Satu Lagi Cerita di Hari Jumat
Siapa bilang angkringan hanya ada di Jogjakarta? Di sini, di kota kecil tempat kami tinggal, ada tiga angkringan yang jaraknya hanya 500 m satu sama lain. Tapi yang menjadi favorit kami adalah angkringan Jogja, meskipun kami sekitar 300 km jauhnya dari Jogja.
Berderet toko dan rumah makan seperti pagar di sisi jalan utama. Tempat parkir luas tersedia di depan setiap toko. Mulai dari toko pertama hingga toko paling ujung sehingga pengunjung tidak perlu menyulap jalanan menjadi lahan parkir. Setiap hari ramai, seakan parkiran ini adalah jantung kota.
Malam belum begitu larut. Mobil-mobil masih ramai melintasi jalan utama komplek. Angkringan tempat kami makan berada di parkiran depan minimarket yang sebenarnya tidak mini. Kami semakin tersudutkan oleh mobil-mobil yang berebut parkir.
"Laper ya Mas?" Anjani bengong melihat piring berisi gorengan sekarang sudah kosong.
"Enggak juga. Tadi kan udah makan pecel ayam."
"Mau pindah ke tukang nasi goreng aja po?"
"Ndak disini saja. Aku mau ngopi."
Raka berdiri dan menghampiri si Ibu penjaja angkringan, meminta kopi hitam dengan tiga sendok gula.
"Tasmu gede banget. Bawa apa?"
"Oh, lagi baca novel. Ken Arok Ken Dedes."
Anjani mengeluarkan novel dari dalam tasnya.
"Bagus deh, Mas. Ternyata Ken Dedes kawinnya terpaksa sama Tunggul Ametung." Anjani memulai pembicaraan yang nampaknya hanya menarik bagi dia saja.
"Hahaha. Ini sama dengan bercandaanku dengan teman-teman. Hati-hati Dedes-mu nanti direbut Arok." kali ini nampaknya lelucon itu hanya lucu bagi Raka saja.
Ada momen diam, dimana Anjani tidak bisa tertawa ataupun berkomentar, dimana Raka merasa gagal melucu dan menjadi salah tingkah.
Ha-ha-ha-ha-ha. Mereka berdua akhirnya tertawa lepas.
Bukan karena lelucon Raka melainkan menertawakan momen janggal tadi.
"Kalau saya Ken Arok, kamu jadi Nyi Pelet." entah apa maksud Raka.
Anjani menggelengkan kepala sambil cengengesan.
"Bercandaanmu failed! No no no. No more Arok Dedes."
"Eh tapi kenapa saya bukan Dedes?" Anjani baru menyadari kejanggalan perkataan Raka.
"Jangan. Ken Dedes tuh nama club jongkok di Karawang sana." Raka menamai club kelas bawah dengan sebutan club jongkok. Klub yang musiknya dangdut dijadikan disko. Lumayan melepas penat sambil meminum bir yang paling banter yang ada gambar bintangnya. Sisanya bir lokal yang entah campuranya apa saja. Maklum saja, disana mangsa pasarnya ya supir truk. Para supir yang jauh dari istri tapi tetap perlu memuaskan hasrat bawah celana.
"Ih kok kamu sekarang mainnya ke klub kayak gitu?" Anjani penuh menyidik.
"Bos saya yang ajak. Mau ketemu klien katanya. Gak ngerti aku ternyata diajaknya ke klub macam gitu." Raka kembali mengingat momen dimana dia merasa terjebak. Terjebak posisi yang menuntutnya menjadi bawahan yang baik. Momen yang setiap kali dia ingat hanya membuat bulu kuduk berdiri. Baru kali ini dia pergi ke klub yang baunya campuran antara bau ketek dan bau rokok. Perempuan disana juga asal semok dan berbaju ketat pasti laku. Masa bodoh dengan make-up yang terlalu tebal dan baju yang noraknya minta ampun. Perempuan-perempuan yang justru mematikan selera.
"Jani, kamu kapan terakhir pacaran?" pertanyaan absurd yang membuat Jani salah tingkah.
"Kok kita kayak orang lagi PDKT ya."
"Loh bukanya iya?" Jani semakin salah tingkah mendengar jawaban Raka.
"Kemarin." Jani langsung menjawab.
"Hah? Terakhir pacaran kemarin?"sekarang malah Raka yang salah tingkah.
"Gak gak gak. Saya cuma bercanda" Anjani punya kebiasaan mengulang kata tiga kali untuk mempertegas kalimat.
"Oktober tahun lalu. Kan saya sudah pernah cerita."
"Kalau saya sudah pernah menikah dan sekarang sudah cerai. "
Kembali ada momen diam. Anjani berharap Raka akan tertawa. Seperti kebiasanya sehabis melucu, dia pasti akan tertawa sendiri.
Kenyataanya, Raka tidak tertawa.
"Anak saya sudah tiga tahun sekarang. Dia ikut ibunya." Raka justru melanjutkan, bukanya tertawa.
"Kenapa kamu menikah kalau pada akhirnya kamu bercerai?" Jani menyesali pertanyaanya. Pertanyaan yang hanya membuatnya nampak bodoh dan membuat Raka tersinggung.
"Jani. Kamu marah."
"Kamu bilang semua laki-laki hanya akan menikahi perempuan yang bisa membuat dia merasa pulang." Sekarang Jani hanya merasa dirinya ditipu mentah-mentah.
"Jani. Kamu skeptis."
"Raka. Kamu berhenti sok tahu. Jangan mendikte perasaan saya. Ataupun jalan pikir saya."
Rahang Jani sudah mengeras. Selalu ada perasaan kacau setiap kali kita menyadari diri kita tertipu.
"Dia yang meminta bercerai. Dia terlibat affair dengan teman kantornya." Penjelasan Raka mencoba meredam semua pertanyaan di kepala Jani.
Ya perselingkuhan. Jani benci ketika perselingkuhan hanya menjadi momok untuk mengingkari janji pernikahan. Menjadi momok untuk egois. Betapa egoisnya meninggalkan anak hanya karena kamu mencintai orang yang bukan suamimu. Betapa egoisnya meninggalkan anak hanya karena kamu merasa istrimu tidak mencintaimu lagi. Sebegitu mudahkah memutuskan untuk egois?
Mungkin pikiran Jani yang hanya belum terbuka. Belum bisa menerima jika segala sesuatu tidak selalu indah seperti yang disuguhkan ayah ibunya di rumah. Segala macam afeksi yang dia terima di rumah, ternyata tidak bisa dienyam semua anak. Ya Jani memang skeptis.
Malam sudah larut. Angin kencang membuat Jani merapatkan jaket. Jalanan sudah sepi sekarang. Hanya ada satu dua mobil berlalu. Mereka pulang, berjalan kaki dalam diam.
Dalam hitungan menit, mereka sudah sampai di depan kosan Anjani. Ada jeda lagi.
"Mas, saya masuk ya."
"Iya. Kamu istirahat. Besok kerja."
Seperti malam-malam sebelumnya, bibir Raka mengecup bibir Jani. Tidak ada lagi rasa manis seperti yang biasa Jani rasakan.
Raka menciumnya lama dan dalam. Hanya rasa hambar yang lama kelamaan berubah menjadi kuatir. Itu yang Raka rasakan.
Raka. Raka. Raka. Neraka.
Berderet toko dan rumah makan seperti pagar di sisi jalan utama. Tempat parkir luas tersedia di depan setiap toko. Mulai dari toko pertama hingga toko paling ujung sehingga pengunjung tidak perlu menyulap jalanan menjadi lahan parkir. Setiap hari ramai, seakan parkiran ini adalah jantung kota.
Malam belum begitu larut. Mobil-mobil masih ramai melintasi jalan utama komplek. Angkringan tempat kami makan berada di parkiran depan minimarket yang sebenarnya tidak mini. Kami semakin tersudutkan oleh mobil-mobil yang berebut parkir.
"Laper ya Mas?" Anjani bengong melihat piring berisi gorengan sekarang sudah kosong.
"Enggak juga. Tadi kan udah makan pecel ayam."
"Mau pindah ke tukang nasi goreng aja po?"
"Ndak disini saja. Aku mau ngopi."
Raka berdiri dan menghampiri si Ibu penjaja angkringan, meminta kopi hitam dengan tiga sendok gula.
"Tasmu gede banget. Bawa apa?"
"Oh, lagi baca novel. Ken Arok Ken Dedes."
Anjani mengeluarkan novel dari dalam tasnya.
"Bagus deh, Mas. Ternyata Ken Dedes kawinnya terpaksa sama Tunggul Ametung." Anjani memulai pembicaraan yang nampaknya hanya menarik bagi dia saja.
"Hahaha. Ini sama dengan bercandaanku dengan teman-teman. Hati-hati Dedes-mu nanti direbut Arok." kali ini nampaknya lelucon itu hanya lucu bagi Raka saja.
Ada momen diam, dimana Anjani tidak bisa tertawa ataupun berkomentar, dimana Raka merasa gagal melucu dan menjadi salah tingkah.
Ha-ha-ha-ha-ha. Mereka berdua akhirnya tertawa lepas.
Bukan karena lelucon Raka melainkan menertawakan momen janggal tadi.
"Kalau saya Ken Arok, kamu jadi Nyi Pelet." entah apa maksud Raka.
Anjani menggelengkan kepala sambil cengengesan.
"Bercandaanmu failed! No no no. No more Arok Dedes."
"Eh tapi kenapa saya bukan Dedes?" Anjani baru menyadari kejanggalan perkataan Raka.
"Jangan. Ken Dedes tuh nama club jongkok di Karawang sana." Raka menamai club kelas bawah dengan sebutan club jongkok. Klub yang musiknya dangdut dijadikan disko. Lumayan melepas penat sambil meminum bir yang paling banter yang ada gambar bintangnya. Sisanya bir lokal yang entah campuranya apa saja. Maklum saja, disana mangsa pasarnya ya supir truk. Para supir yang jauh dari istri tapi tetap perlu memuaskan hasrat bawah celana.
"Ih kok kamu sekarang mainnya ke klub kayak gitu?" Anjani penuh menyidik.
"Bos saya yang ajak. Mau ketemu klien katanya. Gak ngerti aku ternyata diajaknya ke klub macam gitu." Raka kembali mengingat momen dimana dia merasa terjebak. Terjebak posisi yang menuntutnya menjadi bawahan yang baik. Momen yang setiap kali dia ingat hanya membuat bulu kuduk berdiri. Baru kali ini dia pergi ke klub yang baunya campuran antara bau ketek dan bau rokok. Perempuan disana juga asal semok dan berbaju ketat pasti laku. Masa bodoh dengan make-up yang terlalu tebal dan baju yang noraknya minta ampun. Perempuan-perempuan yang justru mematikan selera.
"Jani, kamu kapan terakhir pacaran?" pertanyaan absurd yang membuat Jani salah tingkah.
"Kok kita kayak orang lagi PDKT ya."
"Loh bukanya iya?" Jani semakin salah tingkah mendengar jawaban Raka.
"Kemarin." Jani langsung menjawab.
"Hah? Terakhir pacaran kemarin?"sekarang malah Raka yang salah tingkah.
"Gak gak gak. Saya cuma bercanda" Anjani punya kebiasaan mengulang kata tiga kali untuk mempertegas kalimat.
"Oktober tahun lalu. Kan saya sudah pernah cerita."
"Kalau saya sudah pernah menikah dan sekarang sudah cerai. "
Kembali ada momen diam. Anjani berharap Raka akan tertawa. Seperti kebiasanya sehabis melucu, dia pasti akan tertawa sendiri.
Kenyataanya, Raka tidak tertawa.
"Anak saya sudah tiga tahun sekarang. Dia ikut ibunya." Raka justru melanjutkan, bukanya tertawa.
"Kenapa kamu menikah kalau pada akhirnya kamu bercerai?" Jani menyesali pertanyaanya. Pertanyaan yang hanya membuatnya nampak bodoh dan membuat Raka tersinggung.
"Jani. Kamu marah."
"Kamu bilang semua laki-laki hanya akan menikahi perempuan yang bisa membuat dia merasa pulang." Sekarang Jani hanya merasa dirinya ditipu mentah-mentah.
"Jani. Kamu skeptis."
"Raka. Kamu berhenti sok tahu. Jangan mendikte perasaan saya. Ataupun jalan pikir saya."
Rahang Jani sudah mengeras. Selalu ada perasaan kacau setiap kali kita menyadari diri kita tertipu.
"Dia yang meminta bercerai. Dia terlibat affair dengan teman kantornya." Penjelasan Raka mencoba meredam semua pertanyaan di kepala Jani.
Ya perselingkuhan. Jani benci ketika perselingkuhan hanya menjadi momok untuk mengingkari janji pernikahan. Menjadi momok untuk egois. Betapa egoisnya meninggalkan anak hanya karena kamu mencintai orang yang bukan suamimu. Betapa egoisnya meninggalkan anak hanya karena kamu merasa istrimu tidak mencintaimu lagi. Sebegitu mudahkah memutuskan untuk egois?
Mungkin pikiran Jani yang hanya belum terbuka. Belum bisa menerima jika segala sesuatu tidak selalu indah seperti yang disuguhkan ayah ibunya di rumah. Segala macam afeksi yang dia terima di rumah, ternyata tidak bisa dienyam semua anak. Ya Jani memang skeptis.
Malam sudah larut. Angin kencang membuat Jani merapatkan jaket. Jalanan sudah sepi sekarang. Hanya ada satu dua mobil berlalu. Mereka pulang, berjalan kaki dalam diam.
Dalam hitungan menit, mereka sudah sampai di depan kosan Anjani. Ada jeda lagi.
"Mas, saya masuk ya."
"Iya. Kamu istirahat. Besok kerja."
Seperti malam-malam sebelumnya, bibir Raka mengecup bibir Jani. Tidak ada lagi rasa manis seperti yang biasa Jani rasakan.
Raka menciumnya lama dan dalam. Hanya rasa hambar yang lama kelamaan berubah menjadi kuatir. Itu yang Raka rasakan.
Raka. Raka. Raka. Neraka.
Comments
Post a Comment