Berkenalan dengan Prabu Siliwangi (One day Trip Cirebon)
Perjalanan kali ini
memang disengaja bernuansa budaya dan sejarah. Perjalanan alam nanti dulu
sajalah menunggu libur yang agak panjang.
Cirebon. Menjadi
pilihan yang menarik untuk liburan satu hari. Perjalanan dimulai dari Stasiun
Pasar Senen jam 05.00 dini hari. Stasiun ini sudah padat pengunjung, entah
pelancong, entah pengantar, pengamen, tukang ojek, supir taksi, tukang sampah,
pengemis hingga pelacur. Kami memilih Kereta Api KutoJaya Utara karena jam nya
pas dan tentu saja murah meriah. Untuk rincian biaya nanti saya rincikan
serincinya di bawah. Sekarang kalau mau naik kereta api jarak jauh harus mencetak
boarding pass di stasiun. Macam mau naik pesawat lah ya. Jadi sekarang beli
tiket cukup mengantongi kode booking hingga h-8 jam keberangkatan baru bisa print
boarding pass itu. Nanti saat melewati pos pemeriksaan, boarding pass akan di
scan tanda kita sudah check in. KTP diperiksa juga, dicocokan dengan keterangan
yang ada di boarding pass.
Tidak lama kereta kami
datang. Saya dan Sasha, sahabat saya yang perawakanya mirip ramboo segera naik.
Jangan salah, meskipun macho bak Ramboo, Sasha ini putri keraton Jogja,
keponakanya Sri Sultan Hamengkubuwono X. Dia yang punya ide untuk mengunjugi
keraton Cirebon. Mau mampir silahturahmi mungkin.
Kami dapat di kursi
panjang yang menjadi jatah untuk 3 orang tapi ya kalau apes dapat duduk bersama
orang gemuk ya relakan sebelah pantat yang duduk di atas angin.
“Bu maaf, ini kursi
kami.” Sasha menegur sopan.
“Tapi kan saya sudah
duluan ya. Mbak nya saja yang duduk disitu.” Dua ibu bersama dua orang anak
kecil sembarangan duduk di kursi kami.
“Maaf boleh lihat
tiket ibu?” saya mulai gemas.
“Nih mbaknya duduk
disini sama duduk di situ saja. “ Si ibu menunjuk kursi kereta di sebelahnya
yang tinggal muat diduduki setengah pantat, lalu menunjuk kursi disebrang yang
sudah dikuasi dua bocah-bocah yang kakinya naik ke kursi.
Yah harap maklum, namanya
juga kereta ekonomi.
Saya agak apes karena
jadi dapat kursi yang kena sembur AC. Kereta ekonomi sekarang dipasangi AC.
Tidak tanggung-tanggung AC ½ pk dipasang menggantung di langit-langit. Lumayan
lah tapi untuk mengusir gerah.
Kereta dijadwalkan
berangkat jam 5.30 dan sampai di Cirebon 8. 38. Keretanya tepat waktu, hebat
juga KAI jaman sekarang. Tiga jam perjalanan yang sebenarnya kata Bapak saya
lebih enak nyetir sendiri lewat tol Cipali. Bapak saya pamer, dia cuma butuh
dua jam ke Cirebon dari Jakarta. Ya apa daya kami dua gadis yang lebih memilih
ngerumpi di kereta disbanding nyetir sendiri, selain kemampuan menyetir kami
yang dipertanyakan.
Akhirnya kami sampai
tepat waktu di stasiun Cirebon Prujakan. Berbekal google maps, kami pun
berjalan kaki ke Keraton Kanoman yang berjarak sekitar 1,4 km. Kami memilih
jalan yang menyusuri pasar tradisional. Seperti pasar sayur pada umumnya, becek
dan ada baunya. Sekitar 30 menit kami jalan kaki dibakar matahari pagi,
akhirnya sampai di keraton Kanoman. Setelah membeli tiket masuk, kami
melihat-lihat tempat penyimpanan barang-barang pusaka. Ada kereta kencana,
kereta kencana tiruan, satu set gamelan jawa, foto sultan dan leluhurnya, dan
beberapa barang lain yang saya tidak terlalu ingat. Sayang sekali museum ini
seperti kurang perawatan, banyak debu.
Ruang tamu menuju tempat penobatan raja baru |
Setelah itu kami dihantar oleh guide
kami ke ruang penobatan Raja. Setelah itu kami melewati rumah Raja. Kami sampai
merasa tidak enak, biasanya rumah Raja tidak boleh dilewati sembarang orang.
Akhirnya kami sampai di halaman belakang yang amat sangat dikeramatkan. Ada
tujuh sumur disini, sayang sekali saya tidak hafal namanya. Yang saya ingat
cuma sumur untuk kejayaan, sumur untuk cari jodoh, hahaha, cetek sekali ya
ingatan saya. Kata guide kami, kalau Maulid-an ada 100 orang mandi bersama di
halaman ini. Wuih saya tidak bisa membayangkan bagaimana serunya bugil bersama seratus
orang, tengah malam pula. Saya terkekeh sendiri sampai saya tersandung sempak
yang dibuang sembarangan pemiliknya di pinggir sumur. Mungkin saya kualat.
“Nah ini nih kalau mau
cepat dapat jodoh, mandinya di sumur ini.” Si bapak menunjuk ke salah satu
arah. Awalnya saya agak kebingungan karena seliat saya itu semak-semak. Pas
kami dekati ternyata ada sumur di balik semak. Wah betapa tidak amanya anak-anak
bermain di sini ya. Kesandung dikit, langsung masuk sumur. Tapi mana ada juga
anak-anak di sini. Pelataran ini benar-benar dibiarkan liar seperti hutan.
“Pak kalau mandinya
sekarang, saya bisa dapat jodoh?” saya mencoba mencairkan suasana yang Nampak sudah
mulai membuat bulu kuduk saya naik.
“Wah ya tidak bisa.
Harus malam Jumat keliwon.” Jawaban si bapak malah bikin saya tambah merinding.
“Masuk angin pak
nanti, dingin.” Saya mencoba berkelakar tapi Nampak gagal. Muka si bapak masih
saja serius.
“Kalau Mbak ada
kepercayaan, airnya hangat mbak.” Saya mengangguk paham.
Di ujung sana ada juga
bangunan tua yang sudah dimakan umur. Banyak tanaman rambat menutupi hamper ¼ bangunan.
Suasana kian mistis.
Sisa-sisa masa kejayaan |
“Mbak! Tuh liat Mbak
di pohon.” Si bapak berseru sambil menunjuk pohon yang menjalar di atas bangunan
tua.
Saya kaget bukan
kepalang, saya kira itu tuyul. Eh ternyata Macaca vasikularis alias monyet ekor
panjang alias sarimin si topeng monyet. Aneh ya, kenapa namanya Sarimin coba?
Selesai bercengkrama
dengan si Sarimin, kami di bawa ke masjid di halaman depan.
Ada mata air yang biasa
dipakai untuk memandikan gong. Konon katanya gong akan dipukul saat kering melanda
Cirebon. Niscaya, hujan akan segera datang.
Di depan Masjid, ada
pohon yang lagi-lagi saya lupa namanya. Pohon ini justru berbunga di malam
hari. Bagi si Bapak ini adalah sebuah keajaiban. Dari buku-buku saya tahu, ini
hanya jenis tanaman bunga yang cerdik dan irit. Mereka melakukan pengiritan energy
untuk menghasilkan pigmen pewarna petal (mahkota bunga) karena mereka tahu ada
banyak hewan malam, macam kalelawar, yang bisa membantu penyerbukan di malam
hari. Jadi mereka tidak perlu repot-repot menarik perhatian serangga-siang-hari
yang lebih menyukai warna-warna mencolok. Lihat betapa efisien dan cerdiknya
mereka.
“Bawa pulang, simpan
di dompet. Ini bunga paling dicari supaya bisa cepat dapat anak.” Si bapak
memberi wejangan sambil memberikan kami beberapa bunga.
“Wah terima kasih pak.”
Saya menerima lalu mengembalikan lagi ke tanah. Semoga bisa diambil sama yang
lebih memerlukan. Kalau saya yang ambil lalu besoknya manjur di saya, bisa-bisa
bapak saya masuk UGD.
Setelah berpamitan
dengan si Bapak guide, kami pun menyusuri kampung hingga menembus jalan raya.
Kami memilih berjalan kaki menuju Keraton Kasepuhan yang berjarak sekitar 1 km.
Di Keraton Kasepuhan,
kami juga menyewa guide. Setelah membeli tiket masuk, kami dibawa ke 5 tujuan.
- Museum Kereta Singa Barong. Di sini di pajang kereta kencana Raja yang namanya Singa Barong. Kata si Bapak, “Jangan kaget nanti kalau sudah masuk. Keretanya gak ada singa-singanya dan gak ada barong-barongnya. Singa Barong itu singkatan Singarani Bareng-bareng artinya ayo beri nama bersama-sama.” Dan benar kereta ini malah merupakan gabungan dari beberapa hewan yang melambangkan beberapa agama. Belalai gajah lambang Hindu yang dibawa India dulu. Kepala Naga lambang Buddha yang dibawa China. Badan burak lambang Islam yang dibawa Mesir. Di sini juga dipamerkan lukisan Prabu Siliwangi yang memiliki keunikan seperti lukisan Monalisa. Kemanapun kita pergi, seakan Prabu melihat ke arah kita.
- Museum Benda Kuno. Yang paling menarik, di sini dipajang barang rampasan perang prajurit musuh. Sebagian besar berupa rompi besi, tombak, senapan. “Kalau musuh sudah minta ampun, tidak perlu dibunuh. Dilucuti saja senjatanya ya.” Si Bapak menjelaskan. Saya takjub, betapa berjiwa kesatria sekali ya nenek moyang kita dulu.
- Bangsal Keraton : Bangunan induk raja. Kita hanya diperbolehkan mengintip dari kaca depan. Tidak banyak yang bisa saya ceritakan.
- Sri Maganti. Sri artinya raja. Maganti artinya menunggu. Jadi ini adalah bangunan tempat menunggu raja. Kalau sekarang sudah dijadikan tempat pajangan lukisan.
Lukisan Prabu Siliwangi |
Kereta Singa Barong |
Terakhir si Bapak
membawa kami ke sumur di pelataran samping. Sumur ini dikeramatkan, katanya
bisa membawa kesehatan. Si bapak menceritakan pengalamannya sendiri mendapat
kesembuhan setelah meminum air dari sumur tersebut.
Saya, si Bapak, dan Sasha |
Setelah puas
mendengarkan dongeng sejarah dari si Bapak, kami pun berangkat ke pasar batik
Trusmi. Dari keraton, kami berjalan kaki sekitar 500 m ke perepatan jalan
besar. Setelah bertanya-tanya dengan tukang tambal ban dan ibu penjual minuman
di pinggir jalan, kami disarankan naik angkot GC05 (kalau saya tidak salah
ingat ya) lalu sambung Elf kearah Bandung yang melewati pasar batik tersebut.
Panas cukup terik
siang itu, kami hanya sanggup memasuki dua toko. Setelah itu kami menyerah. Menumpang
becak kami menuju Empal Gentong H. Apud. Bagi saya penikmat makanan bersantan,
kuahnya enak sekali tapi sayang dagingnya masih alot. Lebih empuk daging empal
buatan bapak saya di rumah.
Setelah bertanya
dengan kasir, kami diarahkan naik angkot GP yang lewat depan stasiun persis.
Perjalanan kami di Cirebon sudah selesai, kereta Tawang Jaya, yang lagi-lagi
ekonomi dan tentu saja ekonomis, membawa kami pulang ke Jakarta.
Rincian biaya :
Kereta Kutojaya Utara : Rp 85,000
Keraton Kanoman : Rp 7, 000
Keraton Kasepuhan : Rp 20,000
Kendaraan dari Keraton Kasepuhan ke Batik Trusmi:
a. Angkot GC05 : Rp 4,000
b. Elf : Rp 5,000
Becak : Rp 10,000 (Batik Trusmi ke Empal Gentong)
Empal Gentong dan kelapa muda batok : Rp 35,000
GP : Rp 4,000 (empal gentong - stasiun prujakan
Kereta TawangJaya : Rp 90,000
Itinerary
5.30 - 8.36 Perjalanan St Senen - Cirebon
8.36 - 9.00 Ngopi-ngopi santai di stasiun
9.00 - 9.45 Jalan kaki dari Stasiun ke Keraton Kanoman
9.45-10.30 Keraton Kanoman
10.30 - 11.00 Jalan kaki ke Keraton Kasepuhan
11.00-12.30 Keraton Kasepuhan
12.30-13.30 Perjalan ke batik Trusmi
13.00-14.00 Lihat-lihat batik
14.00-16.15 Makan siang di Empal Gentong H. Afud (kalau makan siang kami pasti lama ngerumpinya)
16.15 - 17.00 Perjalan ke Stasiun Cirebon Prujakan
17.38 - 20.38 Perjalanan ke Jakarta
Hahaha. Suka ceritanya.
ReplyDelete