Namanya Mellisa

Waktu tidak pernah berjalan mundur, tapi memori manusia selalu bisa bergulir ke belakang. 
September 2010, enam tahun lalu di kota yang setiap sorenya menyuguhkan hujan, saya berkenalan dengan gadis mungil yang setiap tersenyum matanya hilang entah kemana. Dia berponi depan dan dipotong rata sekali, seakan saat potong poni pakai cetakan panci. Dia bilang namanya Mellisa. Nama yang sering sekali saya salah eja, bahkan sampai sekarang. Mellisa atau Melissa yang benar ya, Mel? Ah pasti kamu kesal Mel kalau kamu baca tulisan ini.

Saya ceritakan sedikit siapa Mellisa sebenarnya. Mellisa itu paling tahu kalau saya ini selalu payah mereda amarah. Dia tidak pernah menasehati, tapi di suatu pagi di ulang tahun saya yang ke 20, saya menemukan buku di tempat tidur saya. Judulnya Meredam Emosi. Mellisa juga paling tahu kalau saya ini penyakitan. Memang paling enak kalau lagi sakit, bangun tidur sudah bertengger jus buah di meja belajar. Mellisa juga yang paling tahu, kisah percintaan saya yang sering gagal. Sampai akhirnya dia bilang akan pindah ke New York, saya adalah orang yang paling tidak bersedih.  Karena bagi saya, Mellisa pasti akan pulang.


Mellisa Gaunya Kegedeean

Empat bulan lalu, kami mengobrol lewat skype. Hal yang sering kami lakukan di Minggu pagi sejak kepindahan Mellisa. Dan bocah ini tiba-tiba marah. Pasalnya dia merasa saya kurang perhatian katanya. Sudah hampir sejam video call tapi saya tidak sadar ada cicin melingkar di jari manisnya. Memang payah temanmu ini Mel. Tidak lama, 2 pesan gambar masuk ke telpon genggam saya. Ternyata foto Mellisa dengan gaun putih yang kebesaran. Oh kamu sudah sampai fitting baju nikahan toh Mel. Itu yang terpikir oleh saya pertama kali. Gadis ini ternyata sudah mantab dengan pilihanya.  “Selamat ya Mel.” Tanpa saya sadari saya pun menangis. Entah kenapa saya juga bingung.
26 Juni 2016, sudah empat bulan ternyata Mellisa menceritakan persiapan pernikahanya. Dan hari itu, Mel, kamu dan Albert sudah mengucapkan janji yang paling manis yang pernah saya tahu, di depan altar.

“To have and to hold from this day forward, for better, for worse, for richer, for poorer, in sickness and in health, to love and to cherish till death us do part, according to God’s law, and this is my solemn vow.”

Kebahagian yang paling mendalam adalah melihat foto kamu dengan gaun putih yang udah gak kebesaran lagi. Berdiri di samping Albert di depan altar. Ya, saya menangis lagi. Sekarang kamu tahu Mel, temanmu ini cengengnya luar biasa. Beribu ucapan terima kasih sepertinya tertahan di mulut ketika tadi kamu menelpon.

Terima kasih sudah memaklumi saya tidak bisa hadir di pernikahanmu.

Terima kasih sudah menginginkan saya menjadi bridesmaid kamu.

Terima kasih kamu merindukan kami semua di sini.

Terima kasih kamu berharap saya bisa hadir di sana, dan membantumu menyiapkan souvenir pernikahan.

Terima kasih sudah menceritakan susah senangnya kamu menyiapkan pernikahanmu.  


Terima kasih sudah berbagi kebahagian dengan kami semua.

Comments

Popular Posts