Arya dan Anjani (6)
Jumat 14 Oktober 2016
https://i.ytimg.com/vi/o4aS7LinLeQ/maxresdefault.jpg |
Saya baru menghajar Langit. Hahahaha
Satu pesan singkat masuk ke telpon genggam Anjani. Anjani begitu lelah. Sepulang kerja tadi dia hanya sempat menangis di kosan lalu bersiap untuk mengajar. Iya sekarang Anjani punya kebiasan baru sepulang kerja: menangisi hatinya yang baru saja ditolak. Untungnya Anjani ingat malam itu dia harus mengajar.
Kamu bicara apa, Arya?
Cepat Anjani membalas lalu melanjutkan mengobrol dengan orang tua muridnya. Mobil sewaan Anjani baru akan datang 10 menit lagi. Rasanya Anjani ingin cepat-cepat di perjalanan pulang lalu mencari Arya dimana.
Iya kamu seneng kan saya hajar Langit?
Jawaban Arya hanya membuat Anjani semakin gelisah.
"Mbak Anjani, dijemput pacarnya?" si Ibu bertanya lugu tapi entah kenapa Jani justru kesal.
"Oh enggak Bu, saya pesan mobil online. Sepuluh menit lagi sampai." Lagi pula saya sekarang sudah tidak punya pacar, kalau Ibu mau tahu.
Sepuluh menit kemudian Anjani akhirnya di perjalanan. Satu hal yang dia lakukan sambil menutup pintu mobil : menghubungi Arya.
Tiga kali telpon Anjani ditolak masuk.
Brengsek kamu Arya. Kenapa banyak orang brengsek bertebaran macam sampah? Anjani memaki-maki dalam hati. Telpon genggam nya ia masukan ke dalam tas. Persetan denganmu Arya.
Telpon genggam Anjani bergetar tanda ada pesan masuk. Refleks, Anjani mengeluarkan kembali telpon genggamnya. Ah dasar perempuan berhati lemah.
Jangan telpon saya dulu.
"Benar-benar brengsek kamu Arya!" Anjani benar-benar memaki. Supir mobil sewaan Anjani menengok bingung, "Ada apa, Mbak? Lagi berantem sama pacarnya ya?"
Dia bahkan bukan pacar saya! Anjani ingin memaki seperti itu. Tapi dia bukan anak SMP yang belum bisa mengatur emosi.
"Pak kita putar balik. Kita ke perumahan Orchid Garden." suara Anjani sudah melunak.
Bahkan Anjani tidak tahu Arya dimana, ia hanya mengikuti intuisinya saja.
"Habis minum ya kamu?!" Anjani benar-benar marah.
"Ah enggak kok. Hahahaha." Bahkan mulut Arya masih berbau bir.
Anjani memijat pelipisnya yang mendadak sakit. Andaikan aroma bir sudah memudar, Anjani sudah hafal kelakuan Arya setelah minum alkohol.
"Kamu tuh kenapa berantem sama Langit?" suara Anjani sudah melunak.
"Kurang ajar dia. Dikasih hati minta jantung." Anjani hanya diam menatap dalam mata Arya. Menunggu kelanjutan cerita Arya.
"Heran aku sama kamu. Dimaki-maki sama Langit malah diam saja. Gak marah kamu?" Suara Arya mulai meninggi.
"Kamu berantem hanya karena itu?" Entah Anjani harus merasa senang atau bagaimana.
"Ya enggak. Aku kan juga sudah lama gak suka sama Langit. Tadi sore paling keterlalun, maki-maki kamu di depan orang banyak. Sakit jiwa itu orang." Anjani justru tersenyum melihat Arya marah-marah.
"Justru karena dia sakit jiwa makanya gak aku tanggepin." Anjani tertawa geli, hatinya lega dia masih memiliki teman yang sebaik Arya.
"Iya kamu gak perlu marah. Sudah aku wakili tadi, hahahaa." Arya tertawa puas dan bahagia padahal ujung bibirnya masih berdarah.
Comments
Post a Comment