Abstrak Selama Tiga Bulan
Ada minggu-minggu dimana aku begitu malas untuk berangkat ke Gereja. Tapi ada juga minggu-minggu dimana, hanya saat jejak pertama di Gereja saja aku sudah menitikan air mata. Baru melihat salib saja sekujur tubuhku merinding, aku begitu merindukan Tuhan. Aku judi ingat kata sambutan seorang frater di sebuah acara KAJ beberapa bulan lalu. Dia mengatakan, "Tuhan selalu punya cara untuk membuat setiap hambanya haus."
Tiga bulan ini begitu banyak. Banyak sekali keputusan yang harus diambil. Berkali aku bilang pada diriku sendiri, kamu tidak boleh abu-abu. Aku benci harus begitu cepat-cepat mengambil semua keputusan itu. Setiap hal ingin kulihat hingga detil terkecilnya. Ingin kupelajari dulu. Setelah itu kupikir masak-masak dan voila jadilah sebuah keputusan. Tapi sayangnya itu hanya sebuah keidealan. Nyatanya aku tidak punya cukup waktu untuk itu semua dan harus puas dengan keputusan yang bisa kubilang tergesa-gesa.
Diantara semua kekacauan ini -aku sadar defini kacau sebenarnya hanya untuk kepalaku saja-, aku harus malu-malu seperti anak SMP yang naksir kakak kelasnya. Tidak ada yang mengharuskan sebenarnya, hanya terjadi saja begitu adanya setiap kali di kantor. Aku benci dengan keadaan seolah di senior superior yang banyak digemari perempuan-perempuan dari berbagai kelas yang selalu mondar-mandir di sekitar mejaku. Kenapa juga dia harus mondar-mandir di mejaku? Oke, kalau dipikir dengan logika ini masuk akal. Dia selalu menyambangi perempuan-perempuan dengan cemilan banyak di meja mereka. Perempuan-perempuan itu mejanya bersebelahan dengan mejaku. Anehnya, aku juga selalu punya cemilan di meja tapi dia tidak pernah ke mejaku. Menatapnya sambil berpikir, apa yang salah dengan cemilan di mejaku?
Aku tahu ini hanya akan sementara, lama-lama aku akan terbiasa dan bersikap masa bodoh tentang dia yang selalu berjalan-jalan di sekitar mejaku. Begitu banyak PR yang harus kurapihkan. Begitu banyak omong kosong sok tahu yang harus kuacuhkan. Ya. Belakangan ini banyak orang-orang yang tiba-tiba sok tahu dengan kebutuhanku, dengan keadaanku. Dan aku benci itu. Kenapa kalian begitu sok tahu?
Tiga bulan ini begitu banyak. Banyak sekali keputusan yang harus diambil. Berkali aku bilang pada diriku sendiri, kamu tidak boleh abu-abu. Aku benci harus begitu cepat-cepat mengambil semua keputusan itu. Setiap hal ingin kulihat hingga detil terkecilnya. Ingin kupelajari dulu. Setelah itu kupikir masak-masak dan voila jadilah sebuah keputusan. Tapi sayangnya itu hanya sebuah keidealan. Nyatanya aku tidak punya cukup waktu untuk itu semua dan harus puas dengan keputusan yang bisa kubilang tergesa-gesa.
Diantara semua kekacauan ini -aku sadar defini kacau sebenarnya hanya untuk kepalaku saja-, aku harus malu-malu seperti anak SMP yang naksir kakak kelasnya. Tidak ada yang mengharuskan sebenarnya, hanya terjadi saja begitu adanya setiap kali di kantor. Aku benci dengan keadaan seolah di senior superior yang banyak digemari perempuan-perempuan dari berbagai kelas yang selalu mondar-mandir di sekitar mejaku. Kenapa juga dia harus mondar-mandir di mejaku? Oke, kalau dipikir dengan logika ini masuk akal. Dia selalu menyambangi perempuan-perempuan dengan cemilan banyak di meja mereka. Perempuan-perempuan itu mejanya bersebelahan dengan mejaku. Anehnya, aku juga selalu punya cemilan di meja tapi dia tidak pernah ke mejaku. Menatapnya sambil berpikir, apa yang salah dengan cemilan di mejaku?
Aku tahu ini hanya akan sementara, lama-lama aku akan terbiasa dan bersikap masa bodoh tentang dia yang selalu berjalan-jalan di sekitar mejaku. Begitu banyak PR yang harus kurapihkan. Begitu banyak omong kosong sok tahu yang harus kuacuhkan. Ya. Belakangan ini banyak orang-orang yang tiba-tiba sok tahu dengan kebutuhanku, dengan keadaanku. Dan aku benci itu. Kenapa kalian begitu sok tahu?
Comments
Post a Comment