1 + 1 = 0
"Apa jadinya jika dunia sudah membuat keputusan: satu tambah satu sama
dengan nol?" Pertanyaan itu begitu melankolisnya keluar dari bibirku. Dahimu
berkerut, matamu masih focus menatap ke depan. Lama kamu tidak berkomentar
hingga membuat ruang waktu begitu lengang.
“Kamu adalah orang yang paling tidak saya mengerti,” bibirmu berkata lembut. Mungkin kamu tidak sadar, kamu mengeratkan cengkramanmu di kemudi. Aku tahu kamu lelah, kita berdua lelah.
“Kamu adalah orang yang paling tidak saya mengerti,” bibirmu berkata lembut. Mungkin kamu tidak sadar, kamu mengeratkan cengkramanmu di kemudi. Aku tahu kamu lelah, kita berdua lelah.
Ufuk barat sudah mulai menjingga. Jalanan perlahan berubah menjadi sepi.
Kamu berbelok ke kiri dua kali lalu ke kanan. Aku selalu kangen berada di
jalanan ini, tidak terlalu luas dan sepi tapi entah kenapa aku selalu merasa
pulang.
“Ayo turun.” Kamu menepikan mobil dan bergegas mematikan mesin. Sehalus angin kamu mengecup keningku cepat. Kamu tidak pernah tahu nafasku tinggal satu-satu setiap kamu menatapku seperti ini. Jutaan sel dalam tubuhku meledak bersama.
“Ayo turun.” Kamu menepikan mobil dan bergegas mematikan mesin. Sehalus angin kamu mengecup keningku cepat. Kamu tidak pernah tahu nafasku tinggal satu-satu setiap kamu menatapku seperti ini. Jutaan sel dalam tubuhku meledak bersama.
Tidak lebih dari tiga menit, wanita paruh baya itu muncul. Ia menyambut
kami dengan hangat. Ia selalu mencium keningku dahulu lalu pipi kiri lalu pipi
kanan. Seperti sebuah sistematika yang tidak bisa dilanggar. Kamu membuka
tanganmu lebar sambil berucap, “Mami!” Wanita itu lama memelukmu. Ia tidak
peduli tangannya yang pegal memelukmu. Ia begitu mencintai anak yang sekarang semata
wayang itu. Senyum tipisnya menutup lepas kangen senja ini.
Dapur wanita itu masih berantakan. Kulit kentang dan sisa irisan cabe
masih terlihat satu meja dengan bakso dan berbagai macam buah. “Saya bantu ya,
Bu.” Aku lebih senang memanggilnya Ibu ketimbang Mami. Rasanya lidahku tidak
cukup barat untuk terbiasa menyebut kata Mami. Mami tentu saja tidak keberatan,
wanita itu begitu penuh pengertian. Andaikan lebah berhenti menyeburki bunga,
aku rasa dia akan mampu mengerti.
“Adek, mau berangkat jam berapa? Jangan terlalu malam,” Mami masih kuat
bersuara keras. Kamu hanya sempat meminum segelas air putih lalu keluar. “Botol
minum kamu , Dek, jangan lupa,” seperti seorang ibu yang menghantar anaknya mau
pergi ke sekolah. Aku dan Mami mengikuti kamu sampai teras rumah. Menatap
punggungmu seperti ini, selalu membuatku merasa sedih. Seperti kamu akan pergi
dan tidak bisa menoleh ke belakang lagi. “Kamu di rumah dulu ya sama Mami,”
untungnya kali ini kamu masih menoleh. “Mam, berangkat ya!” sedan hitam itu
meluncur cepat tidak sabar sampai tempat tujuan.
“Mami selalu ingin kamu bisa temenin Mami di sini, di rumah ini, sampai
Mami mati.” Aku dan Mami sudah sibuk kembali menyiapkan makan malam di dapur.
“Kalau Ibu kangen saya, nantinya Ibu bisa telpon saya. Atau mungkin satu dua kali saya akan main ke sini,” aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri. Satu minggu ini terasa begitu berat, semua orang sibuk menyiapkan pesta pernikahan. Meskipun hanya perayaan sederhana. Rencananya hanya akan ada keluarga dan teman dekat saja.
“Kalau Ibu kangen saya, nantinya Ibu bisa telpon saya. Atau mungkin satu dua kali saya akan main ke sini,” aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri. Satu minggu ini terasa begitu berat, semua orang sibuk menyiapkan pesta pernikahan. Meskipun hanya perayaan sederhana. Rencananya hanya akan ada keluarga dan teman dekat saja.
“Ibu, kenapa perempuan selalu kembali ke laki-laki yang sama meskipun
hatinya sudah dipatahkan?” “Karena hatimu sudah patah.” Cepat dan tepat Ibu menjawab pertanyaanku.
“Jadi karena saya sudah tidak punya hati? Bukan karena saya sudah tidak
punya otak?”
Jeda cukup lama. Mungkin sulit bagi Mami untuk membuat kalimat. “Karena
hatimu sudah sakit, dia tidak mampu menjadi lebih sakit lagi.” Hanya ada suara
pisau yag beradu dengan papan alas pemotong.
“Mami tahu kamu lebih mencintai Adek.” Aku menatap matanya lama. Sepasang mata teduh yang sepertinya sudah hafal cara menghadapi dunia.
“Ibu, kita tidak pernah tahu persis perasaan orang. Bisa saja Ibu keliru.”
“Mami tahu kamu lebih mencintai Adek.” Aku menatap matanya lama. Sepasang mata teduh yang sepertinya sudah hafal cara menghadapi dunia.
“Ibu, kita tidak pernah tahu persis perasaan orang. Bisa saja Ibu keliru.”
Tiga jam lamanya, makanan sudah menjadi dingin. Dingin udara juga semakin
menjadi-jadi. “Bu, sayurnya saya hangatkan lagi ya.” Baru saja kompor menyala,
deru mobilmu sudah terdengar. Mami bergegas keluar, menyambut anaknya. Lagi. Kedua
kalinya di hari yang sama. Aku tidak beranjak. Dapur lebih menyenangkan
ketimbang teras rumah karena di teras mereka sudah bertiga. Tanpa ada aku.
Samar aku bisa melihat Mami mencium pipi kiri lalu pipi kanan perempuan cantik
itu, tanpa mencium kening. Sistematika yang tidak sama. Kata orang ketika
seseorang mencium keningmu itu pertanda ia sungguh mencintaimu. Kami makan
berempat. Perempuan itu begitu cantik dan mengasyikan. Semua macam topic berhasil
ia kuasi. Cum laude lulusan perguruan tinggi negri. Taat agama, tidak pernah menegak minuman keras, tidak berhura-hura di club. Siapa yang tidak terpesona. Perempuan itu terlalu sempurna untuk
eksistensinya.
Mami dan aku mencuci piring. Kamu masih sibuk mengobrol dengan perempuan
itu. Aku berkeras menahan aliran air mata. Rasanya leherku sakit seperti disumpal kawat berduri. Aku diam hingga
dapur dan meja makan selesai dibereskan.
“Saya pamit, Ibu.” Mami memeluku dan air mataku jatuh. Aku tidak sadar butuh waktu berapa lama hingga tangisanku pecah. Mami menepuki lembut punggungku dan menciumi keningku. Kamu menoleh dan tersenyum. Aku tahu, kamu berpikir aku hanya sedang melankolis, tidak lebih dari itu. Tapi Mami tahu, aku tidak akan kembali lagi ke rumah ini. Tepat saat itu taksi yang kupesan datang.
“Saya pamit, Ibu.” Mami memeluku dan air mataku jatuh. Aku tidak sadar butuh waktu berapa lama hingga tangisanku pecah. Mami menepuki lembut punggungku dan menciumi keningku. Kamu menoleh dan tersenyum. Aku tahu, kamu berpikir aku hanya sedang melankolis, tidak lebih dari itu. Tapi Mami tahu, aku tidak akan kembali lagi ke rumah ini. Tepat saat itu taksi yang kupesan datang.
“Siapa yang pesan taksi?” Kamu bingung dan mulai menyadari keadaan.
“Gak mungkin kan saya nginep di sini?” aku mencoba merubah keadaan menjadi menyenangkan, tapi gagal.
“Loh ya nanti kan bisa saya antar.”
“Udah malam. Lagi pula saya udah terlanjur pesan taksi.” Aku datang kepadamu seorang diri. Dan dengan seorang diri pula aku ingin pergi, dalam hati aku menambahkan.
“Saya memberi berkat untuk pernikahan kalian berdua minggu depan.” Senyum ini adalah senyum paling tulus untuk kamu dan perempuan itu.
“Gak mungkin kan saya nginep di sini?” aku mencoba merubah keadaan menjadi menyenangkan, tapi gagal.
“Loh ya nanti kan bisa saya antar.”
“Udah malam. Lagi pula saya udah terlanjur pesan taksi.” Aku datang kepadamu seorang diri. Dan dengan seorang diri pula aku ingin pergi, dalam hati aku menambahkan.
“Saya memberi berkat untuk pernikahan kalian berdua minggu depan.” Senyum ini adalah senyum paling tulus untuk kamu dan perempuan itu.
Kalau satu tambah satu sama dengan
nol, apakah kamu akan peduli?
Aku mengirimkan pesan singkat ke kamu. Pesan yang tidak pernah kamu balas
sampai sekarang. Di matamu, aku hanyalah sepasang sepatu tua yang kamu pakai hanya saat kamu
lelah. Aku tidak cukup baik untuk bisa tampil di depan orang banyak. Mungkin kamu
akan menjawab pertanyaanku, suatu waktu nanti saat kamu lelah.
Comments
Post a Comment