Kearifan Lokal di Ujung Kulon
Sekali-kali boleh lah saya berpose di depan kamera (Curug Cikacang, taken by Pipit) |
Pukul 02.00 dini hari, langit masih gelap. Satu persatu penumpang kereta api Krakatu meninggalkan stasiun. Hanya tersisa kami bertiga, saya, Pipit, dan Sisil. Sejak awal kami memang sudah memutuskan untuk menunggu subuh di Stasiun Serang. Menunggu hingga hari cukup terang untuk melanjutkan perjalanan ke Taman Jaya, Ujung Kulon. Kami sempat berbincang sebentar dengan kepala stasiun dan tak lama beliau mempersilahkan kami untuk beristirahat di Mushola stasiun.
"Mbak-mbak silahkan istirahat di Mushola tapi mohon jaga kebersihanya ya. Di sebelah (Mushola), ada kantor brimob, teriak saja kalau ada apa-apa ya. Selamat pagi." Bapak itu begitu santun menutup pembicaraan lalu kembali ke kantornya. Di dalam Mushola udara terasa lebih hangat, kami pun tertidur hingga subuh.
Perjalanan masih panjang. Kami harus naik angkutan ke Terminal Pakupatan lalu naik elf ke Taman Jaya. Pemandangan mulai dari sawah lalu pasar, lalu danau, sawah lagi, lalu laut, kembali lagi ke pasar, semua kami nikmati selama 8 jam perjalanan.
Tujuan pertama kami adalah Rumah Tukik. Semula kami mengira ini adalah nama penangkaran tukik namun ternyata bukan. Rumah Tukik adalah tempat belajar mengasah kreativitas anak-anak penduduk setempat. Bukan hanya kreativitas namun juga mimpi yang ditanamkan disini. Mimpi untuk berani menempuh pendidikan lebih tinggi, mimpi untuk bisa memajukan desa mereka sekaligus merawatnya.
Rumah tukik, tempat anak-anak mengasah kreativitas sekaligus menyadari keindahan kampung halaman mereka |
Laut yang berbatasan langsung dengan pekarangan rumah tukik |
Secara garis besar, desa Taman Jaya memiliki alam yang masih sangat asri. Pantai berkarang yang sering kali terdapat buaya air laut. Laut dengan dermaga kecil, cocok untuk para penikmat senja. Jalan utama yang merupakan sekumpulan batu dan tanah. Desa ini belum menjadi tempat tujuan wisata. Rata-rata para pelancong hanya istirahat sebentar di sini sebelum menyebrang ke Pulau Peucang atau Pulau Handeleum. Padahal hanya dengan naik motor sekitar 30 menit, sudah bisa menikmati berhektar hamparan sawah. Bagi para penikmat satwa liar, bisa juga berjalan ke dalam hutan liar. Burung hutan juga burung air banyak bisa dilihat di sini. Primata, seperti owa jawa, pun bisa dilihat di sini. Tak heran, banyak warga asing yang tinggal di desa ini untuk melakukan penelitian.
Perjalanan menuju Curug Cikacang, menembus hutan |
Ke Curug Cikacang juga harus melewati pematang sawah |
Menjelang sore, anak-anak berkumpul di sini. Mereka menunggu cerita yang akan keluar dari mulut kami. Sangat disayangkan karena kesalahan komunikasi, kami tidak menyiapkan apa-apa untuk anak-anak ini. Jadilah kami mengobrol sambil menunggu malam pergantian tahun.
"Tadi sore kami lihat buaya di laut." ujar salah satu kawanku membuka pembicaraan.
"Iya, Teh! Orang sini nyebutnya buaya penganten." gadis abg di depanku dengan semangat bercerita.
"Penganten? Penganten itu orang yang menikah kan?" seakan aku tak percaya dengan pendengaranku. Apa hubunganya penganten dengan buaya?
"Iya Teh iyaaa! Mitosnya sih dulu ada suami istri ya, terus suaminya ilang gak pulang-pulang. Katanya sih ya dijadiin penganten sama buayanya, Teh. Makanya kalau udah terlanjur bilang buaya harus cepet-cepet bilang penganten biar gak dijadiin pengantenya buaya."
Saya hanya bisa menanggapi dengan oooo panjang.
"Katanya ya buaya nya teh jelmaan Nyi Roro Kidul." sekarang saya mulai bisa menangkap maksud mitos ini. Intinya jangan berburu buaya. Penduduk lokal mungkin lebih paham alasan "buaya itu titisan Nyi Roro Kidul, jadi jangan dibunuh" dibanding seruan "jangan berburu buaya karena bisa merusak ekosistem".
Lihat betapa kita tidak bisa mengecilkan peran kearifan lokal dalam melestarikan alam. Bagi saya pribadi, melihat hal seperti sangat baik adanya. Tidak. Itu bukan musyrik. Dan jangan bilang saya jahat karena membiarkan mereka tetap 'bodoh'. Terkadang membiarkan masyarakat tetap pada kepercayaan mereka itu justru lebih baik. Toh hingga sekarang alam mereka dan segala isinya tetap terjaga berkat kepercayaan-kepercayaan itu. Yang saya lakukan hanya menghormati cara mereka untuk menjaga buaya.
Dermaga tempat menunggu senja datang |
Hunting foto di dermaga (ceritanya candid, taken by Pipit) |
"Kamu sekolah dimana, Atiah?" tanyaku memulai pembicaraan di malam terakhir aku di desa ini.
"Di Madrasah, Teh. Tuh deket tinggal jalan kaki." kesusahan ia mencoba menjawab pertanyaanku sambil menguyah bakso ikan yang katanya paling tenar di daerah ini. Baksonya memang enak terbuat dari daging ikan dan diisi kulit ikan, tambah gurih jadinya.
"Setelah lulus SMA mau kuliah?" tanyaku memancing.
"Yah mau Teh, tapi orang tua gak ada biaya." gadis berhenti makan dan mulai menerawang.
"Ada beasiswa. Tapi kamu harus komitmen untuk berusaha gak berhenti-henti." aku berusaha meyakinkan.
"Gak tau Teh ya, abisan teteh-teteh aku habis SMA ya kawin." aku pun pilu mendengar jawabanya. Ini bahkan masih di pulau Jawa. Tujuh jam dari ibu kota itu tidak terhitung jauh jika dibandingkan dengan Papua.
Banyak sekali impianku saat itu untuk membantu anak-anak di daerah itu terlebih dalam hal pendidikan. Aku seorang pengajar, dan aku mencintai mengajar. Semoga rencana mengajar yang sudah kususun tidak hanya menjadi wacana.
Dari kiri ke kanan: Atiah, Kang-saya-lupa-namanya, Yoga, Capcus, Refan Tiga hari kami puas ditemani celoteh dari mulut mereka |
For more photo please click Ujung Kulon 2015
Comments
Post a Comment