Arya dan Anjani (3)
http://feministing.com/tag/books/ |
Sudah 365 hari lamanya sejak mereka saling berkenalan. Kata orang, tiga ratus enam puluh lima hari itu adalah definisi yang tepat untuk memaknai satu tahun. Kata orang, dalam waktu tiga ratus enam puluh lima hari, bumi akan berada di titik yang sama. Kata Jani, tiga ratus enam puluh lima hari itu waktu yang jauh dari cukup untuk mengenal Arya. Itulah alasan mengapa Jani memilih berlibur di kota tempat Arya dibesarkan. Tidak. Jangan berpikir Jani bermaksud mengambil alih. Jani hanya ingin dia semakin bisa terlibat dalam hidup Arya. Itu saja.
Terik matahari siang itu tidak menghentikan langkah Jani. Sudah dirasakan bajunya mulai lembab, berkali ia mengelap keringat di dahinya. Jani tidak peduli, ia terlalu asik tenggelam dalam buku. Tempat ini memang menjadi tujuan nomor satu nya di kota ini. Berderet toko yang menjual buku murah. Buku murah itu ada dua macam. Macam pertama adalah buku bajakan, yang cetakannya tidak karuan, hanya membuat kamu sakit mata setiap kali berusaha membaca. Macam kedua adalah buku bekas. Buku bekas ada macamnya lagi, ada yang dijual karena pemiliknya sudah jenuh, atau memang dari awal tidak suka (jenis ini biasanya buku yang didapat si pemilik dari orang lain atau memenangkan kuis tertentu), atau bisa juga karena pemiliknya membutuhkan uang.
Aroma buku tua yang selalu menggeletik perut. Tinta yang sudah mulai menguning. Kertas yang sudah banyak ditumbuhi kapang. Sastra yang selalu hidup meski ditulis setengah abad lalu. Semuanya adalah kesatuan yang membuat mata Jani berbinar. Bagi Jani, sastra itu menggairahkan. Bagi Arya, sastra itu lembek-lembek tahi kucing.
"Masih mau di sini?" Jani dan Arya berpapasan di salah satu toko loak. Teriknya matahari memang membuat siapa pun tidak betah di luar ruangan. Entah kota ini memiliki berapa matahari.
"Saya masih belum nemu buku yang saya mau." Mata Jani menyipit memperhatikan deretan toko yang belum ia masuki.
"Coba aja cari di sana." Mata Arya mengikuti arah pandang Jani. Mereka pun bertukar arah. Anjani berjalan ke arah timur, Arya berjalan ke arah barat. Keduanya kembali asik sendiri.
Pola pikir manusia yang tidak pernah sama. Pola kerakusan manusia yang tidak pernah statis. Taktik yang kadang menghunus balik, mematikan diri sendiri. Adu kelicikan yang sarat akan kata hati. Semuanya adalah kesatuan yang membuat mata Arya berbinar. Bagi Arya, politik itu menantang. Bagi Jani, politik itu persis seperti tahi kucing : najis.
"Kamu gak beli apa-apa?" tanya Jani yang sudah mengantungi empat buah buku.
"Enggak. Ayo kita cari makan siang." Arya mengambil buku-buku dari tangan Jani lalu jalan duluan ke arah parkiran.
Satu pengetahuan baru yang Jani dapat di kota ini : Arya galak kalau sedang lapar. Jani tahu semua orang galak kalau sedang lapar, itu sebabnya tiga ratus enam puluh lima hari masih jauh dari kata cukup.
Comments
Post a Comment