Satu Lagi Hari Jumat
Bagi kebanyakan orang, mereka lebih menyukai berjalan ke
depan. Selera film, selera musik, selera berpakaian semuanya berjalan ke depan.
Aku pun mengaku aku ini bagian dari kumpulan yang maju ke depan. Selalu ambil
bagian dalam perkembangan jaman adalah hal yang menyenangkan. Tapi hari itu,
khusus hari itu aku janji, aku akan mundur selangkah ke belakang.
Alfredo. Ah rasanya tanganku lincah sekali mengetik ceritra tentang dia. Seolah mendadak seluruh
sel dalam tubuhku berteriak kegirangan. Alfredo, laki-laki yang aku ceritrakan
empat bulan lalu (baca : Setiap Hari Jumat). Si cinta monyetku kini muncul lagi. Begini kisahnya.
Jumat siang, udara panas Jakarta siap membakar apapun,
siapapun, dan dimanapun. Aku tidak tahan dan akhirnya memilih salah satu tempat
makan ber-AC di bilangan Rawamangun. Rawamangun sudah banyak berubah. Inilah salah
satu tempat ketika makan adalah kebutuhan sekunder dan nongrong menjadi
kebutuhan primer. Jaman aku SMP dulu di
Rawamangun, daerah ini hanya mengunggulkan es krim goreng dan pasar swalayan
TipTop yang murahnya seperti tidak cari untung. Oh ada juga cakwe di perempatan
RS Persahabatan yang populer karena ukuranya menyaingi talas Bogor. Lihatlah
sekarang, betapa hedonisme berkembang dengan sukses.
Peluhku menguap ditiup angin hembusan AC. Perutku sudah
minta dikasih makan tapi temanku belum muncul juga. Sebut saja namanya A. A
menelponku kemarin, meminta bertemu. Dia mengadu tentang kisah hidupnya dari A
sampai Z, kisah yang bisa membuatku tertawa sekaligus hening. A menjadi wanita
simpanan laki-laki hidung belang. Laki-laki ini sudah berbini dan beranak dua. Untuk
selanjutnya biarlah aku memakai kata ganti monyet untuk dia. Serunya adalah,
Monyet mengaku 14 tahun hidup pernikahanya tidaklah bahagia. Monyet menikah paksa
dengan istrinya. Siapa yang memaksa? Ibu si Monyet, entah betul atau tidak.
Kenapa si Ibu tega memaksa? Karena seluruh biaya pendidikan Monyet ditanggung
oleh ayah bininya alias mertuanya sendiri. Monyet lantas mengiba pada temanku.
Dia bilang kira-kira begini, “Kamu adalah kado dari Allah setelah saya rela
menderita 14 tahun dalam pernikahan saya.” Si A lantas kasihan. Rasa kasihan
lebih sering berubah menjadi cinta. Kisah cinta ini menjadi masuk kategori
gawat. Jadilah Jumat siang itu aku rela berpanas-panasan naik angkot hanya
untuk menjadi telinga akan kisah gawat temanku itu. Lalu apa hubungannya dengan
Alfredo?
Telpon selularku berkedip-kedip, nomor asing. Saat itu, A
masih belum tampak batang hidungnya. Lima belas menit kemudian, aku terdiam memandangi
telpon selularku. Kenalan di kantor lamaku ternyata. Beliau kepala divisi, tapi
jelas bukan kepala divisiku dulu. Beliau kepala divisinya si Alfredo (Alfredo
sudah ada bau-baunya). Beliau bermurah hati menawarkan aku kembali ke kantor
itu untuk menjadi bawahanya, mengisi posisi Alfredo. Kata orang sirik adalah
tanda tak mampu. Dan itulah aku di siang itu. Posisi Alfredo kosong bukan
lantaran dia resign atau di-PHK, melainkan dia dipromosikan jadi Marketing
Manager di divisiku dulu. Aku pun mulai berandai-andai. Kalau saja aku tidak
ribut dengan bosku. Kalau saja aku tidak resign. Kalau saja tawaran ini datang
empat bulan lebih awal. Kalau saja aku tidak kenal Alfredo. Mungkin ini cara
Tuhan menjawab doaku: Jika kami tidak berjodoh, maka jauhkanlah kami.
Aku mengetik pesan singkat: Selamat ya sudah jadi manager
sekarang. Tidak lama A datang dan kami asyik mengobrol. Kira-kira jam 3 sore,
aku harus pergi ke tempat makan lain di daerah Matraman. Lagi, aku akan menjadi
telinga. Kali ini kisah cerita cinta anak muda. Apa boleh buat, kadang keadaan
tidak selalu menguntungkan. Temanku ini ternyata baru kena sial bertubi-tubi. Sebut
saja namanya S1 (nanti akan muncul tokoh bernama S2). Mulutnya monyong betul saat aku baru saja sampai. Nada
bicaranya ketus. Pasalnya macbook-nya rusak baru saja terbang bebas ke lantai. Belum
lagi sepanjang hari ini dia gagal menambal gigi pasienya. Maklum S1 masih
berstatus koas dokter gigi. S1 asyik dengan tablet-nya, mencari info
tentang kerusakan macbook. Jadilah sore itu, aku menemani S1 ke ibox di daerah
Menteng. Acara makan bersama sekaligus ajang curhat cerita cinta lucu, sekarang
tinggal harapan.
Temanku satu lagi, inisialnya S juga (selanjutnya kita
panggil S2), muncul. Bergabung denganku di ruang tunggu cs ibox. Aku dan S2
mengobrol sebentar sampai telpon selularku berkelip-kelip lagi. Ah Alfredo!
Jika biasanya aku berjalan maju, biarlah kali ini aku berjalan mundur. Berbicara
dengan dia seakan berbicara dengan masa lalu. Kami semakin larut dalam
pembicaraan. Dari mulai saling bertanya kabar hingga saling berbagi cerita kami
masing-masing selama empat bulan belakangan ini. Ingat, pembicaraan kami jauh dari kata romantis. Kami hanya saling mengisi sekaligus saling mengatai.
Kadang aku iri dengan Alfredo, dia selalu bisa berbicara
dengan cara menyenangkan. Dia selalu bisa membuatku bermanja-manja. Bagaimana
aku bisa marah kalau begini? Bagaimana aku bisa protes atas ‘hilangnya’ dia
empat bulan terakhir? Alfredo pun menyudahi pembicaraan dengan alasan dia sudah
sampai rumah. Tidak ada yang berubah ternyata. Aku diam memandangi layar telpon
selularku sampai S2 berkelakar, “Kok kalau ngomong sama Alfredo, suara lu jadi
manis sih?” kemudia S1 berkata, “Setiap hari Jumat ya Han?” Aku pun kembali
diam memandangi layar telpon selularku. Dialah alasan aku membenci hari Sabtu. Hari terjauh untuk bertemu dengan Jumat berikutnya.
Comments
Post a Comment