Kepada siapa kita memberikan yang terbaik?
Kita terbiasa menyimpan yang terbaik untuk diri sendiri, namun di pesisir Jakarta ini aku diajari memberikan yang terbaik untuk orang lain.
Muara Angke jam 12 siang, sungguh terik saat itu. Bau garam bercampur bau ikan tengik menyergap indera penciumanku. Muara Angke bukan tempat asing bagiku, dahulu jaman kuliah saban kali kami ke sini untuk dapat menyebrang ke Pulau Seribu, tempat kami kuliah lapangan. Kali ini aku mengunjungi Muara Angke dalam rangka program Live in Magis. Dimana kami akan menginap 3 hari 2 malam di rumah ibu asuh kami. Kami berlima akan 'dititipkan' ke ibu asuh yang berbeda namun masih dalam satu RW. Warga RW sini rata-rata wanitanya adalah pengupas kulit kerang sementara laki-lakinya nelayan kerang. Kerang akan direbus kemudian diambil dagingnya untuk kemudian dijual per kilo kepada pengumpul.
Selesai makan siang, satu persatu kami diantar ke rumah ibu asuh kami.
"Kak Hanna nanti akan tinggal di rumah Mak Entong ya. Mak Entong ini tukang urut yang tinggal dengan 3 cucunya." kordinator Live in memberikan arahan kepadaku sembari jalan. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Banjir rob dan sampah nampaknya masih menjadi masalah utama daerah pesisir Jakarta. Beberapa kali kami harus mengambil jalan berputar untuk sampai ke rumah ibu asuh kami masing-masing.
"Eh itu Emak!" seru Ibu kordinator sembari menunjuk ke ujung gang. Aku segera berjalan lebih dahulu dan menyambangi perempuan paruh baya yang hangat disapa Emak Entong.
"Mak, saya Hanna. Saya ijin menginap ya di rumah Emak 3 hari kedepan," sapaku sembari mengulurkan tangan.
"Yailah neng segala minta ijin kayak apaan aja," ujar Emak sembari tertawa dengan logat bercampur antara Sunda dan Betawi. Percakapan inilah dialog awal kami berdua sebelum akhirnya aku mengenal Emak lebih dalam dan belajar begitu banyak tentang kehidupan.
Aku diantar ke rumah Emak. Rumah Emak adalah rumah apung. Rumah petak yang terapung di atas empang dengan bantuan drum-drum plastik. Di depan rumah dibuat jalanan sepetak terbuat dari susunan kayu yang juga terapung. Setiap kali melangkah, drum-drum ini bergoyang, menimbulkan sensasi seru sekaligus was-was.
***
Hari kedua di sana aku mengekor Emak kemanapun dia pergi. Langit Jakarta begitu cerah, matahari terik sekali membuat jemuran segaring kerupuk. Kemana pun aku pergi, aku selalu menggunakan topi, masker dan kaos lengan panjang. Kondisi kulitku mudah melepuh ketika terpapar matahari dalam waktu lama. Tidak disangka hal ini memicu warga sekitar memberikan nama panggung untukku.
"Eh ada artis empang nih mau beli gorengan," seru ibu penjaga warung kepada temannya yang di dapur. Aku memberikan selembar uang sepuluh ribu dan menukarnya dengan sekantong gorengan hangat. Aku hanya tersenyum kecut sembari bertanya dalam hati : siapakah gerangan 'artis empang' ini? Sampai beberapa kali aku mendengar julukan ini dilontarkan warga setiap aku lewat, barulah aku paham - Oh saya toh artis empangnya.
Ternyata Emak tidak hanya pandai mengurut namun ilmu-ilmu kebatinan pun beliau kuasai. Tidak jarang orang meminta pertolongan Emak untuk mengusir roh halus yang 'hinggap' di tubuh keluarga mereka. Emak selalu bilang kepadaku setiap akan berangkat mengurut, "Nanti jangan bengong, kena sawan bisa-bisa."
Tentu saja aku bingung, sawan adalah epilepsi. Aku memilih diam dan mengiyakan. Sampai akhirnya aku melihat sendiri kasus pasien sawan yang dibawa ke rumah Emak pagi itu. Orang kerasukan tubuhnya kejang, terkadang bergerak-gerak serta berteriak-teriak tidak karuan. Yah, bagian kejangnya memang mirip dengan epilepsi. Aku menjadi paham ternyata ada pergeseran makna 'sawan' di daerah ini.
Siang hari itu, rumah Emak mendadak ramai karena si pasien 'sawan' ini kerap berteriak dan meronta setiap Emak mengurut sembari berkomat-kamit. Aku hanya penonton manis yang duduk di pojokkan. Aku tidak tahu harus membantu apa, sampai pasien tersebut berteriak : "Surya jeung kopi pait."
'Siapa Surya? Orang yang dibencikah sampai diucapkan berkali sembari teriak.' batinku saat itu.
Setelah selesai aku baru tahu dari Emak, ternyata syarat si syaiton ini pergi dari tubuh pasien adalah diberi rokok merek surya dan kopi hitam tanpa gula (kopi pait). Syarat itu harus dipenuhi keluarga supaya syaiton pergi selamanya, minimal tidak mengganggu.
***
Sore itu, matahari mulai meredup. Langit sore begitu cantik, memancarkan semburat kuning, oranye, dan kemerahan yang lembut. Aku duduk di teras bersama Emak, menikmati secangkir kopi yang masih hangat di tangan. Perlahan, Emak mulai bercerita tentang cucu-cucunya, satu per satu.
"Kamu doyan kepala ikan? Di sini, semua orang suka kepala ikan," tanya Emak sambil tersenyum.
Aku ikut tersenyum lebar, meski dalam hati ingin berkata: aku bahkan belum pernah makan kepala ikan.
Kemudian, suara Emak berubah pelan.
"Dulu Dilah badanya sehat, seperti anak-anak lain bisa sekolah, lari-larian. Sekarang udah gak bisa. Emak juga lama bisa nerimanya. Udah dibawa berobat kemana-mana, tetap gak bisa sembuh." Mata Emak menerawang jauh ke arah deretan perahu yang diam bersandar tak jauh dari rumahnya. Dilah, satu-satunya cucu perempuan Emak, kini hidup dengan kondisi khusus yang membatasi geraknya.
"Emak gatau nasib Dilah gimana kedepanya. Kalau tidak ada laki-laki yang akan menikahi Dilah ya yasudah mungkin memang itu nasibnya. Emak kadang mau marah tapi gatau marah sama siapa." Air mataku mulai jatuh satu persatu-satu. Aku hanya bisa diam mendengarkan cerita Emak.
Ikhlas.
Satu kata yang prakteknya ternyata sulit sekali. Saat sharing circle selesai Live in, salah satu temanku berpendapat bahwa kejadian-kejadian di Angke membuatnya teringat pada jawaban Bapak Paus Fransiskus kepada seorang anak saat kunjungannya di Filipina.
Sore itu aku terdiam cukup lama. Mungkin kali ini bukan aku yang dipanggil untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka. Tapi justru merekalah yang Tuhan kirimkan untuk membuka mata dan hatiku."We must learn how to cry." This was how Pope Francis answered a young girl who wept as she asked him why children suffer so much even in their innocence. He said, "Jesus Christ cried, too, when he encountered human suffering."
Aku belajar bahwa setiap orang punya perannya masing-masing di dunia ini. Dan menjadi manusia yang menjalani perannya dengan seikhlas-ikhlasnya—meski kadang tanpa jawaban—adalah cara untuk membuat 'beban' itu terasa lebih ringan.
Apa yang diambil dari kita sering kali menyisakan luka yang dalam. Kita menangis, memohon agar Tuhan mengembalikannya. Tapi di situlah aku tersadar—bukankah kita datang ke dunia ini tanpa membawa apa-apa? Semua yang kita miliki hanyalah titipan. Dan ketika Tuhan mengambilnya kembali, pasti ada maksud yang belum kita mengerti sepenuhnya.
Menerima itu bukan berarti berhenti berduka, tapi belajar berhenti melakukan upaya yang sia-sia untuk membalikan keadaan seperti semula. Melepas bisa menjadi pembelajaran berharga tentang mengasihi.
Sebelum acara live in, aku diminta Romo Koko membaca dan menghayati beberapa judul buku, tepatnya saat bimbingan rohani. Salah satunya buku berjudul : Latihan Rohani. Ada salah satu doa St. Igantius yang begitu mengena :
"Ambillah, Tuhan, dan terimalah seluruh kemerdekaanku, ingatanku, pikiranku dan segenap kehendakku, segala kepunyaan dan milikku. Engkaulah yang memberikan, pada-Mu Tuhan kukembalikan. Berilah aku cinta dan rahmat-Mu, cukup itu bagiku."
Semua peristiwa dalam hidup kita, sesungguhnya adalah potongan-potongan puzzle. Tidak selalu langsung tampak indah, tidak selalu mudah dimengerti. Tapi jika kita cukup peka untuk merangkainya satu demi satu, baru kita akan melihat gambaran utuh.
***
![]() |
Dilah, Ehan, dan aku berfoto di depan rumah Emak |
Jam menunjukkan hampir pukul 11 siang. Ini hari terakhir aku di rumah Emak, kami menyempatkan diri berfoto dan berpamitan. Emak tahu aku harus minum obat siang maka tidak boleh telat makan. Emak membungkuskan nasi dan lauk pauk serta sambal kesukaanku. Sambal Emak enak sekali tidak pedas, hahaha justru ini yang cocok denganku.
Di perjalan pulang, kami mampir ke rumah kordinator Live in untuk santap siang bersama. Aku bilang aku dibawakan bekal oleh Emak jadi akan makan siang itu saja.
Aku membuka tempat bekal perlahan. Emak membungkus semuanya dengan begitu rapi, sayur dan lauk diplastikkan satu per satu, seperti khawatir ada yang tumpah atau bercampur.
Saat aku membuka plastik lauk, air mataku jatuh. Isinya: kepala ikan. Kepala ikan yang hanya satu itu—hasil tangkapan Bapak Dilah kemarin—diberikan kepadaku.
Orang seperti aku, yang bahkan tak tahu bagaimana caranya menikmati kepala ikan.
Di tempat ini, aku belajar bahwa memberi tak selalu soal apa yang terbaik di mata kita. Dan menerima tak selalu tentang apa yang kita minta.Juga tentang keikhlasan. Tentang cinta yang diam-diam—dan terasa sangat dalam.
Comments
Post a Comment