Gunung Slamet
Aku berhutang cerita tentang sebuah perjalanan. Perjalanan yang sama sekali tidak dibicarakan, tapi terjadi begitu saja. Karena memang begitu semesta bekerja. Apa yang sudah digariskan, akan membentang di depan mata menyisakan kamu dan keraguanmu sendiri.
Aku ingat betul, sore itu aku terduduk di bangku rumah sakit. Menunggu giliranku untuk check up rutin. Raut wajah seisi ruang tunggu sudah bosan aku perhatikan. Ponselku bergetar, pesan singkat dari grup yang menamakan diri Jejak Lestari. Mereka mengabarkan Gunung Sindoro-Sumbing tutup selama lebaran.
Sore itu, kuhabiskan perjalanan pulang ke rumah dengan melamun. Tiba-tiba aku teringat teman-teman jejak lestari hendak ke Gunung Slamet. Aku ragu karena banyak orang bilang medanya sungguh menantang. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa begitu ingin bergabung. Sebuah keputusan yang kubuat dalam waktu 2 menit.
Kamu tahu, jika memang sudah jalanya, semua akan lancar dan baik-baik saja. Seperti menggenggam keberuntungan, perjalanan ini kemudian dibicarakan dan dimatangkan.
1 Juni 2019
Terik matahari jahanam membuat tenggorakanku lengket. Setelah 3.5 jam aku menunggu di Terminal Kampung Rambutan, akhirnya aku memulai perjalanan ke Purbalingga. Tidak banyak yang istimewa di hari itu kecuali perkenalanku dengan Ocha dan Angie, dua teman baru. Dua dari tujuh kawan mendakiku. Dan tentu saja pengalaman perdana naik bus umum keluar kota. Sinar Jaya namanya. Nama bekennya Sinjay. Pamornya sudah terkenal bisa membawamu dengan cepat namun sekaligus cemas sepanjang jalan.
2 Juni 2019
Pukul 02.00 dini hari kami diturunkan entah dimana oleh sopir bus. Kata bapak sopir kami sudah di Purbalingga. Purbalingga belah mana juga aku kurang paham. Carrier - carrier kamipun diturunkan. Tak lama mobil carteran datang menjeput, membawa kami ke basecamp Bambangan. Mobil tua tak berAC, yang membuatku berkesempatan merasakan dinginya angin Gunung Slamet. Pukul 03.00 kami sampai di basecamp dan siap melanjutkan tidur, kecuali para lelaki yang lebih memilih menonton siaran bola. Aku terbangun saat mas penjaga basecamp berseru, "Matahari sudah terbit." Energiku langsung terkumpul seketika.
"Dua puncak kembar itu Sindoro dan Sumbing. Puncak Rata itu Prau. Dan yang paling jauh kemungkinan Lawu." temanku menjelaskan sambil menunjuk-nunjuk.
Aku terngaga melihat warna langit yang berubah seperti sebuah pertujukkan.
Mas basecamp menyambung, "Nanti mbak lihat ini semua dari puncak. Akan lebih bagus lagi."
Saat itu juga aku sudah menaruh tekad di hati. Aku mau melihat ini semua di puncak.
"Tapi ingat, pulang dengan selamat selalu jadi tujuan utama." seakan mas basecamp tahu isi kepalaku.
Setelah puas menyaksikan sunrise, aku memutuskan untuk mandi lalu menyantap menu favoritku : indomie kuah dengan telur di warung persis sebrang basecamp. Semoga semua pendaki yang makan disini menjadi kuat seperti nama warung makan ini.
Pukul 09.15 kami sudah siap memulai pendakian.
Kuperkenalkan satu persatu tim kali ini. Dari kiri ke kanan. Felix, Ocha, aku, Angie, Ansel, Veni, dan Dimas. Paul yang ambil gambar.
***
Aku ingat betul, sore itu aku terduduk di bangku rumah sakit. Menunggu giliranku untuk check up rutin. Raut wajah seisi ruang tunggu sudah bosan aku perhatikan. Ponselku bergetar, pesan singkat dari grup yang menamakan diri Jejak Lestari. Mereka mengabarkan Gunung Sindoro-Sumbing tutup selama lebaran.
Aku kecewa sekaligus memutar otak.Keesokan harinya,aku menghubungi kawan-kawan kuliahku, kuajak pendakian selama liburan lebaran. Rani sahabatku mengusulkan ke Gunung Gede saja. Menarik pikirku. Meskipun gunung ini sudah kelewat komersil tapi ini adalah pilihan yang adil. Pertama, kami berdua saja. Kedua, Rani hanya punya waktu 2 hari. Saat itu kami sadar, kami tidak akan bisa mendaftar simaksi (Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi) secara resmi karena jumlah pendaki harus minimal tiga. Untungnya Rani paham aku begitu rindu mendaki, ia mencoba jalur tidak resmi. Sayangnya H-3 pendakian, petugas tersebut mengatakan tidak bisa menyanggupi permintaan kami. Ah sudah lah, akan kuhabiskan liburan ini dengan membaca buku saja, pikirku saat itu.
Sore itu, kuhabiskan perjalanan pulang ke rumah dengan melamun. Tiba-tiba aku teringat teman-teman jejak lestari hendak ke Gunung Slamet. Aku ragu karena banyak orang bilang medanya sungguh menantang. Tapi entah kenapa tiba-tiba aku merasa begitu ingin bergabung. Sebuah keputusan yang kubuat dalam waktu 2 menit.
Kamu tahu, jika memang sudah jalanya, semua akan lancar dan baik-baik saja. Seperti menggenggam keberuntungan, perjalanan ini kemudian dibicarakan dan dimatangkan.
***
1 Juni 2019
Terik matahari jahanam membuat tenggorakanku lengket. Setelah 3.5 jam aku menunggu di Terminal Kampung Rambutan, akhirnya aku memulai perjalanan ke Purbalingga. Tidak banyak yang istimewa di hari itu kecuali perkenalanku dengan Ocha dan Angie, dua teman baru. Dua dari tujuh kawan mendakiku. Dan tentu saja pengalaman perdana naik bus umum keluar kota. Sinar Jaya namanya. Nama bekennya Sinjay. Pamornya sudah terkenal bisa membawamu dengan cepat namun sekaligus cemas sepanjang jalan.
***
2 Juni 2019
Pukul 02.00 dini hari kami diturunkan entah dimana oleh sopir bus. Kata bapak sopir kami sudah di Purbalingga. Purbalingga belah mana juga aku kurang paham. Carrier - carrier kamipun diturunkan. Tak lama mobil carteran datang menjeput, membawa kami ke basecamp Bambangan. Mobil tua tak berAC, yang membuatku berkesempatan merasakan dinginya angin Gunung Slamet. Pukul 03.00 kami sampai di basecamp dan siap melanjutkan tidur, kecuali para lelaki yang lebih memilih menonton siaran bola. Aku terbangun saat mas penjaga basecamp berseru, "Matahari sudah terbit." Energiku langsung terkumpul seketika.
Sunrise from Bambangan Basecamp. Iya langitnya berubah warna dalam waktu hanya 15 menitan |
Aku terngaga melihat warna langit yang berubah seperti sebuah pertujukkan.
Mas basecamp menyambung, "Nanti mbak lihat ini semua dari puncak. Akan lebih bagus lagi."
Saat itu juga aku sudah menaruh tekad di hati. Aku mau melihat ini semua di puncak.
"Tapi ingat, pulang dengan selamat selalu jadi tujuan utama." seakan mas basecamp tahu isi kepalaku.
Setelah puas menyaksikan sunrise, aku memutuskan untuk mandi lalu menyantap menu favoritku : indomie kuah dengan telur di warung persis sebrang basecamp. Semoga semua pendaki yang makan disini menjadi kuat seperti nama warung makan ini.
Sudah kenyang, siap angkat carrier |
Muka cerah, tenaga masih utuh |
Kamu tahu apa yang tertulis di spanduk merah? Kubacakan ya
Anda tidak siap mendaki? Silahkan mundur sekarang juga.
Ngeri ya?
Ngeri ya?
Kami siap mendaki tapi ada daya kami ini memang pendaki keong. Jalan lama, sedikit-sedikit minta istirahat. Medanya nanjak terus, jarang bonus.
4 Juni 2019
Sekitar pukul 03.30, setelah menghangatkan diri dengan energen, kami berdoa bersama dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sebagai gambaran batas vegetasi terdapat di Pos 9. Selebihnya siapkan tangan yang lebih kuat mencengkram, kaki yang lebih kuat menjejak, dan mata yang akan sering kelilipan. Karena medanya batu berpasir. Banyak sekali batu besar namun labil. Sekali kamu injak, teman dibelakangmu ikut celaka.
Mau bocoran?
Kalau tanah yang kamu injak sudah tanah merah, itu tandanya kamu hampir sampai di puncak tertinggi Jawa Tengah, puncak Slamet.
Akhirnya sekitar pukul 06.30 kami sampai di puncak.
Terima kasih gunung Slamet, sudah memberiku begitu banyak pelajaran.
Jarak antar basecamp-pos1-pos2-pos3 kukatakan sangat menantang dan panjang.
Sampai di Pos 1, sekitar jam 12 siang |
Ada sekitar 3-4 warung yang akan kamu temui sepanjang perjalanan dari basecamp sampai pos2. Kami memutuskan makan siang di pos 1. Selesai makan siang, aku kepangan rambut dulu. Sambil bercerita tengtang kampung halamanya, Ocha membuat kepang kelabang di rambutku. Tanganya begitu cekatan, rambut gimbalku yang sudah bercampur keringat dan debu ini tampak aduhai. Jam 13.00 kami melanjutkan perjalanan.
Pos 2. Sekitar pukul 14.30 |
Akhirnya sampai di pos2. Para ibu memilih berfoto. Para bapak memilih tidur siang. Perjalanan dilanjutkan pukul 15.00. Tenaga sudah mulai melemah. Tukar carrier menjadi salah satu cara ampuh memperkuat tim. Carrier berat ditukar dengan carrier yang lebih ringan, berharap para pembawa beban terbesar bisa mengistirahatkan pundaknya sejenak.
Sekitar pukul 17.30 kami sampai di Pos 3. Jujur, aku paling benci pendakian malam. Bagiku begutu banyak yang harus dilawan. Pertama, hawa dingin malam. Kedua, mata yang tidak terlalu awas. Ketiga, energi lain yang kadang melelahkan.
Saat itu aku sedang haid, staminaku tidak seperti biasanya. Bodohnya aku lupa bilang pada timku di awal pendakian. Pelajaran waktu itu :
Selalu jujur dan terbukalah tentang kondisi fisikmu pada tim.
Karena pertimbangan ini dan itu, kami memutuskan mendirikan tenda dan bermalam di pos 3. Berharap besok pukul 01.00 dini hari bisa melanjutkan perjalanan ke puncak.
***
3 Jun 2019
Sayangnya, kami baru terbangun pukul 06.00 pagi. Rencana berubah total. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan sampai ke pos 7 saja di hari kedua pendakian ini. Menghabiskan malam di shelter pos 7, lalu ke puncak di hari ke tiga pendakian.
Kami menumpang memasak di warung di Pos 3. Saat itu warung tutup, ditinggal pemiliknya merayakan Idul Firi |
Shelter di Pos 5 |
Setelah kurang lebih 2 jam perjalanan dari Pos 3, kami sampai di Pos 5. Di Pos 5 kamu bisa menemukan sumber air sekaligus shelter. Tak heran Pos 5 menjadi favorit para pendaki untuk bermalam.
Setelah beristirahat cukup lama, kami melanjutkan perjalan ke pos 7. Jaraknya sudah tidak terlalu jauh ternyata tapi hal yang perlu diwaspadai, bagiku oksigen sudah sangat tipis terhitung di pos 5. Aku mulai merasakan gejala hipoksia di selepas pos 5. Mata terus berair, kepala sakit, dan dada sesak. Itu semua yang harus kunikmati sepanjang sisa perjalanan. Beberapa kawan sinusnya kambuh. Kusarankan bawalah obat yang biasa kamu konsumsi.
Shelter di Pos 7 |
"Kalau kebagian tempat tidur di dalam shelter, Jangan sekali-kali berpikir mendirikan tenda di dalam shelter. Itu namanya egois."Hari masih terang saat kami tiba di pos 7. Tidak ada orang selain tim kami, otomatis kami memilih tidur di atas dipan kayu yang memenuhi setengah shelter. Setengah lainnya, kau harus puas tidur di atas tanah. Aku sarankan, tetap bawalah matras ataupun flysheet sebagai alas tidur. Ketinggian pos 7 sudah 3000an mdpl, dingin di malam hari tidak tanggung-tanggung.
***
4 Juni 2019
Sekitar pukul 03.30, setelah menghangatkan diri dengan energen, kami berdoa bersama dan melanjutkan perjalanan menuju puncak. Sebagai gambaran batas vegetasi terdapat di Pos 9. Selebihnya siapkan tangan yang lebih kuat mencengkram, kaki yang lebih kuat menjejak, dan mata yang akan sering kelilipan. Karena medanya batu berpasir. Banyak sekali batu besar namun labil. Sekali kamu injak, teman dibelakangmu ikut celaka.
Mau bocoran?
Kalau tanah yang kamu injak sudah tanah merah, itu tandanya kamu hampir sampai di puncak tertinggi Jawa Tengah, puncak Slamet.
Pagi itu berkabut, Matahari sudah tampak ditengah perjalanan menuju summit |
Aku jatuh cinta dengan pose mereka. Haha! |
Selesai mencium tanah dan berdoa, kami berfoto |
Kalian hebat, kawan! |
Comments
Post a Comment