Selesai (Titik)

Minggu 9 Februari 2025

Begitu banyak jeda panjang. Aku sungguh tidak tahan dengan kosong yang berkepanjangan. 

"Taksi saya sudah menunggu di depan. Ada yang ingin kamu bicarakan lagi?" aku mencoba memecah keheningan.
Kamu. Kamu hanya melihat mataku sekilas lalu menunduk.
Kamu memilih diam kembali. 
"Kalau begitu saya pamit. Saya gak tau kapan bisa ketemu kamu lagi. Saya berangkat besok malam." Setelah menghela nafas panjang, aku bergegas berdiri mengambil tas dan jaketku.
 
Aku berjalan menuju pintu kedai dengan perlahan. Aku berharap kamu menahanku. 
Pelayan kedai membukakan pintu untukku. Aku menoleh kepadanya sembari mengangguk, berterima kasih. Sekilas aku menengok ke tempat duduk kita. Kamu masih duduk diam membatu. 
Air mataku mulai menggenang, turun satu persatu membasahi pipiku. Aku tidak pernah berpikir semua akan selesai secepat ini. Bukankah ini namanya selesai sebelum dimulai? Memangnya bisa ya seperti itu? 

***

Sabtu 18 Januari 2025

"Gila kamu bisa-bisanya ngomong kayak gitu?" hardikku keras. 

"Maksud kamu apa sih? Sesampah itu saya?" aku benar-benar jengkel seperti tidak memberi kesempatan ke kamu untuk menyela. 

"Kamu dengerin aku dulu dong. Gak bisa langsung marah-marah gitu." kamu protes sembari berusaha mengejarku. 

"Mau jelasin apa? Itu yang kamu tadi omongin ke anak-anak? Saya gak tuli, saya dengar semuanya. Semuanya. Setiap kalimat dan setiap jeda. Gila kamu." Aku menunjuk tepat di muka kamu. Mungkin muka aku sudah semerah tomat ranum. 

"Maksud kamu apa bilang saya ngejar-ngejar kamu? Astaga umur berapa sih kamu?" Aku menjambak rambutku sendiri. Frustasi adalah kata yang tepat menjabarkan keadaanku saat ini.

"Denger baik-baik ya. Di mata saya kalian semua sama. Apa yang saya lakukan ke kamu, saya lakukan juga ke yang lain. Whatsapp nanya kabar, telpon berjam-jam untuk mengobrol, ngajak makan siang pas weekend. Semua itu saya lakukan juga ke yang lain. Paham kamu?" Air mataku menetes. Dadaku terasa mau meledak.  

"Kamu gak tau rasanya ketika sisa umur kamu sudah diprediksi dokter. Kamu gak tau dan gak akan pernah paham. Salah saya baik ke kamu selama ini." Aku membanting pintu ruang tamu. 

Aku menangis tersedu-sedu di toilet umum. Aku merasa mengulang kebodohan yang sama. 
Sejatinya manusia itu berbuat baik harus tetap sesuai porsinya. Tidak perlu berbuat baik kepada orang brengs*k seperti kamu. Semenjak hari itu aku berjanji pada diriku sendiri, sudah selesai semuanya. Kedekatan kita selama ini aku anggap sebagai bonus dari perkenalan kita. 

Comments

Popular Posts