Cerita tentang Aa, Be, Ce, De, eF, dan Ee
Akhirnya aku berlibur kembali bersama sekumpulan manusia aneh ini. Manusia-manusia yang aku kenal sejak jaman kuliah dulu. Nama mereka Aa, Be, Ce, De, dan eF. Dan namaku Ee. Aku memperhatikan mereka semua. Mereka tertawa keras-keras, seakan-akan pulau ini hanya milik mereka. Tapi yah pada nyatanya, tempat ini sepi. Masih sepi pengunjung. Dan itulah mengapa kami memilih tempat ini untuk berlibur.
Ombak makin kejam menabarakan dirinya ke karang.
Seperti orang bunuh diri saja. Di cakrawala, perlahan-lahan matahari sudah
mulai menenggelamkan diri. Merangkak ke sudut langit dan menghilang begitu saja
di balik air laut. Langit berubah gelap. Bulan dan banyak bintang hanya mampu
menyinari ala kadarnya. Beberapa manusia aneh itu mulai membakar setumpuk kayu
yang kemudian mereka sebut api unggun. Katanya lumayan untu penerangan dan
mengahangatkan supaya tidak masuk angin. Aku menoleh, eF ternyata. Ia
menyelimutiku dengan kain pantai. Aku hanya tersenyum dan menyuruhnya duduk di
sebelahku. Malam mendadak romantis. Ahhh
aku benci ini.
“Enaknya kita ngapain ya?” Ce yang diujung sana mulai bosan nampaknya.
Kami berlima sudah duduk melingkari api unggun itu. Entah kemana si eF. “Ada yang lapar?” eF yang entah datang dari mana mendadak muncul membawa
senampan daging yang sudah siap dipanggang.“Wuih gila. Tau aja lo kita-kita udah pada mulai laper.” Mereka tertawa
dan segera menyambar nampan itu.
Mereka sekarang sudah asyik sendiri dengan mainan baru
mereka. Bakar-membakar daging. Aku tertawa melihat kelakuan manusia-manusia
itu. Dengan rakus mereka makan daging yang katanya haram itu dan menegak bir. Semuanya
tertawa keras, bahkan untuk lelucon yang paling garing sekalipun. Mereka semua
lucu, seolah-olah sudah berubah jadi manusia bar-bar di sarang penyamun.
“Eh udah pada kenyang kan? Sekarang kita main capsaaaa..!!!!”
Ae berteriak sambil melempar setumpuk kartu remi bergambar Barbie. Dasar mabok,
buat apa juga kartunya dilempar-lempar. Kan jadi berantakan. Aku menggerutu
kesal tapi sambil tertawa melihat tingkah manusia-manusia aneh ini.
Aa : “Peraturanya gini nih. Yang kalah dihukum. Ada
ide?”
B e: “Hukumanya apaan?”
Ce: “Hmmm…disuruh jongkok!”
Aa: “Ahahahakkk basi ah basi. Dicoret-coret make up
aja!”
Ce : “Emang ada yang bawa make up?”
De: “Ee kali tuh.”
Ee : “Gue gak bawa.”
eF : “Gini aja. Yang kalah harus mau jawab pertanyaan.
Harus sejujur-jujurnyaaa.”
Aa: “Krik-krik-krik-krik.”
Be : “Kok pada diem. Pada takut yaaa? Ahahahakkk…”
Ee: “Dasar lo semua pada kepoooo….”
Aa: “Deal?”
Aku tahu aku pasti kalah. Mereka semua menusia aneh
yang rela jadi mahasiswa nasakom (nasib IP satu koma) karena kebanyakan
jalan-jalan, tapi jangan salah kalo udah
soal kartu mereka jagoanya. “Gue jadi anak bawang boleh gak?” tawarku
masam-masam. “Hoooo seenaknya! Jadi bawang goreng aja lo sana!” Mereka pun
tertawa. Seperti biasa tawa mereka meledak padahal tidak ada yang lucu. “Ha-ha-ha-ha-ha-ha.
Dasar lo semua jahat!” Aku ikutan tertawa sambil memaki-maki mereka. Aku sudah
tahu, aku icaran mereka sejak awal. Hah dasar manusia-manusia kepo.“Udah lah kasian
Ee. Jadi anak bawang aja dia. Cewek sendiri juga kan dia disini.” Ternyata bujukan
eF tidak mempan juga. Malahan disambut sorakan.“Kenapa lo? Naksir ama Ee?” Sorakan
mereka sekarang lebih menggila. Aku hanya pasrah.
Permainan cukup seru, setidaknya bagiku. Aku benar-benar
serius menatap kartuku, berharap kartuku berubah berangka dua semua. Ae menang.
Be menang. Ce dan De menang. Tinggal aku dan eF. “Wah gawat, eF beneran naksir
nih sama Ee. Mau ngalahin aja gak tega,hahaha.” Tawa mereka riuh meninggalkan
senyum kecut di bibirku. Akhirnya eF menang. Dan aku kalah, seperti prediksi
semua orang. Aku langsung memberekan kartu dan bersiap mengocoknya kembali.
“Jadi siapa nih yang mau ngehukum?” Ce
sudah tidak sabar rupanya.“eF mungkin? Ampe keringetan tuh kayaknya.” Memang si
C ini super jahil. Semuanya tertawa. F meraih botol birnya lalu menegaknya
dalam-dalam. “Ee,gue mau Tanya…” akhirnya eF angkat bicara juga. “Will you
marry me??? Ahahahahak.” Tawa mereka lagi-lagi meledak. Bukan F yang bertanya
melainkan si jahil, Ce.
“Lo lebih pilih Pramana atau Al?” eF melanjutkan. Pertanyaan
itu begitu mendadak. Aihhh pertanyaan macam apa ini. Aku hanya menggaruk kepalaku
yang tidak gatal. Semua mendadak diam. Sepertinya semuanya penasaran. Dasar
manusia-manusia kepo. Aku diam dan kemudian bibirku berceloteh dengan cepat.
***
“Pernah baca buku recto verso karangan Dee?” Aku memulai dengan
pertanyaan sambil menatap mereka semua. Mereka semua serempak menggelang. Kalau
begitu aku mulai bercerita kisah tentang punggung ayam. Kira-kira begini.
“Ada seorang teman yang tinggal di negri yang jauh. Desa imigran seingat
gue. Mereka harus berjalan cukup jauh untuk sampai ke pasar di pusat kota.
Begitulah setiap tiga hari sekali ibu teman gue ini selalu ke pasar. Bukan lauk
mewah yang mereka mampu beli. Kecuali saat ada yang berulang tahun atau ketika
keluarga mereka merayakan sesuatu.
Kecuali hari-hari itu, ibu temanku membeli ayam. Tapi lagi-lagi karena tak
mampu si ibu hanya mampu membeli punggung ayam. Dan begitulah sampai temanku
dewasa, hanya punggung satu-satunya bagian dari ayam yang dapat disantap.” Aku
diam sejenak menelan ludahku lalu melanjutkan cerita.
“Gue juga begitu. Hanya punggung satu-satunya definisi tentang dia.
Pramana. Gue Cuma berani mengamati dia sebatas punggungya. Punggung yang selalu
di depan ketika kami menyebrang jalan. Atau punggung yang selalu menyetir di
depan. Gatau kenapa, gue selalu takut punggung itu tiba-tiba berbalik. Begitu
terus sampai empat tahun lamanya. Dan pada kenyataanya, punggung itu memang
tidak pernah berbalik. Dia terus berjalan ke depan tanpa sempat melihat yang di
belakang, yaitu gue. Dia gak pernah benar-benar melihat ke belakang sampai
akhirnya dia pergi. Ini bukan bagian tersedih kalau menurut gue.” Sisa bir di
botolku, aku tegak habis.
“Gue gak pernah nyangka kalau ternyata ada orang yang juga mengamati gw
dari belakang. Mengamati punggung gue. Orang itu Al. Dan bagi Al, gue hanya
sebatas punggung. Gue seperti Pramana yang gak pernah nengok ke belakang. Gue
terlalu sibuk mengatami apa yang ada di depan. Sampai suatu waktu Al berani
menepuk punggung gue dan gue pun berbalik. Al gak pernah meminta kesempatan. Al
gak pernah meminta gue untuk benar-benar melihat dia. Al gak pernah meminta
apa-apa. Al menepuk bukan untuk meminta. Tepukan itu tepukan selamat tinggal. Ucapan
pamit yang tanpa kata-kata.” Lidahku sekarang rasanya kaku. Rasanya seperti
habis menelan banyak sekali air laut.“Jadi jawabanya, eF. Gue gak punya pilihan apa-apa sekarang.”
Mereka bertepuk tangan sekarang. Benar-benar sinting
manusia-manusia ini. "Gila! romantis juga lo ternyata,hahahaahaa." Aku hanya tersenyum. Kelu rasanya. Aku menarik botol
birku. Ah sudah habis. Dan eF dengan baiknya memberikan botolnya kepadaku. Aku
menegak habis sampai tak bersisa. Permainan dilanjutkan kembali. Aku permisi
sebentar, mengambil jagung yang sudah siap dipanggang.
Comments
Post a Comment