Sekisah Cerita dari Tanah Timah

Awan hitam menggantung di langit. Angin mulai keras berhembus, memainkan rambut ikalku. Nampaknya, hujan akan segera turun. Benar saja, hujan turun satu persatu lama kelamaan deras. Akhirnya aku mengurungkan niat untuk berenang di perairan pulau ini dan memilih berteduh di bawah pepohon yang tidak rindang juga. Ditemani dua awak kapal sewaan kami, saya pun mengobrol sambil menunggu hujan reda.

Rokok mulai dibakar, percakapan pun mulai mencair.

"Wah pasti senang ya pak tinggal di pulau seperti ini. Bisa renang kapanpun kita mau." aku membayangkan jika sore hariku selalu habis untuk berenang di pesisir. Pasti mengasyikan.

"Saya gak pernah suka melaut sebenarnya. Tapi ya apa boleh buat, sudah punya anak sekarang, mau tak mau harus punya pekerjaan tetap." Bapak ini berbicara sambil menerawang. Terlihat pikiranya mulai mengembara ke tempat dan waktu lain.

"Loh memang dulu Bapak kerja apa?" aku mulai penasaran dengan kisah si Bapak.

Ternyata Bapak ini dulunya penambang timah ilegal. Di pulau yang tanahnya sedang kuinjak ini, ternyata terbukur bermiliar butiran timah. Butiran kehitaman yang tidak aku sadari bercampur kontras  dengan putihnya pasir tanah Belitong. Cara memisahkan timah dengan pasir mudah saja, cukup diayak karena pasir yang sehalus debu ini akan sendirinya menyingkir, menyisakan butir-butir timah.

"Dikejar polisi seperti makanan sehari-hari." si Bapak masih menerawang, mengingat kisah masa mudanya dulu.

Masih banyak pemuda di sana yang menjadi penambang ilegal. Ah ini komedi, mereka bahkan hanya ingin mencicipi nikmat dari tanah mereka sendiri. Tanah yang aku yakin sungguh mereka kasihi. Tapi sayang, hukum tentunya memihak yang berduit. Aku menanyakan sebenarnya bagaimana kondisi penambangan di Belitong, apakah sudah dilarang sama sekali atau boleh tapi hanya oleh pemerintah. Si Bapak hanya melengos, "Uang akan selalu menang."

"Kamu lihat di pulau itu ada pemukiman, " si Bapak menunjuk rumah-rumah berderet di sebrang laut sana. "Mereka itu mata-mata. Mereka dibayar untuk mengawasi pulau ini. Dari sebrang akan nampak cahaya setiap kali senter di kepala kami menyala." Bapak ini dan teman-temanya kerap menambang saat malam hari, untuk memperkecil resiko tertangkap tentunya. Mau tak mau mereka hanya mengandalkan penerangan dari headlamp, senter di kepala. Tidak bisa memakai mesin penggali karena hanya akan menimbulkan suara gaduh. Ya, mereka menggali dengan cara lama, cara yang mengandalkan otot manusia.

"Bapak jual kemana timah-timah itu?" teman seperjalananku ganti bertanya.
"Ah sudah ada orangnya itu. Tinggal jual ke dia saja." bicara Bapak ini langsung berhenti, seakan ingin merahasiakan siapa si penadah timah ini. Aku pun ikut diam, pertanyaanku selesai. Suasana canggung terselamatkan oleh teriakan temanku yang mengajak makan siang di kapal.

Gerimis siang itu tinggal sisa-sisa. Kapal kami bergerak menjauhi pulau. Samar-samar aku melihat plang peringatan yang tertancap di pasir pulau itu : Dilarang menambang di sini!

Comments

Popular Posts