Untuk Dua Tahun yang Lalu
Petaka itu muncul ketika dosen pembimbingku meminta hal
ajaib. Sebenarnya sederhana, begini perintahnya : Kamu pergi ke LIPI Cibinong,
ambil data SEM* di sana. Kalimat perintah itu awalnya terdengar biasa saja,
sampai aku merasa mendadak pusing: bagaimana cara aku bisa ke sana? Tentu saja
kota ini sudah memiliki banyak sarana umum. Sebenarnya bisa saja aku ke sana
naik bus umum. Semua biasa saja kalau sampel yang akan diuji bukan bakteri.
Bakteri itu hidup dan harus tetap hidup sampai Cibinong. Pernah naik metromini
atau kopaja di siang bolong? Itu selalu mengingatkanku pada oven nenekku yang
terbuat dari kaleng besi. Bakteriku harus bertahan hidup tapi mereka akan mati
kepanasan di kopaja.
Aku berceloteh sambil sedikit memaki. Menceritakan itu semua
ke Pramana. Meskipun sibuk mengambil data untuk skripsinya sendiri, dia selalu
rela mendengarkan keluh kesahku. “Nanti saya antar kamu ke Cibinong.” Irit
kata, ini jenis Pramana yang sedang pusing. Mungkin saat itu kamu sedang pusing
dan ingin menyudahi saja celoteh panjangku. Aku pikir kamu hanya basa-basi. Dua
kali jadwal pengambilan data di Cibinong harus diundur karena ini dan itu. Kamu
kecewa mungkin, karena jadwal kamu sendiri jadi ikut berantakan. Sampai
akhirnya di suatu Selasa yang mendung, jam 10 pagi kita bertemu di kampus
bersiap ke Cibinong. “Mobil saya rusak. Gak
akan kuat sampai Cibinong.” Kontan aku kaget mempertanyakan nasib
bakteri-bakteriku. “Tapi saya pinjam mobil Mami.” Kali ini aku lebih kaget
mempertanyakan nasib Mami kamu. “Mami naik taksi ke kantor. Tadi saya antar
sampai ke jalan raya.” Belum juga jadi menantu, kenapa bisa-bisanya aku membuat
pagi sang Mami menjadi muram.
Jalanan padat, penuh angkot warna-warni. Debu bercampur
tanah kering pasrah tertiup angin. Sekumpulan anak punk bernyanyi entah lagu
apa di pinggir jendela mobil. Semuanya indah ditambah kamu yang duduk di
sebelahku. Kamu tersenyum kecut, mukamu selalu merah setiap aku memandangimu
seperti ini. “Kenapa?” tanyamu malu-malu. Kenapa alasan harus dilontarkan, jika
semuanya sudah menjadi jelas?
Pengambilan data tidak selama yang aku duga, hanya memakan
waktu sekitar 1,5 jam. Ingatkah kamu, dulu aku memintamu untuk pulang? Aku
tidak mau memberatkan siapa pun terlebih kamu. Kamu berkeras duduk diam
menungguiku sampai selesai. Pukul 3 sore, data sudah ada di tangan. Dosenku
sudah ribut menanyakan hasil, menyuruhku cepat-cepat kembali ke kampus. Dosen
seketika menjadi nomor dua ketika kamu sedang bersama orang yang kamu sayangi.
Orang yang kamu sayangi sedang kelaparan. Dosenmu sedang gusar menunggu hasil
yang kalau bisa sesuai espektasi. Maafkan saya Bapak dan Ibu pembimbing, saya
lebih memilih dia dibanding Bapak dan Ibu sekalian.
Kami menemukan mall kecil di tak jauh dari situ. Sepi
pengunjung, mungking karena hari biasa atau mungkin karena memang mall ini
tidak laku. Di lantai 3 ada tempat makan dengan nama es teler sebagai simbol menu
andalan mereka. Aku tidak makan. Kamu makan dua porsi. Mungkin ini yang membuat
kita selalu terlihat seperti Oom-oom yang sedang menggauli anak SMP.
“Saya bukan tipikal orang yang selalu menanyakan kabar kamu.
Tidak sering juga menanyakan kamu sudah makan atau belum. Tapi saya ingin kamu
tahu, saya peduli.” Terlalu berat untuk topic pembicaraan makan siang. Kamu selalu
serius dan berbicara seperti guru Bahasa Indonesia. “Pramana, saya tahu kamu
peduli. Kalau tidak, bagaimana mungkin kita berdua bisa ada disini dengan mobil
Mami kamu.” Aku seperti berselimut hormon endorphin*. “Saya mau kamu jelas
saja.” Aku tertawa tidak tahan melihat mimik serius kamu. “Pram, kenapa kamu
selalu menjelaskan hal yang sudah jelas?” Lagi-lagi mukamu memerah. Ah, lucu
sekali.
Sampai aku menulis cerita ini, aku masih berharap kamu mau
menjelaskan hal-hal yang sudah jelas sekali pun. Tiba-tiba aku rindu sikap
serius sekaligus sikap kikukmu. Aku adalah orang yang paling berbahagia. Karena
dengan kamu, aku tahu arti menyayangi seseorang sebesar menyayangi diri kita
sendiri. Tetapi aku juga menjadi orang paling bersedih karena sampai saat ini
aku belum bisa menghormati pilihanmu.
Comments
Post a Comment