Begitu Jauh Langit di Atas Sana
Langit Sabtu siang begitu cerah menemani gaduhnya jalan tol. Kecelakaan yang katanya ada di kilometer 10, dampaknya sudah merambat sampai ke kilometer 20. Arya sudah membuka kaca mobil lalu mengeluarkan sebatang Malboro merah.
"Aku ngerokok gak apa ya?" seolah Arya meminta ijin.
Jani hanya menjawab dengan senyuman tipis.
"Kamu mau gak kalo misalnya dikasih perusahaan sama papahmu?" sambil membakar rokok, Arya mencoba mencari topik baru.
"Mau dong." tidak berpikir lama, Jani mantab menjawab.
"Kalo yang ngasih, mertuamu mau gak?" kali ini Arya mulai cengengesan.
"Itu opsi terakhir, Arya." Jani mulai bingung dengan arah pembicaraan.
"Loh kenapa?"
"Emangnya kamu mau gitu?" Jani semakin bingung.
"Mau lah. Aku persetan sama omongan orang." Arya mulai menemukan keseruan dari topik ini.
"Bukan masalah omongan orang. Emangnya kamu mau hidupmu disetir sama orang lain?"
"Maksudnya?"
"Ya maksudnya, kan hidup cuma sekali masa iya mau disetir orang lain. Sepupuku ada tuh yang kayak gitu. Semuaaaa yang dia mau lakuin pasti nunggu approval dulu tuh dari mertuanya baru jadi sebuah keputusan."
"Di luar urusan bisnis juga begitu?" pertanyaan Arya penuh konfirmasi.
"Iya. Bahkan sampe hal-hal kecil." Jani mulai mendramatisir.
Arya mulai memahami jalan pikir Anjani yang kadang-kadang penyampaianya penuh drama.
"Eh aku mau tanya deh, kalo anak cowok ya udah kerja nih terus dikasih uang sama orang tuanya. Menurut kamu gimana?" Jani gantian melempar pertanyaan.
"Ya terima lah. Memangnya gajiku sekarang berapa bisa sampe nolak gitu?" Ada nada marah yang Jani tangkap dari cara Arya menjawab. Anjani sedikit terhenyak dan mulai ragu untuk melanjutkan pembicaraan.
"Ya kalau di keluargaku kan perempuan semua, jadi kami terima uang dari orang tua ya terima aja. Mungkin kalau kalian laki-laki punya gengsi sendiri gitu." Anjani mencoba menjelaskan maksud dari pertanyaanya namun sepertinya gagal.
"Ya endak gitu." nada ketus Arya membuat Jani semakin tidak enak hati.
"Abisan ya sepupu aku tuh, dia mau dibayarin S2 sama orang tuanya, eh gak mau katanya mau pakai uang sendiri." Jani berceloteh tanpa sadar air muka Arya sudah berubah.
Dua minggu kemudian. Anjani baru menyesali pembicaraan itu pernah terjadi. Anjani baru menyadari topik-topik yang dianggapnya obrolan warung kopi ternyata benar terjadi dalam hidup Arya. Ego Arya sudah terlanjur teriris dan Anjani menjadi menyesal. Anjani berpikir, Ada hal lain yang lebih mengganggu dibanding rasa penyesalan. Anjani merasa rendah. Anjani semakin sadar dirinya sudah sangat jauh untuk dapat sama dengan latar belakang Arya. Arya bagaikan jauh di atas sana dan Anjani hanya berani mengintip ke atas sambil bergumam risau.
"Aku ngerokok gak apa ya?" seolah Arya meminta ijin.
Jani hanya menjawab dengan senyuman tipis.
"Kamu mau gak kalo misalnya dikasih perusahaan sama papahmu?" sambil membakar rokok, Arya mencoba mencari topik baru.
"Mau dong." tidak berpikir lama, Jani mantab menjawab.
"Kalo yang ngasih, mertuamu mau gak?" kali ini Arya mulai cengengesan.
"Itu opsi terakhir, Arya." Jani mulai bingung dengan arah pembicaraan.
"Loh kenapa?"
"Emangnya kamu mau gitu?" Jani semakin bingung.
"Mau lah. Aku persetan sama omongan orang." Arya mulai menemukan keseruan dari topik ini.
"Bukan masalah omongan orang. Emangnya kamu mau hidupmu disetir sama orang lain?"
"Maksudnya?"
"Ya maksudnya, kan hidup cuma sekali masa iya mau disetir orang lain. Sepupuku ada tuh yang kayak gitu. Semuaaaa yang dia mau lakuin pasti nunggu approval dulu tuh dari mertuanya baru jadi sebuah keputusan."
"Di luar urusan bisnis juga begitu?" pertanyaan Arya penuh konfirmasi.
"Iya. Bahkan sampe hal-hal kecil." Jani mulai mendramatisir.
Arya mulai memahami jalan pikir Anjani yang kadang-kadang penyampaianya penuh drama.
"Eh aku mau tanya deh, kalo anak cowok ya udah kerja nih terus dikasih uang sama orang tuanya. Menurut kamu gimana?" Jani gantian melempar pertanyaan.
"Ya terima lah. Memangnya gajiku sekarang berapa bisa sampe nolak gitu?" Ada nada marah yang Jani tangkap dari cara Arya menjawab. Anjani sedikit terhenyak dan mulai ragu untuk melanjutkan pembicaraan.
"Ya kalau di keluargaku kan perempuan semua, jadi kami terima uang dari orang tua ya terima aja. Mungkin kalau kalian laki-laki punya gengsi sendiri gitu." Anjani mencoba menjelaskan maksud dari pertanyaanya namun sepertinya gagal.
"Ya endak gitu." nada ketus Arya membuat Jani semakin tidak enak hati.
"Abisan ya sepupu aku tuh, dia mau dibayarin S2 sama orang tuanya, eh gak mau katanya mau pakai uang sendiri." Jani berceloteh tanpa sadar air muka Arya sudah berubah.
Dua minggu kemudian. Anjani baru menyesali pembicaraan itu pernah terjadi. Anjani baru menyadari topik-topik yang dianggapnya obrolan warung kopi ternyata benar terjadi dalam hidup Arya. Ego Arya sudah terlanjur teriris dan Anjani menjadi menyesal. Anjani berpikir, Ada hal lain yang lebih mengganggu dibanding rasa penyesalan. Anjani merasa rendah. Anjani semakin sadar dirinya sudah sangat jauh untuk dapat sama dengan latar belakang Arya. Arya bagaikan jauh di atas sana dan Anjani hanya berani mengintip ke atas sambil bergumam risau.
Comments
Post a Comment