Joune dan Tiket Jakarta-Manado

Biarkan kali ini saya menulis tentang orang yang baru saya kenal sebulan lalu. Bulan lalu, tepat sehari sebelum pernikahanya. Selihat saya, dia gadis yang periang sekaligus hangat. Dia menyambut kedatangan kami seperti teman lama. Pernikahanyalah yang menjadi alasan tiket Jakarta-Manado ada di tangan saya.

***

"Kalian mau coba makanan yang mana? Pesan saja yang kalian mau makan." Joune menyuruh kami memborong semua makanan di warung. Dia yang paling sibuk menjelaskan makanan ini itu kepada kami. Sibuk menghafal semua pesanan kami, sibuk memesan, sibuk menambah pesanan. Di sela itu semua, dia menanyakan calon suaminya ingin makan apa. Saya memasuki "momen autis", momen dimana saya masuk ke pikiran dan memilih menikmati kesibukan yang disuguhkan di hadapan saya. Ah beruntung sekali si urakan satu ini, punya calon istri macam Joune.

Saya menoleh ke arah si urakan ini. Saya menjadi berpikir sendiri, betapa laki-laki ini bisa juga menjadi jinak karena perempuan. Ah, padahal dulu kelakuanya mirip kera penjantan alfa, betapa nekad tapi tetap menjadi pimpinan kawanan. Dia urakan tapi baginya kawananya harus bisa seperti sapu lidi, tetap terikat satu. Betapa segalanya bisa berubah dalam waktu dua tahun. Saya menyudahi "momen autis" dan kembali ke warung tempat kami makan. Bubur oren-hijau sudah dihidangkan di depan saya, bubur yang disebut-sebut sebagai tinutuan.
***

Lihatlah Manado malam itu. Langit begitu hitam pekat, air laut tenang ditiup angin satu-satu. Tidak ada bintang malam itu, saya khawatir hujan akan derasnya membasahi kota. Lampu-lampu kota semakin jelas terlihat. Seperti potret masa kini. Potret kota dengan bokeh yang mempesona. Begitu cantik. Tapi saya tidak ada cukup waktu untuk duduk melamun di kapal. Saya ingin cepat sampai di daratan. Jadwal trip Bunaken yang seharusnya membawa saya ke Manado jam 5, tapi jam 7 malam kami masih terombang-ambing di kapal. Saya sudah berdiri di buritan, hendak loncat saja rasanya. Ya. Malam itu adalah malam pernikahan Joune.

 Mungkin kau tidak bisa membayankan rasa panik itu. Pertanyaan-pertanyaan tidak praktis muncul di otak. Apa yang harus saya lakukan dahulu begitu sampai di hotel? Apa saya harus keramas? Ah tidak usah lah nanti lama harus keringin rambut. Apa nanti saya bisa pasang bulu mata palsu sendiri? Ah tidak perlu, nanti miring sebelah.

Bipbip suara telpon menghentikan lamunan. Pesan singkat masuk
Kalian sudah di hotel?
Kami setengah berlari menuju hotel. Akhirnya kapal sialan itu bisa merapat ke pelabuhan setelah berputar beberapa kali akibat awak kapal yang kebingungan.

Dunia sekarang sudah berubah. Sudah tidak ada lagi air, melainkan dinding kaca. Semua orang memakai baju licin dan sepatu mengilap. Kami dua gadis gembel dengan baju selam dirangkap kaos dan celana pendek, setengah berlari menuju lift. Semua orang menoleh seakan kami memancarkan bau asin lautan.

Akhirnya saya berangkat dengan rambut lengket. Seperti gimbal yang tidak pernah sisiran. Seakan garam-garam laut ikut terbawa rambut saya ke pesta. Bulu mata palsu akhirnya masih tergeletak di kasur. Blush on saya pecah akibat petugas bagasi yang melempar-lempar koper seperti pemain rugby. Pemerah pipi pun akhirnya saya ganti pakai eye shadow warna peach. Lihatlah betapa saya menuntut diri saya untuk tampil seperti bukan diri saya. Saya menjadi sedikit merasa tertekan.

Teman saya yang laki-laki, sibuk mencatok rambut saya sementara saya sibuk mengomel menceritakan apapun yang membuat saya jengkel hari itu. Ini kali pertamanya dia mencatok rambut, penasaran katanya. Tanganya beberapa terkena besi panas catokan, saya tertawa puas. Setelah agak kepayahan membuat rambut saya lurus, kami pun berangkat.

Sepanjang perjalanan saya takjub dengan angkot disko. Angkot seperti yang ada di Jakarta, tapi interiornya didesign sedemikian rupa sampai mirip diskotek. Lampu neon terang dengan warna mencolok dan speaker yang terlihat jelas dari luar. Ini agak lucu. Malam di Manado tidak terlalu riuh. Jalanan tidak padat. Tidak ada suara klakson orang-orang tidak sabaran. Angkot ini seakan rame sendiri. Ia begitu kontras. Suara hingar bingar musik techno yang kadang menjadi house music mencuat begitu saja keluar dari pintu angkot. Pintu angkot sudah menjadi portal ke dunia lain.
Kata temanku angkot disko lebih laku kalau di Manado. Ya. Teknik marketing yang cukup menarik.

***

"Haii, kalian nanti duduk di meja depan ya." Joune yang sudah berbalut gaun pengantin menoleh ke arah kami yang baru datang. Dia begitu cantik dengan gaun putih, tiara kecil di kepala, dan aih seikat bunga lili di tangan. Saya juga selalu menginginkan bunga lili segar untuk pernikahan saya nanti. Kami hanya tertawa melihat tingkah Joune yang masih sempat memanggil among tamu untuk menunjukan meja kami. Padahal dia sendiri harus bersiap untuk memasuki ruangan pesta, dimana semua mata sudah tidak sabar ingin melihat pengantin wanita.

Saya sudah memasuk "mode autis". Melihat Joune memasuki ruangan disusul si urakan yang sekarang sudah menjadi suaminya. Ya beruntung sekali si urakan ini memiliki istri yang begitu cantik.

***

"Jadi lu tetep dateng ke nikahan gue? Meskipun judulnya bukan pernikahan Omega dan Citra?" si urakan berkelar. Ya dia puas mengejek saya, karena tulisan saya dua tahun lalu tentang betapa saya ingin punya alasan untuk membeli tiket Jakarta-Manado.

Akhirnya ada alasan untuk beli tiket Jakarta-Manado

Joune & Omega (from IG : @joune_l)




Comments

Popular Posts