Anugrah 26 Tahun

Tepat saat saya berumur 26 tahun untuk pertama kalinya, alam semesta memperkenalkan saya dengan seseorang. Seperti orang yang menang lotre, saya takjub saat itu karena apa yang saya minta dengan spesifik di dalam doa, sekarang ada di hadapan saya. Muncul dari antah berantah dan begitu saja dia hadir di depan muka saya.

Kami sama-sama takjub saat tahu lingkungan kami sangat dekat. Terlalu banyak kata "Oh ternyata kamu kenal sama ....." banyak kata "Loh kamu tahu?"
Empat hari lamanya kami saling bertukar pesan dari jam ke jam seakan-akan ini tidak pernah terputus. Sampai di satu titik saya merasa benar-benar kesal dan mungkin ini juga yang membuat dia kesal dan akhirnya memutuskan untuk pergi. Mungkin jika cerita ini terbaca, dia akan marah. Lagi-lagi saya hanya bisa berasumsi. Tapi tidak apa dia marah, toh dia sudah memutuskan untuk pergi juga.

Pada dasarnya saya dan dia memiliki begitu banyak perbedaan karakter dan cara pandang. Bagi saya, saya jauh lebih menyukai makan di warung tenda dibandingkan di mall. Tenang, tapi saya bisa juga kok di ajak makan di cafe-cafe yang sekarang banyak menjamur. Sementara dia, karena saya bilang kebalikan, dia lebih senang banyak mengabiskan waktu di mall. Ini salah satu contoh hal paling sepele yang sebenarnya begitu banyak jalan keluar. Mungkin (lagi-lagi mungkin) dia berasumsi saya penggemar makan di cafe-cafe cantik karena media sosial saya isinya seperti itu. Saya suka kok tapi itu hanya karena lingkungan menuntut saya menjadi demikian. Dia pun mengaku demikian.

Di awal kami berkenalan, dia meminta akun media sosial saya. Tentu saja saya kasih.
"Path sudah. FB dan IG mau juga?" ini benar-benar pertanyaan menawarkan tapi entah kenapa terdengar seperti marah bagi dia.
"Loh lo jangan salah. Tukeran media sosial seperti ini justru penting di awal supaya saling tahu kehidupan masing-masing." dia mencoba menjelaskan.
Ini hal dasar yang lagi-lagi berbeda. Ya betul media sosial memang bisa saja menunjukan kehidupan kita. Tapi akan jauh sangat jauh lebih baik, kalau kamu mau tahu tentang hidup seseorang maka masuklah ke kehidupan dia. Banyak orang yang menyuguhkan cerita kehidupan di media sosial hanya bagian-bagian yang ingin dia tampilkan. Bagi saya media sosial itu hanya 35% menunjukan siapa saya. Saya bukan tipikal orang yang rajin upload.
Sebenarnya ini hal yang tidak bisa disalahkan karena generasi Y memang dekat sekali dengan perkembangan teknologi. Tapi sangat disayangkan ketika kamu mendahulukan media sosial untuk mencari tahu "siapa dia" ketimbang masuk langsung ke kehidupan orang itu.

Komunikasi. Saya rasa kegagalan utama kami berdua ya komunikasi. Kemarin saya bertemu dengan teman saya yang lain. Karena saya kesal, berceritalah saya tentang laki-laki ini. Temang saya dengan mudah hanya mengatakan, "Always listening, always understanding."
Ini menjadi menarik karena dasar komunikasi sama sekali tidak ada di antara saya dan dia. Teman saya bilang, "Minimalkan bercerita tentang dirimu sendiri kecuali kamu di tanya."
Teman saya luar biasa ya. Kalimat ini pernah saya dengar karena merupakan kutipan omongan Ibu Teresa. Faktanya adalah, saya yakin dia tidak tahu persis apa yang saya kerjakan di kantor. Faktanya adalah ketika saya mencoba menceritakan apa persisnya pekerjaan saya, dia menganggap saya berbohong. Ya, manusia kadang begitu cepat menilai. Ini yang saya tidak suka ketika chatting menggunakan L*ne. Berbeda dengan wa, dimana saya tahu ketika dia sedang mengetik ada tertulis typing.... sehingga saya bisa menunggu sampai dia selesai "berbicara" baru akan saya tanggapi.
Mungkin ini yang terjadi ketika kami chatting di L*ne, saya belum selesai memaparkan pekerjaan saya, dia sudah menilai saya berbohong.
"He didn't listen you well so he can not understand you." teman saya menyimpulkan.

Komitmen. Sepertinya ini menjadi hal yang sulit ya buat generasi Y. Banyak artikel menyatakan, generasi Y jauh tidak lebih loyal dibanding generasi X. Bagi saya mutlak hukumnya ketika kamu sudah menjanjikan sesuatu kepada orang lain, maka peganglah janji itu. Dalam hal kami, janji ini sesederhana janji untuk bertemu di akhir pekan. Ketika akhir pekan akhirnya tiba, ternyata dia lupa sudah pernah berjanji. Bagi saya ini luar biasa mengecewakan. Dan dia tidak merasa bersalah. Ini adalah titik dimana saya berpikir, yasudah sepertinya kami memang tidak cocok ya.

Hari keempat entah ada apa, dia sudah menghilang sendiri. Mungkin dia tersinggung karena saya kesal. Mungkin dia cuma ingin sedang mengintrovert-kan diri. Masih banyak mungkin mungkin lainnya di kepala saya. Tapi pada intinya, kali ini gagal lagi. Hahahaaha

Jadi anugrah 26 tahun saya bukanya kehadiran orang seperti yang selama ini saya doakan, melainkan pelajaran. Pelajaran menghargai orang lain dengan cari memegang apa yang sudah kamu janjikan. Pelajaran untuk menghormati apa yang berbeda dengan kamu.


Comments

Popular Posts