Matahari Gunung

Gunung Guntut, photo taken by me
Matahari di Gunung Guntur, photo taken by me

Aku tidak pernah peduli bagaimana matahari membakar kulitku. Biar saja wajahku gosong, toh banyak klinik kecantikan yang menjual krim pemutih. Aku masih ingin duduk di sini. Bermanja-manja dengan rumput kecokelatan yang tertiup angin. Celanaku mulai terasa lembab oleh embun pagi atau mungkin sisa hujan tadi malam.

Aroma matahari dan tanah basah sehabis hujan selalu memberi kenikmatan tersendiri. Apalagi ditemani satu termos kopi panas, pagiku sempurna sudah. Aku masih ingin bermesraan dengan matahari. Aku dan matahari, berdua saja. Seribu tahun rasanya tidak cukup.

Banyak orang bertanya soal hobi baruku naik gunung. Ah tidak baru-baru juga sepertinya. Jaman kuliah dulu juga beberap kali naik turun gunung, masuk keluar hutan, demi mendapatkan data yang baik. Semesta selalu baik kepadaku. Membantu tugas kuliahku selesai sekaligus menawarkan keindahan yang selalu lekat pada dirinya. Bahkan hingga sekarang, semesta selalu masih berbaik hati mengijinkanku duduk berduan dengan matahari.

Matahari gunung, aku menyebutnya demikian. Dia berbeda dengan matahari kota yang selalu membuatku menutup mata. Tapi dengan matahari gunung, aku selalu membuka lebar mataku seperti saat ini. Aku dan matahari duduk saling bertatapan sekarang. Kami berbincang lama sekali dengan kata-kata yang muncul hanya di kepalaku. Matahari gunung, jika kamu tidak marah bolehkah aku duduk lebih lama di sini? Masih banyak hal yang ingin aku ceritakan. Tidak. Aku tidak mau dengan yang lain. Tidak dengan dia yang sibuk bergulat dengan dunia seninya. Tidak dengan dia yang selalu menggangap dirinya gagah. Tidak dengan dia yang jauh di Korea. Tidak dengan dia yang jaraknya hanya tiga jengkal. Hanya denganmu saja. Dengan begitu aku merasa aman.  

Comments

Popular Posts