Camping di Rumah Babi : Guntur 2249 mdpl

Pemandangan dari puncak 1. Pokoknya saya yang jadi model
Libur lebaran kali ini, kantorku tidak tanggung-tanggung memberi libur dua minggu. Aku dan dua teman , kali ini memutuskan untuk mendaki Gunung Guntur. Catatan perjalanan ini tidak akan lengkap, mungkin akan lebih banyak sesi curhatnya.

Awalnya kami berlima. Aku, Rani, Adel, dan dua teman kantorku. Lalu bertambah Pauline, adiknya Rani, dan dua teman Rani. Jadilah kami berdelapan. Semuanya begitu lancar hingga H-10 satu persatu mengundurkan diri. Yang tersisa hanya aku Rani dan Adel. Ya betul sekali kami bertiga perempuan. Bagi aku dan Adel, kami agak ragu apa mau lanjut atau diundur saja. Ini bukan masalah kuat atau tidak angkat tenda dan perlengkapan kelompok (sebenarnya ini masalah bagiku), tetapi lebih kepada kami akan sampai di Garut sekitar jam 3 pagi. Agak menakutkan kalau kami semua perempuan. Kami sempat galau, tapi Rani bilang, "Jadiin aja dong, gue udah pengen banget naik gunung lagi." Akhirnya Adel yang memiliki bakat alami sebagai humas mengajak beberapa junior kami saat kuliah.

Bergabunglah Rui dan Yoan. Hanya jeda beberapa hari bergabunglah Andi dan Mawan. Yes sudah bertujuh. Ternyata peminatnya masih bertambah : Fidel dan Cici. Yeay kami bersembilan. Tapi sayang, menjelang keberangkatan akhirnya yang tersisa hanya lima orang. Aku, Rani, Adel, Cici, dan Andi. Lumayan ada laki-lakinya satu. Kami membagi peran. Rani sebagai ketua perjalanan. Aku sebagai bendahara. Adel sebagai seksi konsumsi. Andi sebagai medis. Cici sebagai asisten konsumsi merangkap perlap.

Pukul 9 malam kami berkumpul di Stasiun UI, sebenarnya mungkin lebih enak jika meeting point di Stasiun Tanjung Barat. Berhubung Andi dan Cici yang masih kuliah dan ngekos di sekitar kampus, jadilah di Stasiun UI. Dari stasiun, kami naik taksi tanpa argo ke Kampung Rambutan, biayanya Rp 50.000. Kadang supir Taksi harus belajar matematika. Kalau saja dia pakai argo pasti lebih menguntungkan buat dia. Jalanan semacet itu pasti memakan lebih dari 50ribu. Kami turun di Pasar Rebo dan langsung dapat bus ke Garut. Sayangnya kami berbarengan dengan orang mudik. Selain jadi penuh sekali sampai-sampai kami tidak dapat tempat duduk hingga Ciawi, ongkosnya jadi lebih mahal: Rp 60.000. Dan kesalahan kami adalah, bus itu tidak lewat tol Cipularang melainkan memutar lewat Ciawi-Cianjur.

Semua penderitaan di bus abal-abal itu belum berakhir. Tengah malam, disaat kami sudah dapat tempat duduk dan asyik tidur tiba-tiba kondekturnya berteriak menyuruh kami pindah bus. Sial betul!
Di bus yang baru ternyata sama menyebalkanya. Busnya penuh bukan main, tapi untungnya kami semua masih dapat duduk dan lumayan busnya ber-AC. Suara pedagang asongan berlomba menjajakan jualanya. Aku kesal mereka berisik sekali, terus menerus berceloteh dengan bahasa Sunda yang aku tidak paham. Tapi sebenarnya mereka kasihan juga, harus bekerja sampai selarut ini. Akhirnya suara mereka pun menjadi nina bobo buatku. Menjelang pukul 4 subuh kami sudah sampai di SPBU Tanjung. SPBU paling nge-hits seantero Garut bagi para pendaki.

Di SPBU Tanjung, kami sempat cuci muka, sikat gigi, dan sarapan. Ada warung di seberang SPBU yang ibunya ajaib bukan main. Mari aku ceritakan. Aku sebagai bendahara kelompok bersama Adel sang seksi konsumsi diutus membeli sarapan dan bekal makan siang. Untuk makan siang kami memesan nasi-ayam dengan harga Rp10.000. Untuk sarapan kami pesan nasi-ikan-tempe goreng Rp10.000 juga. Untuk sarapan kami hanya pesan 4 porsi karena mungkin porsi orang sarapan biasanya tidak banyak. Berarti totalnya Rp90.000. Tetapi setelah dipikir, kami pesan sarapan satu porsi lagi tapi tanpa nasi.
Aku tanya, "Jadi totalnya berapa, Bu?"
Si Ibu ajaib berkata "Rp115.000, Neng!" dengan muka sumringah.
"Lah Bu tadi kan total makanan awalnya 90ribu. Masa harga ikan dan tempe 25ribu?"
Dengan penjelasan yang berputar dan tanpa perhitungan, si Ibu menimpali dan harga barunya adalah 86ribu. Setelah Adel menjelaskan tak kalah berbelit, harga barunya pun menjadi 90ribu. Mungkin aku satu-satunya orang yang pusing di sini karena Adel bermuka datar dan si Ibu ajaib terlihat mengelus-elus dada. Entah bagimana ceritanya, aku memberikan uang 95ribu ke Ibu ajaib.

Saat aku dan Adel balik ke SPBU, Rani terlihat sudah berbincang dengan supir pick-up. Kami dapat harga 15ribu/orang untuk tarif SPBU-basecamp. Tidak lama sang abang pick-up datang lagi dan bilang kalau kami akan digabung dengan rombongan lain. Tidak masalah justru ini peluang untuk menawar lebih murah.
"Kan rame Bang, 10ribu aja ya perorang?" jiwa ibu-ibu-akhir-bulan mulai muncul
"Iya Bang. Iya Bang. Kan udah rame tuh!" yang lain menimpali dengan semangat. Si abang pick up mengiyakan dengan muka menunduk dan mulut komat-kamit.
"Iya gak Bang jadinya?" bagiku tegas itu wajib untuk urusan duit.
"Iya Teh, iyaaaaaa...." kami semua pun bahagia.
Kami memulai pendakian saat matahari terbit

Full team: Andi, Cici, Rani, Adel, aku

 Pukul 6 pagi kami memulai pendakian. Di awal perjalanan terlihat truck-truck dan alat berat penggali pasir. Selanjutnya hutan tertutup tapi hanya sebentar, selanjutnya Selamat datang di Guntur! Hanya ada ilalang kering disekitar, jalur pasir berkerikil dan lumyan curam. Pohon hanya ada satu-dua seperti berbasa-basi saja. Diantara kami, aku lah yang paling lemah sekaligus rewel. Setiap 10 menit aku minta istirahat. Hingga akhirnya menjelang pukul 1 siang, jalurnya semakin curam saja. Tidak ada tanda-tanda puncak. Aku jatuh semakin sering. Terpeleset sampai split. Madu menjadi makanan wajib buatku setiap mendaki, kini berubah rasa menjadi pahit. Karena sudah bercampur pasir akibat aku jatuh selalu muka duluan. Akhirnya Rani sang ketua perjalanan, memutuskan untuk istirahat dan makan siang dulu. Kami harus menyandar di pohon jika ingin berhenti, karena kalau tidak pasir-pasir ini akan membawamu kembali ke bawah.
Hutan tertutup sebentar saja di awal pendakian.

"Duit!! Duit!!! Duitnya jatuh!!!!" aku panik melihat tas selempangku menggelinding dengan lincahnya. Sejak aku mengutus diri menjadi bendahara, tas selempangku pun menjadi brangkas untuk semua anggota kelompok. Butuh waktu sekian detik untuk Andi, eehhmmm satu-satunya lelaki, untuk mengejar tas selampangku. Malang betul nasib si Andi. Setelah mendapatkan tas kembali, Andi mulai berceramah, "Lu sih Mak teriaknya duit, gue kan gak ngeh yang jatuh tas lu." demi kesejahteraan bersama, aku pun tidak balas mengomel.

Setalah makan siang, jalurnya semakin tidak terkira. Benar-benar hanya ilalang dan pasir, tidak ada pohon sama sekali. Naik dua langkah, turun 1/2 langkah. Food coma pun mulai menyerangku. Di titik ini, aku benar-benar ingin nangis. Pahaku sudah sakit sekali rasanya. Kakiku sepertinya terluka kena kerikil tadi. Setiap sepuluh langkah aku berteriak, "Ran mana puncaknya?" Tapi disinilah pelajaran kali ini, kadang kesulitan hanya menawarkan satu pilihan : dinikmati saja!
Kejam!
Sekitar pukul 3, hampir pukul 4, kami sudah sampai di atas. Tanah datar! Tapi bukan puncak. Aku dan Cici langsung duduk menikmati awan. Rani, Adel dan Andi masih berkeliling, nampaknya ingin memutuskan sebaikanya kita nenda dimana. Tidak jauh ada rombongan yang nenda tak jauh dari tempat kami istirahat sekarang. "Kita nenda di sana." Rani sang ketuper menunjuk ke arah tenda-tenda rombongan itu. Aku tahu, sebenarnya bukan tempat itu yang dia inginkan, tapi dia tidak tega melihat aku yang nafasnya tinggal satu-satu.

"Kak, tadi di belakang situ ada babi." kata rombongan yang sudah lebih dulu menenda. Ternyata mereka melihat babi hutan di semak-semak belakang tenda kami. Aku pun tiba-tiba mendapat ilham. Dulu, setiap kuliah lapangan kami dilarang pakai parfum karena hewan liar akan menjauh. Aku yang dulu kuliah Biologi, beberap kali harus ke lapangan untuk mengambil data tumbuhan dan satwa liar di alam. Aku segera ke tenda sebelah menanyakan apakah mereka ada parfum atau tidak. Respon mereka adalah: tertawa. Aku ingat pesan Bapak di basecamp, jagawana nampaknya. Beliau berkata babi-babi itu hanya mencari makan. Tidak masalah seharusnya, toh dulu aku 2 hari di Ujung Kulon setiap makan ditunggui satu keluarga babi hutan. Mereka menunggui persis di bawah kakiku, menunggu aku melempar sisa makan siang atau malamku. Kalau yang mereka cari makanan, berarti makanan kami harus terbungkus rapi dan tidak ditaruh di pinggir tenda. Serapat mungkin sampai mereka tidak bisa mengendus ada makanan. Hewan liar biasanya takut dengan suara gaduh. Maka aku meminta Adel memutar lagu dengan suara keras sepanjang malam.

Menjelang malam, tenda di seberang kami dibobol babi hutan. Aku berteriak, "Bang taruh makananya jangan dipinggir tenda!" Entah kenapa semua orang jadi sensitif dan suka marah-marah, "Makananya di dalem tenda, gak ditaruh di luar kok!" entah kenapa jawabanya tidak nyambung. Aku mulai bertanya, "Bang babinya ada rambutnya gak di kepala. Kayak jambul gitu." Si abang yang masih kesal hanya melengos. Tidak lama, aku melihat sendiri babi itu. Besar dan ada rambutnya lebat di kepala. Babi jantan dan masih single. Babi biasanya berburu bersama, satu keluarga komplit dengan anak-istrinya. Kalau gitu kemungkinan besar, babinya cuma satu, si pejantan tangguh ini. Tidak lama ada teriakan, "Awas diseruduk babi!!" dua mbak-mbak cantik di tenda sebelah berteriak. Aku pun menimpali sok jagoan, "Babi kalo gak ada kepentingan, gak akan nyeruduk kali."

Sebelum tidur, aku Adel dan Cici, berjalan ke semak-semak untuk buang air kecil. Aku giliran pertama, sampai Adel tiba-tiba berkata, "Mak belakang lu ada babi!" Adel dan Cici berlari. Aku? Harus pakai celana dulu baru bisa lari. Kenyataanya aku pun takut melihat si pejantan tangguh yang sudah menungguiku, entah sejak kapan, di semak-semak. Kenapa cerita ini sekilas terdengar seperti cerita porno?
"Ndddiiii babi ndiiiii!!!!!!!!!!!!!" kami bertiga lari sambil berteriak. Andi, ehmm satu-satunya lelaki, harus repot mengusir babi.
"Mak lu juga takut sama babinya?" Adel bertanya lirih.
"Takut, Del. Jantan soalnya." (bukan alasan tepat, Han.)

Malam semakin larut, kami pun tidur bersatu dengan carrier dan semua logistik kami termasuk nesting yang sudah dilap bersih. Semua harus rapat, jangan sampai si penjantan tangguh tahu ada makanan di sini. Malam kami menjadi kelam, karena harus terbangun terus menerus akibat ulah si babi. Adel, Cici dan Andi sudah tidur nyenyak seperti bayi besar. Rani dan Andi tidur di sisi pinggir tenda. Sisanya di tengah. Paling kasihan Rani, dia harus bangun terus karena babinya suka mengendus di sisi luar tenda tempat Rani tidur. Benar-benar jantan ini babi.          
"Bang! Babinya dimana?" Rani bt sama babinya dan berteriak ke abang tenda seberang.
"Tenang aja Kak, babinya di belakang tenda kami." si abang mencoba menenangkan.
Kenyataanya Rani harus benar-benar bangun sering sekali untuk mengusir babi. Aku ikut terbangun biar terlihat seakan setia kawan saja padahal tidak bantu mengusir babi. Sampai akhirnya Rani bilang, "Tidur aja Han. Yang terjadi, terjadilah." Kenyataanya, tidak lama aku harus terbangun kaget karena kepalaku diseruduk sesuatu. "Babinya dikepala gue! Hussshhh pergi lo sana pergiiiii gak!!!" Aku mulai frustasi. Rani terbangun lagi karena aku ribut. Kali ini Adel dan Andi ikut bangun dan mengigau dan tidur lagi dan tidak berpartisipasi aktif dalam pengusiran babi. Cici? Ah sudah lah.

Selamat pagi Indonesia!
Memulai perjalanan ke puncak 1
 Pagi jam 6, aku dan Rani memutuskan untuk muncak. Cici, Adel, dan Andi tidur kembali sekaligus menjaga tenda. Guntur memiliki tiga puncak yang letaknya tidak berjauhan. Soal jalur jangan dintanya: ilalang plus Edelweiss plus pasir plus kerikil. Setelah puas berfoto, aku dan Rani balik ke tenda. Bergantian dengan Andi Cici dan Adel. Sampai tenda, aku mendengar pembicaraan abang-abang di tenda sebrang. "Babinya berdarah. Yang kecil, tadi pagi gue liat berdarah."
Oh berarti babinya lebih dari satu, dan dia tidak single karena ada anaknya. Aku pun sedih sekali si anak babi sampai harus terluka. Kini aku sudah sayang dengan babi-babi itu. Aku tahu, abang tenda sebelah bawa Raymond alias golok tebas. Jahatnya.

Puncak 1 dilihat dari tempat kami nenda
Perjalanan ke puncak 1

Pemandangan dari puncak 1

Puncak 2 dan 3 dilihat dari puncak 1

Abang tenda sebrang, datang ke tenda kami minta minyak. Dia bilang minyaknya diambil babi, mentega juga, mie instan juga. Air minumnya tumpah diseruduk babi. Akhirnya kami menawarkan sarapan bareng.
"Tenda kalian aman?" si Abang memulai pembicaraan.
"Aman Bang. Semua makanan kita masukin carrier terus disimpen di dalem tenda." Rani sang ketua memaparkan.
"Padahal tadi malem tendanya udah gue kasih minyak kapak sama garem." si Abang bercerita. Sebagai sarjana biologi, aku sedih mendengar orang mengusir babi dengan garam.
"Tenda sebelah situ si enak, pake parfum dia. Babinya ogah ke situ." Sial. Abang tenda sebelah, yang kemarin mentertawaiku karena minta parfum ternyata dia pake parfum untuk mengursir babi.

Saat kami sedang bersantai, tiba-tiba ada yang menteriaki, "Jangan nenda di situ. Itu kandang babi." Sekarang aku paham, bukan babi yang mengganggu kami tapi kami lah yang mengganggu babi. Coba bayangkan, tiba-tiba ada sekelompok orang asing tidur di ruang tamu rumah kalian. Pasti hal pertama yang kalian lakukan adalah mencoba mengusir kan?

Kami pun berbenah dan bersiap turun. Kami turun sekitar pukul 13.30. Perjalanan turun lebih berbahaya sebenarnya karena terjal, tapi untungnya kami bisa selamat dan baik-baik saja sampai bawah. Pukul 7 malam kami sampai di basecamp. Ada satu hal yang menarik saat perjalan turun. Kami melihat kunang-kunang. Luar biasa cantik. Kami bisa selamat naik dan turun, itu saja sebenarnya sudah cukup.

Comments

Popular Posts