Tomohon, Surga di Bagian Utara Indonesia

"Ces, sudah di muka Excelso ini. Lo dimana?" suara lantang temanku Omega melalui telpon, saat menjemput kami di bandara Sam Ratulangi.
"Hah mukanye sape, Om?" tanyaku sambil terbahak. Omega ikut tertawa, tidak sadar bahasa Indonesianya tercampur bahasa Manado.
Ya, tiga hari kedepan saya akan menghabiskan waktu di tanah Minahasa ini.

***

"Lebih baik bodo belajar dibanding bodo makan," Aku pun terbahak mendengar ucapan Viola, teman perjalanan saat di Manado yang memang asli orang sana.

Begitulah cara dia menggambarkan orang Manado yang mulutnya tidak pernah berhenti menguyah. Tidak heran, masakan khas sana memang enak-enak. Sebut saja bubur Tintuan sebagai sarapan kami pagi itu. Bubur yang merupakan campuran sayuran, labu kuning, ubi, dan saya tidak tahu lagi. Tinutuan saya lahap habis bersama Nike goreng (nike adalah nama ikan yang kebetulan saja mirip brand sepatu olahraga).  Tidak ketinggalan bakwan jagung khas Manado yang entah kenapa rasanya enak sekali.
Bubur Tinutuan.
Labu yang dominan membuat warna kuah menjadi terlihat orange.
Tintuan yang disantap dengan NIKE goreng.
Ya nama ikan ini sama dengan nama brand sepatu

"Kalau di Jawa, adonan bakwan diblender, to? Kalau disini tidak, masih kasar-kasar langsung di goreng." Viola mencoba menjelaskan perbedaan bakwan Jawa dan bakwan Manado.

Tidak tanggung-tanggung, kami juga memesan Pisang Putus-Putus dan Pisang Goroho. Pisang putus-putus seperti layaknya pisang goreng tapi tidak terlalu manis. Pisang Goroho sendiri adalah keripik pisang. Yang membuatnya unik, pisang ini biasa disantap dengan sambal Roa. Entah rasanya kurang pas di lidah saya, saya pun hanya menyantap pisang tanpa sambal.
Pisang putus-putus yang disantap dengan sambal Roa

Pisang Goroho, keripik pisang yang gurih

Setelah kenyang, kami pun melanjutkan perjalanan ke Tomohon. Bukit Doa, Danau Linow, dan Patung Yesus Memberkati.

"Wah Kapelnya cantik banget. Bagus ya buat nikahan disini." mata saya puas memandang hijau taman di sekeliling Kapel. Belum lagi Puncak Gunung Lokon yang terlihat jelas dari taman.
"Ya, tempat ini juga sering jadi tempat foto pre-wedding." jelas Viola, tour guide dadakan kami.

Dari parkiran mobil, kami disambut dengan jalanan tanah berbatu dengan pohon pinus di kiri dan kanan. Selain ke arah Kapel, kita juga bisa jalan ke kantin, Goa Maria, dan auditorium terbuka. Bagi umat Katolik, tersedia pula jalan salib yang dimulai dari pintu masuk bawah. Jadi, ada dua tempat parkiran mobil, pintu atas yang langsung menuju Kapel, dan pintu bawah tempat pemberhentian pertama jalan salib.
Jalan Masuk
Kapel yang begitu cantik.
Sayang Kabut tebal menutupi puncak Gunung Lokon saat itu.
Outdoor auditorium

Goa Maria, tempat yang memiliki magnet terbesar bagi saya. Rasanya saya ingin berlama-lama, memandang patung perunggu sang Bunda. Patungnya besar dan cantik sekali, sayang keadaanya tidak terlalu terawat, terlihat dari lumut yang mulai merambati patung.

Goa Mari di Bukit Doa

Tak lama hujan turun, makin lama makin deras, kami pun setengah berlari ke kantin. Tiket masuk seharga 20,000 bisa ditukar dengan secangkir kopi atau teh. Lumayan, teh manis menghangatkan badan sembari menunggu hujan reda.

***

Berikutnya Danau Linow. Saya gak paham lagi ada tempat secantik Danau Linow. Terdapat resto D'Linow Restaurant yang dibangun tepat di tepi danau. Kayu yang menjadi perabot dominan, menambah perasaan hangat ketika memasuki resto ini. Ada juga beranda yang menjorok ke danau, cocok untuk menyantap pisang goreng hangat. Pisang goreng di sini tidak terlalu manis tapi besar-besar. Lagi-lagi tiket bisa ditukarkan dengan secangkir kopi atau teh. Ah sore yang sempurna, melihat bebek di danau, air danau yang begitu tenang, udara sejuk pegunungan, juga secangkir teh di tangan.
Danau Linow
Beranda yang menjorok ke tepi danau

Rasanya saya masih tak rela ketika teman-teman mengajak pulang ke Manado. Rasanya saya masih ingin duduk dalam diam, menikmati danau ini lebih lama lagi.

Saat perjalanan pulang, kami sempat mampir ke Patung Yesus Memberkati. Besar sekali. Sebenarnya patung ini ornamen dari sebuah perumahan elit tapi bisa dinimkati dari sebrang jalan. Sambil menikmati es krim, kami pun mengobrol santai di sebrang patung. Sebelum matahari pergi, kami pun kembali ke Manado. Bergegas istirahat untuk persiapan besok mencicipi keindahan bawah laut Bunaken.
Tuna bumbu rica-rica
sebagai makan malam di warung tenda sebrang hotel kami menginap


***

Hari ketiga di Sulawesi Utara, saya kembali lagi ke Tomohon.  Ya, saya sangat penasaran dengan Pasar Tomohon atau biasa disebut Pasar Ekstrim Tomohon. Dari Hotel tempat saya menginap, di Manado, saya pesan gocar menuju Tomohon. Ternyata di Manado sudah banyak taxi online. Jarak tempuh ternyata lumayan juga, sektar 25 km. Jam 6 saya berangkat dari Hotel, sekitar jam 7 saya sudah tiba di Pasar.
Sebenarnya tak jauh dari pasar, kita bisa berjalan ke terminal dan ada angkutan umum ke Manado. Tapi karena saya agak terburu-buru pagi itu, saya meminta bapak driver untuk menunggu sebentar dan mengantar saya balik ke Manado. Untung si bapak driver mau.

"Non, saya antar saja ya ke pasar." ujar bapak driver.
"Oh boleh-boleh. Tapi kalau bapak mau tunggu di mobil juga tak apa." jawab saya sambil mengeluarkan kamera dari dalam tas. Tujuan utama saya ke pasar ini memang untuk berlatih mengambil foto.
"Nanti banyak orang asing di pasar, ditemani saja ya." ah beruntungnya saya bisa ditemani bapak driver yang merangkap tour guide dadakan.

Pasar Tomohon terbagi beberapa blok. Di bagian depan tempat berjualan ikan. Di sebelah blok ikan, adalah blok daging hewan-hewan tak lazim makan. Di bagian belakang, jualan daging sapi dan peralatan dapur. Di sisi paling luar, berbagai macam sayur dijajakan.

Pasar ini sebenarnya lebih ramai kalau hari Sabtu. Saat itu masih Jumat, tapi lumayan juga saya bisa bertemu pedagang kalelawar, ular, anjing, dan berbagai babi.
Kalelawar.
Dikonsumsi sebagai obat asma. Sayapnya katanya gurih jika digoreng
Ular
Babi

Katanya di sini biasa dijual juga kucing dan monyet. Kucing dijual sekitar 75ribu/ekor. Daging ular seharga 35ribu/kilo. Sementara anjing katanya tergantung ukurannya, biasanya di atas seratus ribu.
Saat mengambil gambar, saya mendengar suara anjing menangis.
"Non, itu anjingnya lagi dipotong." si bapak mencoba menjelaskan, melihat muka saya yang pucat pasi.
"Saya mau lihat pak." saya sok berani meminta diantar ke tempat penjanggalan anjing.
Anjing-anjing datang dalam gerobak jeruji besi, mereka masih hidup mengantre untuk disembelih. Sayu mata mereka, mungkin mereka sudah tau apa yang akan terjadi setelah ini.

Si bapak pamit, katanya mau menunggu saja di parkiran. Mungkin dia jatuh kasihan dengan anjing-anjing itu atau mungkin sudah tidak kuat dengan bau amis di pasar yang memang jauh lebih amis dibanding pasar biasa. Sementara saya masih terus menjelajah ke blok ikan, daging sapi, dan sayuran.
Ikan Cakalang
Di perjalanan pulang, mulut si bapak ini tidak berhenti menuturkan cerita tentang alam Sulawesi Utara. Banyak sekali ternyata surga-surga yang belum sempat saya kunjungi.
"Non, lain kali ke sini harus naik gunung itu."
"Apa itu namanya, Pak"
"Gunung Klabat, tertinggi di Sulawesi Utara."
Sejak itu mata saya tidak bisa lepas dari puncak gunung yang nampak cantik pagi itu.

Comments

Popular Posts