Penenun Jala Ikan

Alkisah tentang seorang nelayan muda yang berteman dengan seorang gadis penenun.

Siang hari seperti hari-hari lainya, sang nelayan menyambangi rumah si gadis. Tugas sang nelayan seperti habis di siang hari sehingga siang adalah satu-satunya waktu bagi mereka untuk berbagi hari. Sebenarnya tugas si gadis tiada habis. Sama seperti perempuan lain di desa, menenun di beranda rumah hingga matahari habis dimakan bumi. Di siang hari, dia hanya berhenti jika makan ataupun buang kakus.

Sang nelayan seperti biasa memulai ceritanya dengan keadaan laut malam tadi. Lalu diteruskan dengan cerita hasil tangkapanya. Ceritanya tidak habis sampai disitu. Ia menceritakan kesusahanya menjual hasil tangkapan di pasar ikan. Si gadis mengangguk paham dan penuh simpati. Dulu sewaktu ayahnya masih hidup, si gadis banyak mendengar cerita serupa. Maklum saja, 80% pria di desa mereka adalah nelayan. Si gadis banyak memberi saran. Mungkin itu yang membuat sang nelayan muda terus datang. Dia membutuhkan guru. Ah atau hanya sekedar teman berbagi saja. Toh kalau dipikir-pikir si gadis juga sama tak berpengalamanya dengan dia. Gadis ini memang banyak tahu, tapi hanya sekedar teori. Ah tapi biar saja, sang nelayan senang punya teman yang bisa diajak bicara. Sehari-hari dia hanya menghabiskan malam dengan air laut, gelombang, dan langit.

"Hai gadis, bisakah kamu membuatkanku selembar jala baru?" sang nelayang menerawang, mengingat-ingat jalanya yang usang.

"Aku penenenun kain." jawab si gadis datar.

"Jala pun ditenenun bukan?" sang nelayan bertanya.

"Aku menenun benang sehingga menjadi kain." si gadis menjawab lagi.

"Apa bedanya? Nilonpun ditenun sehingga menjadi jala. Seharusnya kamu bisa!!!" sang nelayan mulai berteriak.

Ayam sepertinya berhenti mematuk batu. Gadis-gadis penenun lainnya berhenti dan memperhatikan mereka. Si gadis mulai malu. Belum pernah ia diteriaki orang di tengah umum begini.
"Kamu tidak paham apa yang saya kerjakan. Kamu bahkan tidak paham apa yang kamu minta." si gadis beranjak berdiri dan masuk rumah.
Sang nelayan pulang dengan marah. Si nelayan begitu marahnya hingga mengutuk.

"Setiap siang, aku datang dengan sekilo dua kilo ikan hasil tangkapanku. Apa susahnya membalas jasa hanya dengan jala?" sang nelayan membantin.

Dan begitulah mereka, pertemuan itu berhenti begitu saja. Keesokan harinya dan keesokanya lagi dan seterusnya, sang nelayan masih merasa marah terhadap gadis yang ia rasa tidak tau balas budi. Sang nelayan mudah tidak pernah lagi datang ke rumah si gadis. Si gadis penenum masih terus menenum kain tanpa ada lagi yang mengajaknya bicara tentang laut. Ia tidak mencari sang nelayan.

"Biar saja pergi, dia datang pun hanya membuatku marah dan malu." si gadis membatin.

Comments

Popular Posts