Catatan Perjalan Yogjakarta : Hari Pertama


Yogjakarta pukul 04.30 dini hari.
Aku mengambil ancang-ancang untuk loncat ke peron stasiun. Hup! Aku tidak menunggu petugas stasiun menyeret tangga.
"Mbak sabar mbak, Ini tangganya sedang diambilkan." tegur salah seorang petugas.
Saya hanya meringis lalu berjalan cepat mencari pintu keluar. Ya aku terlalu bersemangat menghabiskan tiga hari di kota ini.

Magelang, 05.50
Matahari sudah terlanjur terbit. Kuning dan merah sudah menjadi warna kaki langit. Demi Tuhan, kenapa mobil ini berjalan lambat sekali. Ayo cepat, Pak Supir, nanti keburu terang.
Tidak lama kami sampai di area parkir Punthuk Setumbu, Bukit Menoreh. Harga tiket masuk Rp 15.000m-/orang. Aku sudah tidak sabar. Aku rasanya mau meledak. Setelah membeli tiket, aku berlari. Iya betul 700 m lari dan menanjak.
Sampai atas aku kehabisan nafas. Kepalaku berdentum seperti dihantam palu tapi hatiku tahu, selangkah lagi aku sudah di puncak.Aku menoleh ke belakang.
"Kalian duluan aja." Kak Sherly menyuruhku duluan. Nampaknya dia mau istirahat dulu.
Aku diam lama melihat kuning merah berubah menjadi biru. Terpana melihat kabut di sepanjang lembah. Melihat ujung stupa Borobudur. Demi Tuhan, ini sunrise terbaikku selama ini.

Punthuk Setumbu
Aku mengirimkan gambar ini ke Bapak Ibu ku di rumah. Sunrise ini kapan-kapan harus kita nikmati bersama. Aku berdiri diam, lama, dan hening. Mencoba tenggelam dalam momentum ini. Satu jam kemudian, aku tersadar, aku tidak sendirian naik kesini. Aku mulai sibuk mencari kedua temanku.
Satu sudah ketemu, berdiri tidak jauh dariku ternyata. Satu lagi mana?
"Kak Sherlyyyyy....!!!!!!!!" Aku mencoba memanggil berkali-kali. Sejauh aku memandang, dia tidak nampak juga. Kami berdua heboh turun kebawah sambil memanggil. Tak jauh ada rumah bilik yang sepertinya dijadikan Mushola. Dan temanku terkapar di sana. Alamak, teman macam apa aku ini. 
Nampak ada tiga bapak mengerubungi temanku.
"Mbak, temannya ya?" tanya salah seorang bapak itu.
"Iya." Aku menjawab setengah berbisik. Malu.

Sarapan mie instan dulu biar kuat nanjak

Setelah sadar, kami bertiga mencari teh manis dan sarapan indomie. Banyak warung di sekitar sini.
Setelah bertenaga kami melanjutkan perjalanan ke Gereja Ayam sekitar 500-600m jalanya tanah merah berumput. Jadi disarankan pakai sepatu dan hati-hati licin apalagi sehabis hujan.
Untuk bisa naik ke atas mahkotanya si Ayam kami harus membayar Rp15.000,- lagi. Antri pula. Kami pun memutuskan pulang saja.
Sampai di tempat parkir Bukit Rhema, kami baru tahu ternyata untuk ke atas bisa sewa jeep, Rp 17.000/orang. Di parkiran aku mengobrol dengan salah satu petugas parkir.
"Pak, ini dulunya Gereja ya?" seperti biasa aku sok akrab.
"Belum sempat jadi Gereja. Dilarang sama penduduk sekitar. Mayoritas kan bukan Kristen ya" Jawaban si Bapak entah mengapa membuatku pilu. Ibuku juga besar di daerah sini, dan agama bukan penghalang setahuku.
"Tahun 92 dibangun. Lalu berhenti karena ada pelarangan. Kalau dijadikan tempat wisata sih tidak apa. Kami menyebutkan Museum Ayam." cerita si Bapak berlanjut. Aku diam dan agak marah.
Sempat aku mencari berita ini di internet, salah satu laman mengatakan pembangunan terhenti karena soal dana. Entah mana yang betul.

Borobudur, 09.30
Salah satu temanku, Kak Betty, ingin sekali ke candi terbagus se Indonesia ini. Aku dan Kak Sherly pun menemani. Satu lagi, Kak Dian bergabung di Borobudur. Tiket masuknya cukup Rp30.000,- untuk turis domestik.

Panas terik, tapi kami tetap naik sampai stupa paling atas. Tiga temanku ini mukanya cantik-cantik, macam artis Korea lah. Sepanjang jalan naik ke atas, banyak sekali anak SD minta wawancara mereka bertiga. Disangkanya temanku ini turis, dan anak-anak ini lagi kedapetan PR wawancara turis asing.
Aku agak lama, jongkok di bawah bayangan stupa. Menonton mereka bertiga diwawancara. Sampai satu titik aku melihat dia. Dia berdiri gagah, menungguku untuk datang, namanya Gunung Merapi.

Gunung Merapi

Lagi-lagi aku jongkok di bawah bayangan stupa, diam dan hanyut melihat dia.
Ada satu hal menarik di sini. Kalian mungkin sudah tahu, ada satu arca Buddha yang terbuka, tidak di dalam stupa. Dan saya pun bertanya mengapa. Teman saya bilang, mungkin itu lambang Buddha yang sudah dapat pencerahan sempurna jadi dia sudah tidak lagi memerlukan tempat gelap untuk melakukan meditasi. Di tempat terang pun ia sudah bisa meditasi.


Blabak, 11.30
Pulang kampung. Ya ini desa tempat ibuku dibesarkan. Aku mengajak mereka untuk makan kupat tahu Populer, persis di sebrang stasiun Blabak. Ini stasiun mati, lama sudah. Ibuku bilang sudah sejak dia kuliah dulu stasiun ini sudah mati. Kupat tahu sendiri harganya Rp 9.000/porsi. Ada banyak gorengan atau pun telur jika mau bisa dimakan bersama dengan kupat tahu. Kupat tahu dominan manis kecap dan berkuah encer.

Ullen Sentalu, 13.00
Pintu masuk Ullen Sentalu
Ini museum terbaik yang pernah saya kunjungi. Mencapurkan budaya dan sejarah. Dominan dengan keluarga keraton Solo. Ada pula sedikit cerita ttg keraton Jogja. Museum ini diolah swasta, entah mengapa saya tidak heran ketika melihat semuanya tertata dan terawat. Kami cukup membayar Rp30.000/orang. Biaya tersebut sudah termasuk guide selama 50' dan welcome drink berupa jamu. Saya agak lupa, jamu awet mudah atau apa ya lupa saya.
Ada satu hal yang menarik perhatian saya. Di salah satu rumah, memamerkan koleksi surat-surat kepada salah satu putri keraton (lagi-lagi saya lupa namanya) yang sedang patah hati. Semua suratnya puitis, bahasanya mengagumkan. Di salah satu suratnya ada tertulis:
"Memulai adalah perkara mudah, tapi memeliharanya adalah suatu seni besar."

Istana Ratu Boko, 17.30
Jingga

sudah mulai kebiruan

Berbekal pengetahuan dari internet, saya sudah berminat mengejar sunset di tempat ini. Tiket masuknya Rp20.000/orang. Begitu masuk, saya naik ke atas candi, tempat pembakaran yang masih menjadi perdebatan arkeolog. Abu yang tertinggal adalah jasad para raja atau bukan. Dan disinilah saya lagi-lagi diam lama melihat atraksi langit. Berawal dari jingga hingga merah lalu ungu lalu tenggelam menjadi biru tua. Saya sampai diusir pulang oleh petugas candi, mungkin karena belum ada penerangan yang memadai. Ah, rasanya pantatku sudah berakar.

Prambanan. 19.30
Tour kali ini padat merayap. Tapi bagi saya sendratari Rama-Shinta tidak pernah membosankan. Ini kali ketiganya saya menonton. Yang pertama di pelataran Candi Prambanan. Yang kedua di Pura Uluwatu. Dan yang ketiga ini di theater Trimurti, masih masuk kawasan candi Prambanan. Harga tiketnya bervariasi, saya ambil kelas yang paling murah Rp 125.000 (kelas 2). Sendrawatari ini membuat saya menganga takjub karena perpaduan tari, cerita, dan suara gamelan yang dimainkan live. Pertujukannya sendiri berlangsung 2 jam, diselingi break sekitar 10 menit setelah 1 jam pertunjukan.

Comments

Popular Posts