Egoisme

(http://favim.com/image/21331/)

Malam masih terlalu muda untuk menikmati sebotol bir. Tapi aku selalu tahu apa yang aku inginkan, cukup sebotol bir dingin dan perbincangan hingga larut malam. Sayangnya malam tidak berpihak pada keinginanku.

Angin terasa begitu kering, pertanda hujan akan segera turun. Jalanan Jakarta, seperti biasa macet tanpa bilang permisi. Satu dua aku melihat karyawan muda duduk di halte bus. Menunggu angkutan umum untuk pulang. Belum ada cukup uang untuk menyicil mobil. Ah, aku seperti melihat diriku sendiri.

Jujur, aku kewalahan menghadapi egoku sendiri. Jika tingkat kedewasaan seseorang diukur dari egoismenya, maka aku gagal disebut dewasa. Kenapa aku kalah melawan amarah? Kenapa aku biarkan egoku tertawa puas memamerkan kemenangan? Rasanya aku ingin berbalik arah dan menghadapimu kembali. Kita bisa bicara secara dewasa. Kita bisa bicara dengan nada tenang. Sayangnya, kakiku menghianatiku. Dia justru diam tak bergerak. Ya, aku pengecut.

Jauh, jauh sekali di ambang kesadaran, aku ingin berteriak bahwa aku selama ini sudah berusaha menjadi pilihan terbaik. Sedikit banyak aku berharap aroma segar tubuhmu hanya milikku seorang. Tidak akan kubagi, tidak akan kubuang. Itu sebabnya malam ini aku cemburu.

Aku sudah mempercayaimu dan itu pekerjaan yang sulit. Jangan lagi jadikan aku pilihan terakhir.

Comments

Popular Posts