Matahari
Pagi ini keadaan terasa gamang. Jani memaksakan dirinya tertidur lagi, tapi otaknya memberontak. Berdebat dengan kepala sendiri selalu menjadi hal yang menyebalkan. Jam masih menunjukan pukul 4 subuh, terdengar suara televisi di ruang depan dinyalakan. Oh ternyata ada juga yang sudah terbangun. Jani keluar kamar, ternyata ibu kosanya. Jani selalu bingung dengan ibu kosan yang selalu menonton tv dengan jarak hanya 10 cm, seolah ibu kosanya mencium tivi.
Jani akhirnya ikut menonton. Baru lima menit Jani sudah kesal sendiri, pasalnya layar tv tertutup sempurna dengan kepala si ibu kosan. Belum lagi bau amis ikan mati tercium begitu menyengat. Ah kenapa sudah dua hari akuarium itu tidak dibersihkan. Jani membatin kesal. Akuarium yg seharusnya terlihat cantik, sekarang airnya sudah mengalahkan es cendol. Kasihan ikan-ikan itu, disaat-saat terakhir hidup mereka mungkin mereka menyesal harus mati sedih di akuarium yang lebih mirip bak penampungan limbah.
Akhirnya Jani masuk lagi ke kamar. Sunyi. Dia merebahkan diri di kasur dan mulai masuk ke dunianya sendiri. Dia mendapati dirinya lelah. Menjadi bayangan orang lain memang selalu melelahkan. Jani tahu Langit selalu membayangkan orang lain setiap kali mereka berinteraksi. Dan entah kenapa, Jani selalu menjalani peranya itu setiap hari. Dirinya sadar dia bukan pemeran utama, dia hanya cameo yang kebetulan diberi banyak dialog oleh sang sutradara. Akan ada waktunya si pemeran utama wanita akan naik panggung, dan semua mata akan tertuju pada dia tentu saja termasuk si pemeran utama pria. Seolah semua lupa akan eksistensi si cameo canggung tadi. Tapi toh pentas ini tidak akan pernah naik panggung jika hanya ada dua pemeran utam bukan? Harus ada yang dikorbankan menjadi pemeran pembantu.
Hari sudah beranjak terang. Jani sadar satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa bersemangat hanya dengan cara pergi ke kantor dan bekerja. Pagi ini langit cerah tidak ada pelangi, hanya ada matahari. Begitu pula dalam hidup Langit, baginya Jani hanya pelangi yang datang dengan sejuta warna. Jani bukanlah matahari yang perlu dikejar sebagai tujuan hidup.
Jani akhirnya ikut menonton. Baru lima menit Jani sudah kesal sendiri, pasalnya layar tv tertutup sempurna dengan kepala si ibu kosan. Belum lagi bau amis ikan mati tercium begitu menyengat. Ah kenapa sudah dua hari akuarium itu tidak dibersihkan. Jani membatin kesal. Akuarium yg seharusnya terlihat cantik, sekarang airnya sudah mengalahkan es cendol. Kasihan ikan-ikan itu, disaat-saat terakhir hidup mereka mungkin mereka menyesal harus mati sedih di akuarium yang lebih mirip bak penampungan limbah.
Akhirnya Jani masuk lagi ke kamar. Sunyi. Dia merebahkan diri di kasur dan mulai masuk ke dunianya sendiri. Dia mendapati dirinya lelah. Menjadi bayangan orang lain memang selalu melelahkan. Jani tahu Langit selalu membayangkan orang lain setiap kali mereka berinteraksi. Dan entah kenapa, Jani selalu menjalani peranya itu setiap hari. Dirinya sadar dia bukan pemeran utama, dia hanya cameo yang kebetulan diberi banyak dialog oleh sang sutradara. Akan ada waktunya si pemeran utama wanita akan naik panggung, dan semua mata akan tertuju pada dia tentu saja termasuk si pemeran utama pria. Seolah semua lupa akan eksistensi si cameo canggung tadi. Tapi toh pentas ini tidak akan pernah naik panggung jika hanya ada dua pemeran utam bukan? Harus ada yang dikorbankan menjadi pemeran pembantu.
Hari sudah beranjak terang. Jani sadar satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa bersemangat hanya dengan cara pergi ke kantor dan bekerja. Pagi ini langit cerah tidak ada pelangi, hanya ada matahari. Begitu pula dalam hidup Langit, baginya Jani hanya pelangi yang datang dengan sejuta warna. Jani bukanlah matahari yang perlu dikejar sebagai tujuan hidup.
Comments
Post a Comment