End in Smoke
Aku merasa bersedih sahabatku hilang. Sahabatku memudar sampai lama-lama hilang. Aku ingat betul saat ia begitu bersedih karena diputus tunanganya. Saat itu sahabatku masih utuh, masih menjadi dirinya sebagaimana selama ini aku mengenalnya.
Sahabatku ini orang yang paling aku kagumi. Paling aku andalkan. Berkali aku putus cinta, dia selalu menghibur. Bersedia menjadi supir kemanapun aku mau pergi, sementara aku hanya bisa diam terisak duduk di bangku penumpang. Sahabatku hanya terus sabar menyetir sambil sesekali melirikku. Mungkin mengecek apa aku sudah berhenti menangis atau belum. Sahabatku ini tidak pernah ragu untuk keputusan yang dia ambil. Dia selalu tahu kemana kakinya harus melangkah. Itulah sebabnya aku selalu berkiblat padanya.
Aku ingat betul ketika aku menerima rejection letter dari salah satu kampus favoritku, dia menyodorkan laptonya, menunjukan begitu banyak kampus di luar sana yang menawarkan program serupa bahkan lebih menarik. Sahabatku ini jenis manusia yang tidak pernah membiarkanku berhenti bermimpi.
Sialnya kemarin siang aku baru menemukan fakta, sahabatku menjalin hubungan dengan istri orang. Perempuan sundal itu ada di luar kota. Hanya itu penjelasanya.
"Oh ternyata itu toh sebabnya" gumamku siang itu.
Ternyata itu alasan dia tidak pernah bisa dihubungi setiap akhir pekan sebulan terakhir. Tiba-tiba aku merasa jengkel luar biasa. Kecemasanku selama ini sungguh sia-sia.
Seratus persen aku paham dia adalah manusia dewasa yang bebas mengambil keputusan. Maka aku tidak mengganggu gugat keputusanya. Aku tidak memberi judgement apapun. Aku pun enggan sekadar memberi komentar. Jauh, jauh di dalam hatiku aku begitu bersedih. Seperti sekumpulan rasa kecewa menyuruh mulutku untuk diam. Kalau ditanya apakah ingin memaki, iya aku ingin sekali memaki sampai dia sadar. Tapi mungkin ya dia sudah sepenuhnya sadar melakukan ini.
"Segala bentuk perselingkuhan, saya jijik. Jijik sekali." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Begitulah mulutku. Tajam setiap kali aku marah. Makanya aku berusaha diam saja dari awal sahabatku bercerita. Dia diam lalu pergi. Kalau ini khasnya sahabatku. Memilih pergi setiap kali dia marah.
Sampai hari ini aku menarik diri. Banyak sekali kejengkelan yang ingin aku utarakan ke dia, tapi kupikir ah nanti saja. Mungkin dia sedang sibuk juga dengan "kegiatan" barunya. Percayalah aku jauh dari kata cemburu. Aku bukan orang istimewa yang harus dia luangkan waktu atau tenaga. Tapi aku sungguh bersedih kalau-kalau waktunya tak lagi luang karena perempuan sundal itu.
Banyak orang bilang, mungkin kamu hanya takut kesepian. Iya betul dan aku rasa itu hal wajar sebagai manusia.
Sahabatku sudah tidak lagi menjadi dirinya. Aku kehilangan sahabatku. Aku sudah kesepian untuk hal yang sia-sia.
Sahabatku ini orang yang paling aku kagumi. Paling aku andalkan. Berkali aku putus cinta, dia selalu menghibur. Bersedia menjadi supir kemanapun aku mau pergi, sementara aku hanya bisa diam terisak duduk di bangku penumpang. Sahabatku hanya terus sabar menyetir sambil sesekali melirikku. Mungkin mengecek apa aku sudah berhenti menangis atau belum. Sahabatku ini tidak pernah ragu untuk keputusan yang dia ambil. Dia selalu tahu kemana kakinya harus melangkah. Itulah sebabnya aku selalu berkiblat padanya.
Aku ingat betul ketika aku menerima rejection letter dari salah satu kampus favoritku, dia menyodorkan laptonya, menunjukan begitu banyak kampus di luar sana yang menawarkan program serupa bahkan lebih menarik. Sahabatku ini jenis manusia yang tidak pernah membiarkanku berhenti bermimpi.
Sialnya kemarin siang aku baru menemukan fakta, sahabatku menjalin hubungan dengan istri orang. Perempuan sundal itu ada di luar kota. Hanya itu penjelasanya.
"Oh ternyata itu toh sebabnya" gumamku siang itu.
Ternyata itu alasan dia tidak pernah bisa dihubungi setiap akhir pekan sebulan terakhir. Tiba-tiba aku merasa jengkel luar biasa. Kecemasanku selama ini sungguh sia-sia.
Seratus persen aku paham dia adalah manusia dewasa yang bebas mengambil keputusan. Maka aku tidak mengganggu gugat keputusanya. Aku tidak memberi judgement apapun. Aku pun enggan sekadar memberi komentar. Jauh, jauh di dalam hatiku aku begitu bersedih. Seperti sekumpulan rasa kecewa menyuruh mulutku untuk diam. Kalau ditanya apakah ingin memaki, iya aku ingin sekali memaki sampai dia sadar. Tapi mungkin ya dia sudah sepenuhnya sadar melakukan ini.
"Segala bentuk perselingkuhan, saya jijik. Jijik sekali." Hanya itu yang keluar dari mulutku.
Begitulah mulutku. Tajam setiap kali aku marah. Makanya aku berusaha diam saja dari awal sahabatku bercerita. Dia diam lalu pergi. Kalau ini khasnya sahabatku. Memilih pergi setiap kali dia marah.
Sampai hari ini aku menarik diri. Banyak sekali kejengkelan yang ingin aku utarakan ke dia, tapi kupikir ah nanti saja. Mungkin dia sedang sibuk juga dengan "kegiatan" barunya. Percayalah aku jauh dari kata cemburu. Aku bukan orang istimewa yang harus dia luangkan waktu atau tenaga. Tapi aku sungguh bersedih kalau-kalau waktunya tak lagi luang karena perempuan sundal itu.
Banyak orang bilang, mungkin kamu hanya takut kesepian. Iya betul dan aku rasa itu hal wajar sebagai manusia.
Sahabatku sudah tidak lagi menjadi dirinya. Aku kehilangan sahabatku. Aku sudah kesepian untuk hal yang sia-sia.
Comments
Post a Comment