Serendipity

Temaran lampu jalanan, mengingatkan Jani pada koridor sekolahnya dulu saat kanak-kanak. Koridor yang tidak kaya akan penerangan di malam hari. Udara begitu kering, angin satu-satu menerpa rambutnya. Jani membuka kotak memorinya saat dia masih mengenakan seragam putih merah.

***
Pagi betul, sekitar pukul lima mereka disuruh berkumpul di aula sekolah. Jani berjalan menuju aula, melintas koridor yang hanya berlampu kuning di ujung-ujung.

Hari itu anak-anak kelas 4 akan berkemah di luar kota. Aula yang biasana lengang kini sudah hingar bingar, penuh tawa dan gurauan dari anak-anak berbaju pramuka.

Jani duduk meringkuk. Dia tidak enak badan, badanya mulai menggigil. Jani teringat ibunya sudah mencoba melarangnya untuk berangkat, tapi Jani tidak rela kehilangan momen baru bersama teman-temanya. Apa yang lebih mengasyikan dari berkemah sambil memasak bersama? Acara yang sudah ia tunggu-tunggu dari sebulan lalu.

Beberapa teman Jani sudah menawarkan memberitahu guru. Tapi Jani dengan keras menolak.
"Jangan laporin bu guru, nanti aku gak boleh ikut." pada dasarnya Jani memang keras kepala.

Jani duduk diam. Dia tidak mau banyak gerak karena hanya menambah sakit badanya.
"Eh kamu lagi sakit ya?" Jani menoleh, menyadari ada seoarang anak laki-laki disampingnya.
"Iya. Tapi jangan bilang bu guru!" perinta Jani serta merta.
"Oke." anak itu hanya duduk di sebelahnya. Tidak bergeming. Dia anak laki-laki bertubuh gempal. Rabutnya cepak lurus-lurus ke atas seperti buah rambutan. Pipinya tembam kemerahan menimbulkan kesan menggemaskan.
"Kamu kelas berapa ya? Ko ga pernah lihat?" Jani mulai penasaran.
"Oh kelas 4B. Namaku Marius. Hari ini hari pertama aku sekolah disini."
"Oh kamu anak baru. Aku Jani."
Tanpa canggung, mereka sudah menjadi begitu akrab. Di bus mereka memilih duduk sebangku. Mereka berbicara apa saja sampai-sampai Jani lupa dia sakit.

"Aku takut sebenernya pindah ke kota baru kayak gini."
"Oh ya? Tapi kamu gak keliatan takut ah."
"Ya kan aku simpan dalam hati aja. Malu tau anak cowok masa cengeng."
Refleks, Jani memeluk Marius yang membuat seisi bus riuh meledek mereka berdua.
Keduanya kini tersipu malu. Jani hanya bermaksud menenangkan hati sahabat barunya. Tidak menyanggka justru mereka berdua kini jadi pusat perhatian.

***

Jani tersenyum tipis mengingat teman kecilnya. Persahabatan mereka bisa dibilang seumur jagung. Tepat saat mereka beranjak SMP, Marius harus pindah ke luar negri, mengikuti ayahnya yang memang sering dipindah-tugaskan.

Baru sebulan ini mereka berdua kembali menjalin komunikasi, tepatnya ketika Jani mengetahui dirinya akan segera pindah ke kota kediaman Marius saat ini.
Dimulai dari sapaan apa kabar, hingga akhirnya mereka bisa leluasa bercerita apapun.

Marius, aku sekarang baru tahu bagaimana rasanya akan pindah ke tempat baru. Tempat yang sama sekali asing. Rasa takut yang sekaligus bergairah. Rasanya seperti jantungmu berdegub ke arah dalam dan seperti ada seribu kupu-kupu terbang di dalam perutmu.

I can't wait to see you here, Missy.
Peasn singkat masuk ke ponsel Jani. Ia tersenyum melihat siapa pengirimnya. Marius.

Soon! Tinggal dua minggu lagi saya sudah terbang kesana.
Cepat jari Jani mengetik balasan.

Ah itu lama. Saya gak sabar lihat kamu menjadi orang asing di kota ini, haha.

Jani akan melanjutkan studinya di kota tempat tinggal Marius. Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Kota yang beratus-ratus mil jauhnya dari kotanya sekarang. Kota tempat dia punya harapan untuk menyusun kembali hidupnya. Jani begitu canggung membayangkan dirinya harus begitu jauh dengan keluarganya.

I'm bit nervous. Hidup di negara orang dengan semua orang asing.

Missy, everythings gonna be ok. Tidakkah kamu bersyukur punya kesempatan belajar di negara orang dengan cuma-cuma? You're a damn lucky girl! :))

Jani memejamkan mata, berusaha mengatasi rasa panik yang kadang berelebihan. Jani merengkuh dirinya dalam diam. Bergegas ia memperpecat langkahnya. Hari sudah mulai gelap, banyak sekali dokumen keberangkatan yang masih harus diurus.






Comments

Popular Posts