Arya dan Anjani (2)

Jani menggigil kedinginan, mungkin karena pendingin ruangan atau karena malam yang terlalu biru. Tidak ada kesibukan lain yang bisa dilakukanya selain bermain selimut sambil sesekali memperhatikan orang-orang berseragam putih berlalu-lalang. Begitu banyak orang di ruangan serba putih ini, tapi teman Jani cuma satu: jam dinding hitam polos. Mereka berdua sama-sama diujung ruangan, diam, kaku, dan hampir mati bosan.

Pandangan Jani teralihkan ke infus yang menancap di tangan kirinya. "Aih, baru mulai terasa nyeri sekarang." Jani mengkasihani tangannya sendiri, berkali diambil darah dan sekarang dijejalkan selang-selang untuk menyalurkan obat. Jani baru menyadari betapa ringkih tubuhnya sekarang.
Dia mencoba mengalihkan perhatian dari tanganya dan mulai meronggoh saku celananya. Jani mencoba mengoperasikan telpon gengamnya. Rasanya Jani ingin melepas infus di tanganya lalu bermain permainan online sampai puas. Duh ternyata susah juga ya hanya pakai satu tangan, mana susah sinyal pula.
Jani ingin sekali mengobrol atau melakukan kegiatan apapun yang membuatnya sibuk, setidaknya untuk mengalihkan rasa sakit. Sayangnya, orang tua Jani harus menunggu di luar karena ruangan UGD ini begitu kecil dibanding jumlah pasien yang keluar masuk. Ah, tiba-tiba Jani merindukan ibu ayahnya.

Sinyal internet berkedip-kedip genit tertangkap telpon genggam Jani. Jani senang bukan main. Sudah ada satu nama di kepala Jani. Nama yang sudah ingin dia kontak sejak perjalanan ke rumah sakit tadi. Tapi nampaknya, belum ada cukup keberanian untuk membulatkan tekadnya.
"Arya, saya ingin sekali mengobrol dengan kamu. Saya sekedar ingin kamu tahu saya sedang sakit. Arya, seandainya saya tidak sepengecut ini." Semakin lama Jani semakin yakin bahwa hanya dia seorang lah yang rindu percakapan mereka. Hanya dia seorang lah yang merindukan gelak tawa mereka, tanpa butuh alasan.

"Jani, kamu sudah sehat? Dokternya bilang apa? Kamu dikasih obat apa aja?" Jani menghembuskan nafas lega. Empat hari lamanya, Jani bersabar menahan rindu yang naik turun kadang menderu-deru. Seperti bendungan yang kehilangan tanggul, Jani menumpahkan semua cerita kepada Arya. Semua sakitnya, semua kejengkelanya, semua cerita bodohnya. Dan seperti biasanya, Arya tekun mendengarkan cerita Jani. Sesekali Arya tertawa, "Orang kayak kamu tuh, udah sakit masih bisa juga ya ngelakuin hal bodoh."
"Iya Arya, saya bodoh, rela empat hari nungguin bisa ngobrol sama kamu. Kalau kita cuma teman, kenapa akhir-akhir ini saya selalu takut terlalu dekat sama kamu?" kali ini, tentu saja Jani hanya berani membantin.

Comments

Popular Posts