. Dia memelas kepada orang yang paling depan supaya mau disela. Dan berhasil! Kami lari ke peron yang ditunjuk. Sebentar kami mengobrol dengan si Bapak petugas lalu kreta datang. Kata si Bapak, kami beruntung karena kereta ini hanya ada sehari sekali. 

Harga tiket kreta ini lebih mahal dua ribu tapi isinya benar-benar sama. Bangku penumpang muat bertiga dan berhadapan. Bau pesing menyengat sekali. Bedanya kreta ini diberi nomor tempat duduk. Tapi sayangnya bangku kami sudah ada yang menduduki. SPK berusaha ‘mengusir’ orang yang duduk di bangku kami. Aku bilang, tidak perlu di sana masih banyak bangku kosong. Kami pun melakukan hal yang sama dengan orang tadi. Duduk di bangku orang. Mungkin begitulah masyarakat Indonesia. Belum siap dengan aturan.

Sekitar pukul 14.35 kami sudah sampai di Stasiun Bandung. Begitu turun dari kereta, seorang perempuan meminta tiket saya. Ah, orang Indonesia begitu tidak bisa disiplin. Aku bingun bagaimana dia bisa masuk ke stasiun tanpa tiket? Mungkin dia masuk lewat pintu keluar. Irosnis ya, orang Indonesia masuk lewat pintu keluar. Begitu mudah aturan dilanggar.

Kami berjalan santai ke pintu utara. Hujan turun tidak deras, membuat udara semakin sejuk. Aku jatuh cinta dengan kota ini. Waktu masih cukup untuk makan siang, bahkan untuk tukar pakaian. Toilet di stasiun cukup bersih, dan dengan cepat aku menyegarkan diri dan berganti baju. Setelah segar, kami pun makan. Perjalanan pulang lancar. Sekitar pukul 19.20 kami sudah turun di Stasiun Jatinegara. SPK memutuskan melanjutkan ke Gereja untuk misa. Sementara aku? Tentu saja pulang, mungkin masih bisa misa minggu depan. Bagian yang ini jangan ditiru.  

(photo taken by : Shinta Maharani and Me!)

Comments

Popular Posts