Arya dan Anjani (5)
Aku ingin memelukmu, begitu erat, seperti anak perempuan
yang memeluk boneka beruang besar kesayanganya. Aku merindukan bahumu, tempat
aku meletakan kepala. Aku begitu merindukan bau tubuhmu, aroma parfum yang
bercampur asap rokok. Aku ingin berlari menyambutmu, kencang dan penuh harap,
sama seperti anak kecil yang lari kearah kado ulang tahunya, bahagia bercampur
rasa penasaran. Dan sekarang aku memejamkan mata, merasakan seolah-olah aku
sedang merasakan itu semua.
Pada kenyataanya aku tidak sedang berlari, aku
tidak sedang memeluk, dan aku tidak sedang menghirup bau tubuhmu. Kita hanya
saling menatap lama dan hangat lalu tersenyum, “Selamat pagi, sayang.”
Kadang kita baru tersadar bahwa segala sesuatunya salah
ketika hormon endorphin itu mulai menguap. Ketika kita mulai membiarkan
logika-logika menguasai kepala. Ketika kamu akhirnya menjadi takut karena rasa
bersalah perlahan mulai menyusup, makin lama makin jauh ke dalam inti dirimu. Dan
aku mulai bertanya, apa benar aku salah? Apa salah aku merasa benar?
Satu hal yang pasti, aku merasa bersalah dengan apa yang aku
lakukan tapi tidak sama sekali dengan apa yang aku rasakan. Suatu hari nanti
aku pasti merindukan perasaan hangat seperti ini, yang menyeruak di dada. Dan aku
takut, bahkan hanya sekadar membayangkan, hari itu akan tiba, hari dimana aku
merindukan perasaanku sendiri.
Comments
Post a Comment