2.565 mdpl

Gunung Prau, 30 April - 2 Mei 2015
(Photo taken by me and mas-mas anonim)


Langit gelap menyambut kami yang sedang bersiap mendaki

Memilih jalur Dieng

Kabut. Awan gelap bersiap menghadapi badai. Sudah jam 18.30 tetapi kami masih di antah berantah. Sikap kami berdiri namun badan dicondongkan ke depan sekaligus ke bawah, ke arah tanah. Memberi waktu bagi bahu untuk beristirahat sejenak, biarkan punggung yang kini seorang diri menopang carrier. Kami bertiga berdiri di sebelah kelompok yang nampaknya sedang beristirahat.
2/3 perjalanan menuju puncak
“Mas Mbak maaf numpang tanya, ke puncak lewat mana ya?” aku memberanikan diri bertanya.
“Jalan yang itu Mbak.” suara medok, khas Jawa Tengah atau Yogjakarata mungkin.
“Makasih.” Kemudian hening. Hanya suara nafas kami bertiga dan celoteh mereka.
“Mbak, mau bareng kami ndak?” tawaran yang menggiurkan tapi kami tolak. Kami masih ingin menunggu teman-teman kami di belakang.
Setelah berbasi-basi sebentar, mereka pamit meninggalkan kami bertiga ditemani awan dan kabut. Hari sudah semakin gelap, hidung kami sudah dingin. Bernafas pun menjadi kepulan-kepulan asap. Badan kami lembap oleh keringat bercampur air hujan. Tidak ada yang lebih menarik selain godaan untuk tidur di kasur empuk. Sayangnya di sini hanya ada kumpulan lumut sejati yang bisa menyerupai nyamanya kasur hotel bintang lima. Ketinggian sekitar 2500 mdpl, kami harus bergerak sekadar melepas panas. Namun keberanian tidak cukup terkumpul untuk memutuskan terus berjalan. 

Kelap-kelip headlamp mulai terlihat dari kejauhan. Kedinginan hilang tertiup kegembiraan. Sayangnya bukan kelompok kami, melainkan kelompok yang tadi memang sempat bersinggungan di jalan. Kelompok yang pemimpinya menyuruhku duluan agar tidak memecah grup yang dia jaga.  

“Lihat teman kami tidak, Mas?”
“Mbak kelompok yang dari Jakarta juga kan?”
“Iya.”
“Masih di belakang, tidak jauh kok. Tadi teman Mbak kakinya kram. Yang laki-laki. Yang perempuan juga.”
“Yang agak gendut itu kan, Mas?”
“Iya.”
“Kami boleh ikutin kelompoknya Mas, tidak?”
……

Tidak ada jawaban, tapi kami asumsikan jawabanya boleh. Ah orang Jakarta, kenapa begitu egois bahkan di atas gunung pun masih egois. Hanya beberapa meter kami melangkah mengikuti kelompok itu lalu kami berhenti lagi. Badan kami sudah cukup panas untuk menunggu kembali.

“Cen-cen! Steeeeppen! Fandiiiiiii! Mas Sagaaaa!!!” berkali-kali kami teriak sambil mencoba menyala-matikan headlamp kami, seakan memberi kode. Kode bahwa kami menunggu. Cen-cen dan Stepen, si duo kaki kram, akhirnya muncul. Kami melanjutkan jalan setapak sampai bertemu Mas Seto, pemimpin kelompok kami selain Mas Saga. Berenam kami menunggu sambil mencoba bernafas teratur melawan dingin yang katanya 12oC. Malam sudah turun, langit mulai cerah. Bintang satu persatu berkedip, genit namun syahdu semacam penari jaipongan. Mas Saga, yang sayangnya bukan penari jaipongan, akhirnya muncul dari arah kami datang tadi.

“Kurang empat orang lagi.” Mas Seto menyambut Mas Saga.
“Siapa aja?” Mas Saga berjalan mendekati kami.
“Mahfud dkk. Hmmm…terus satu lagi siapa ya?” Mas Seto malah balik bertanya. Menyadari Mahfud dkk itu jumlahnya tiga orang saja.
“Fandi! Si Fandi jalan sendirian di belakang.” Nyaring suaranya si Cen-cen.

Menunggu kini menjadi pilihan tunggal.

“Wah cerah langitnya!” Shinta mulai berbinar diikuti yang langit mulai menengadah ke atas.
“Terus tiba-tiba jadi romantis.” Dan malam memang mendadak romantis.
“Kalau gue sama pacar gue ada di sini pasti gue bilang: Sayang, bintangnya banyak ya, coba deh kamu hitung ada berapa. Trus gue tinggal tidur.” Mas Saga melucu yang menurutku tidak lucu tetapi kami semua tertawa. Mungkin yang kami butuhkan bukan hal yang lucu tetapi hanya tertawa. Tertawa saja untuk sedikit mengobati badan kami yang mulai lelah menopang carrier. Apalagi kaki yang tidak diberi kesempatan untuk mengeluh saat tak henti diajak terus menanjak serta menahan badan agar tidak tergelincir. Mahfud dkk akhirnya muncul disertai munculnya si Ranger.

“Udah lengkap?” sang Ranger yang hanya memakai celana pendek mencoba mengecek.
“Kurang satu. Si Fandi. Carrier-nya berat, mungkin bisa dibantu.” Mas Seto mencoba menjelaskan.
“Mas jadi turun ke bawah nanti malam?” Mas Saga mulai memperhatikan celana pendek sang Ranger.
Gak jadi. Nih celana udah kering kok. Saya tidur di atas aja. Lagian malam ini hangat. Nih saya berani pakai celana pendek.” Seakan sang Ranger mencoba menjawab pertanyaan di kepala kami.
Hangat? Dua belas derajat hangat? Berarti biasanya lebih dingin. Wah cukup beruntung, meskipun karena hujan sepanjang hari kami tidak bisa menikmati golden sunset yang legendaris itu.

Nyala headlamp mulai terlihat dari jauh. Horee Fandi muncul! Kami bertepuk tangan menyambut Fandi datang. Seperti menyambut petarung yang pulang ke kampung halamanya. Tidak menang tidak apa, asal pulang. Fandi, laki-laki bertubuh tambun itu nampak kepayahan. Sang Ranger sigap, mengambil carrier Fandi. Mas Seto mengaba-aba untuk melanjutkan perjalanan. Ranger di depan menunjukan jalan pintas.

Akhirnya ada hamparan tenda! Awan endorphin kembali menyelimuti kepala.
“Tenda kita yang mana?”
“Masih di depan! Di atas bukit.” Jawaban Ranger seakan melukai suka cita kami. 
“Mbak, ini minum dulu biar hangat.” Dua pemuda yang dudup di depan deretan tenda menawarkan teh hangat ke arah kami. Tak menolak, satu persatu kami berduabelas, kecuali sang ranger, bergantian minum dari gelas yang sama.

Aku mengoper gelas itu ke orang di belakangku sambil mengucap terima kasih ke dua pemuda tadi. Ah ternyata dunia ini indah, masih banyak orang baik.
“Woy jalananya di sana tuh! Jangan nyenterin ke sini dong!! Silauuu tauk!” Belum satu detik teoriku terpatahkan. Cahaya headlamp-ku tidak sengaja mengarah ke mata pemuda di tenda yang lain. Tendanya bersisian dengan dua pemuda baik tadi. Kebaikan selalu bersisian dengan kejahatan. Huh!

Kami memaksakan kaki kami terus melangkah. Menguatkan niat untuk sampai puncak. Sekitar satu kilometer berjalan, ada tujuh tenda berwarna kuning cerah berdiri di depan kami. Aku, Shinta, Sasha, dan Cencen harusnya satu tenda tetapi tidak ada tenda kosong. Semua sudah bertuan. Terisi grup kami yang sudah sampai duluan. Kita semua kan bayarnya sama, kenapa tidak adil begini. Shinta mulai marah-marah disambung aku yang marah-marah. Estafet marah-marah berhenti di Sasha.

“Sha, lu kan yang gak marah-marah. Sana tanyain si Seto apa Saga, kita tidur dimana.” Seenak jidat aku menyuruh Sasha, satu-satunya yang berkepala dingin. Cen-cen sudah dapat tenda terlebih dahulu. Satu tenda isinya empat orang. Posisi sekarang tersisa dua tenda yang belum penuh, termasuk tendanya Cen-cen. Dua-duanya kurang satu orang lagi sementara kami bertiga.

“Ada satu tenda yang isi lima orang sih, Mbak.” Rasanya aku ingin mencakar si pemimpin kelompok ini. Semua orang di tendah mendadak badanya menjadi berukuran XXL dan menolak untuk setenda berlima. Kurang ajar betul. Si pemimpin kelompok tiba-tiba sibuk memasak. Kalau sudah begini kami tidak boleh marah, kami harus cepat menemukan tenda yang mau berlima sebelum dingin malam semakin menjadi-jadi. Tuhan menjawab kadang dengan cara yang aneh. Teman satu tenda Cen-cen sakit, namanya Indah. Kami bertiga langsung ke tenda itu. Sasha satu-satunya yang berkepala dingin langsung menawarkan sweater dan sleeping bag nya. Aku dan Shinta menggelar ponco kami masing-masing untuk alas carrier kami sehingga sasha mudah membongkar carriernya. Semua orang yang tadi tiba-tiba mendadak gendut sekarang mendadak apatis. Tidak ada yang peduli kecuali kami bertiga dan si pemimpin kelompok yang tiba-tiba muncul kembali.

Indah akhirnya bisa tidur setelah minum teh dan sesendok sup krim hangat. Saatnya kami bertiga mengurusi diri sendiri. Indomie kuah tanpa kuah campur kornet dan abon sapi. Kami makan sepiring bertiga, makan dengan rakusnya tanpa sadar seandainya itu di Jakarta pasti makanan kami terlihat menjijikan dan rasanya amburadul. Tapi ini di gunung, semua makanan nikmat apa adanya. 

Pukul 6 pagi, tenda kami diselimuti kabut tebal
Meskipun tidak menikmati sunset, sunrise, dan harus melewati peristiwa menyebalkan semalam, kami memaksakan diri berlapang dada untuk mengucapkan syukur kami sehat dan aman naik ke atas dan turun ke bawa. Pelajaran kali ini, naik gunung dengan ikutan Open Trip memang enak, istilahnya tinggal bayar semua beres meskipun lebih mahal ketimbang jalan sendiri. Tapi kenyataanya akan selalu ada ketidakprofesionalan disana-sini karena rata-rata bisnis Open Trip dikelola anak muda yang baru mulai mencari pengalaman. Dan yang terpenting, kalau naik gunung memang lebih enak dengan orang yang sudah kenal, karena mereka tidak apatis dan mendadak menjadi gendut.     

Asteraceae yang tumbuh di sekeliling tenda kami
Turun melewati jalur Patak Banteng

Comments

Popular Posts