Arya dan Anjani (8)

Oke, jadi Anjani mengingkari keputusannya sendiri. Baru jeda 1 hari dan dia mulai menulis lagi.

Siang tadi Arya ribut bukan main. Menelpon sampai lima kali dan tidak ada satupun yang terjawab oleh Jani. Ketika akhirnya mereka bertemu, mereka saling mengomel.

"Ditelpon gak bisa-bisa." Arya memulai duluan.

"Aku juga dari tadi telpon kamu!" Anjani tentu saja tidak mau kalah.

Entah siapa yang salah. Tidak ada yang mau mengalah.
Sampai Anjani merasa capek sendiri, dan akhirnya pergi mencari kesibukan lain. Arya selalu kesal dengan kebiasaan Anjani setiap kali ada masalah malah pergi.

"Jani. Anjani. Anjani. Anjani." Arya terus memanggil dan Anjani terus sibuk sendiri.

"Arya. Saya bisa kerjakan semuanya sendiri. Kamu tidak perlu ada di sini." Anjani sudah sampai batas kesabaranya. Baginya ini hal sepele yang bisa dikerjakan nanti.

"Kamu tidak akan bisa kerjakan semuanya sendiri. Coba saja, saya jamin semuanya berantakan." Arya marah, Anjani tahu itu. Sepersekian menit Jani merasa bersalah tapi dia kepalang gengsi untuk meminta maaf. Hidup itu mudah tapi gengsi yang sering kali membuatnya menjadi sulit.

"Kamu kerjakan sampai protocol kedua setelah itu saya yang melanjutkan." Arya mencoba mencari jalan tengah. Suaranya sudah mulai melunak. Mungkin dia merasa bersalah karena lagi-lagi arogansinya muncul.

Anjani selesai begitu cepat karena itu bukan hal yang sulit. Arya mengerjakan bagianya. Anjani memperhatikan Arya bekerja. Memperhatikan kerutan di dahi Arya. Memperhatikan kedua tangan Arya mengetik dengan cepat kemudian berhenti, komat kamit sebentar lalu mengetik lagi. Tanpa sadar Anjani tersenyum. Pas saat itu, Arya menoleh ke arah Jani. Dia ikut tersenyum. Dan begitulah mereka berdua sudah lupa kejadian dua jam lalu dimana mereka saling mengomel dan tidak mau mengalah.

Malam mereka bertemu.
"Beres kan?" Arya menyombongkan diri. Arya membawa dua cangkir kopi. Satu untuk dirinya dan satunya lagi dia sodorkan ke Jani.
Kali ini Jani tidak kesal sama sekali, ia justru tertawa.