Kami Pura-Pura Tidak Tahu

Anjani terdiam sebentar lalu tersenyum sambil menggangukan kepala tanda menyapa. Anjani berjalan seorang diri ke arah meja dimana laki-laki itu duduk bersama dengan yang lain. Anjani tahu dirinya gugup. Laki-laki itu masih menatap terus dan terus, Anjani berusaha acuh.
"Hai apa kabar?" dan itulah kata-kata pertama Anjani.
"Baik." dia menjawab singkat.
Setelah bertegur sapa dengan semua orang di meja itu, Anjani memilih meja lain. Gelas berisi air putih di hadapanya langsung tandas. Semoga air putih ini bisa menyembuhkan penyakit melankolis nya yang sering kambuh.
"Haus ya kak?" salah seorang teman Jani agak takjub melihat cara minum Jani.
Anjani hanya bisa tersenyum kecut sambil mengiyakan. Acara makan malam ini masih panjang. Malam juga masih panjang. Belum-belum Jani sudah ingin pulang saja. Tapi ini acara makan malam pernikahan sahabatnya.

Andai ini adalah keadaan tiga tahun lalu, Jani yakin akan banyak piring terbang di sekitar mereka. Akan banyak makian dan kata-kata keras. Jani sadar mereka berdua sama-sama keras tapi bedanya dia cerdas dan Jani tidak. Dulu sering sekali Anjani kalah adu mulut. Dulu ego mereka masih sama-sama besar. Kesombongan masih menutupi mata. Dulu Jani benci sekali laki-laki ini. Rasanya Jani mau berubah jadi gorila setiap harus bertemu laki-laki ini. Mungkin laki-laki ini juga sama. Mau  berubah jadi godzila tiap kali harus berhadapan dengan Jani. Gorila lawan Godzila entah siapa yang menang.

****

Sampai suatu hari sahabat Jani datang lalu berkata, "Jani si ***** gak suka sama lu. Katanya lu kerjanya gak becus." dan karena dia adalah sahabat Jani, Jani langsung percaya dan meledaklah semuanya. Jani sudah hilang kesabaran. Jani mengamuk dan si ***** tentu saja juga mengamuk. Si ***** keesokanya harinya ternyata adu jotos dengan sahabat Jani. Jani jadi merasa bersalah terhadap sahabatnya dan makin benci dengan si *****.

Tapi tanpa mereka sadar, mereka sudah saling suka. Sampai suatu hari entah karena alasan apa, sahabat laki-laki ini datang ke Jani. Jani ingat betul, waktu itu hari sudah sore, Jani sedang menonton Sponge bob di kosan sampai tiba-tiba temanya datang.
"Jani kenapa sih lu galak?"
"Maksudnya ape?"
"Nah kan galak."
"Kenapa sih lu?"
"Si ***** kan naksir lu."
Sumpah jantung Jani seperti jatuh ke perut.
"Oh ya, terus gue harus gimana?"
"Ya elu sih galak, dia jadian ama cewek lain kan jadinya."
"Hah dia aja gak pernah ajak gue jalan. Gimana gue tau dia naksir gue coba?"
"Ya lagian elu mah baru disapa aja udah maki-maki dia."
"Ya terus kenapa malah jadian sama orang lain kalo sukanya sama gue. Hayooo?"
"Ceweknya yang nembak. Bukan dia."
"Ya kenapa diterima?"
"Ya soalnya lu galak."
...... hening......
Iya Jani baru sadar, setiap kali dia susah laki-laki itu tau-tau sudah muncul entah dari mana, di pintu kosanya. Setiap kali Jani mengamuk, tiba-tiba laki-laki itu sudah ada di belakangnya. Entah kenapa, Jani menangis. Dulu waktu Jani sering gak dapat ojek, laki-laki ini dengan motornya sudah bertengger manis di depan kampus. Jani merasa kehilangan. Sudah begitu saja.

****

"Habis ini langsung pulang?" suara yang Jani sudah begitu kenal. Bau parfum yang sudah tidak asing.
"Tadinya mau pergi sama teman, tapi gak jadi."Jani berusaha menjawab sopan.
"Kalau ngobrol-ngobrol dulu mau?" mungkin ini waktu kami harus pura-pura tidak tahu. Tidak tahu akan masa dulu dimana kami saling memaki. Dulu dimana harga diri masih nomor satu.
"Boleh." Jawaban singkat Jani membawa mereka berdua ke kedai kopi. Berbincang hingga larut. Saling mentertawai pekerjaan masing-masing. Mentertawai masa kuliah mereka. 
Mungkin pura-pura tidak tahu cukup ampuh untuk kami berdua bisa saling memaafkan.

Comments

Popular Posts