Perempuan


Saya sering mendengar ucapan bahwa menjadi perempuan itu seharusnya bahagia karena mereka melahirkan anak. Tanpa perempuan tidak akan pernah ada Aritoteles, Da Vinci, Albert Einstein, Steve Jobs, atau Soekarno. Saya rasa semua orang setuju kalau perempuan itu punya andil yang cukup besar, sama seperti laki-laki.

Doktrin. Ya semacam itu. Budaya patriarkis seperti masih kental sekali. Tadinya saya pikir itu pengaruh agama. Karena beberapa agama monoteisme (saya gak mau sebut namanya) sangat kuat menanamkan itu. Saya juga masih kurang jelas menyambungkan benang merahnya. Kantor tempat saya bekerja itu perusahaan kelas kakap milik Amerika. Ya kalian pasti tahu, Amerika itu tidak terlalu terpengaruh sama urusan agama macam begitu. Jangan salah, meskipun kami hanya cabang Indonesia, budaya Amerika masih sangat sangat kental. 1) Blak-blakan. Tidak seperti budaya Indonesia yang orangnya gak-enakan. 2) Self service. Percaya atau tidak, di kantor kami hanya ada 1 OB.  3) Manggil-langsung-nama. Yups ini yg saya masih blm kebiasa, haha, banyak orang manggil lgsg nama tanpa embel2 bapak ibu mas mbak bahkan untuk orang nomor 1 di kantor, kami lgsg panggil namanya.

Oke balik lagi ke masalah patriarkis. Kantor saya itu seakan-akan anti perempuan. Padahal orang nomor 1 di kantor saya itu perempuan. Tapi itu gak menjamin ‘kebencian’ mereka utk kerja sama perempuan. Secara fungsional, saya sendiri berperan pada technical support, dimana teknisi perempuan hanya 3 dari total sekitar 20 teknisi. Secara struktural saya berada di bawah bisnis unit Health care (fyi kantor saya terdiri dari 5 bisinis unit) dimana perempuanya hanya ada 7 dari total sekitar 40 karyawan. Haha, enaknya saya jadi ngerasa laku karena kemana-mana sama laki-laki terus. Gak enaknya saya masih belum bisa nyaman kerja diantara mereka. Permasalahanya bukan karena mereka genit atau rajin meraba (itu jelas masalah kalau kejadian beneran, tapi beneran deh mereka gak gitu). Masalahnya mereka sangaaaatttt sering meng- underestimate saya. Jelas, karena saya perempuan. Buat mereka kerja sama perempuan itu gak asyik. Moody katanya. Terlalu pake perasaan. Gampang tersinggung. Bahkan ada salah satu division head (tiap bisnis unit terdiri dari beberapa divisi) yang bilang “Saya gak mau punya anak buah perempuan. Anak buah saya harus laki-laki semua.” dan beliau bilangnya di depan saya.
Apa salah perempuan? Apa salah saya?
Kejadian paling seru itu tadi pas makan malam. Saya makan bertiga: saya, satu teman teknisi, satu marketing. Seperti biasa, saya perempuan sendiri.

Kira-kira gini:
Marketing (M) : Gue paling gak suka punya bos cewek.
Teknisi (T) : Gue juga kapok punya bos cewek. Gak bisa tegas.
M : Iyaaa! Moody. Kalo lagi baik sih enak. Kalo gak, heh bikin males.
T : Iya. Kalo bos cowok itu asik, lebih cuek, gak moody.
Saya (akhirnya bicara) : Oh. Emang kalo cewek gitu ya?
M: Yah gak semua gitu sih (agak merasa bersalah kayaknya)
T : Iya. tapi hampir semua begitu kan?
M : Iyaaa…..blablabla (dan mereka asyik berdua, mengutuki perempuan sebagai bos. Saya pura-pura asyik sendiri, ngeliatin banci lewat)

Saya sama sekalio gak tersinggung sama mereka. Semua orang punya hak dong buat menilai mana yang asyik dan yang enggak (meskipun saya jadinya masuk kategori yang gak asyik). Tapi ya begitulah, kesimpulanya 1) Mereka gak suka kerja sama perempuan 2) dengan kata lain mereka gak suka kerja sama saya 3) Ya mau bagimana lagi

Comments

Popular Posts